Suara Yang Tersumbat Oleh Modal
Kritikan dan tuntutan untuk segera mensahkan undang-undang pengakuan dan Perlindungan Masyarakat adat datang silih berganti mulai dari konsultasi public sampai dengan aksi unjuk rasa untuk mendesak DPR RI mengesakan undang-undang tersebut.
Kanyataan berkata lain, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) masih berselingku dengan pemegang kendali.
Dilihat dari nama lembaga ini sudah jelas menunjukan arti bahwa mewakili rakyat akan tetapi yang terjadi bukan mewakili rakyat. Mulai dari mantan perwakilan rakyat hingga hadir wakil rakyat baru juga belum menjukan wakil rakyat yang sesungguhnya.
Sudah menjadi tradisi Indonesia bahwa undang-undang Negara yang merangkul kepenting segelintir orang jelas disahkan secepatnya, misalnya undang-undang yang mengatur kursi Kekuasaan dan lain sebagainya.
Undang- Undang Negara untuk kebutuhan kesejahteran masyarakat kecil, hal itu susah untuk di percepat proses pengesahannya.
Menjadi bukti draf undang-undang pengakuan dan perlindungan masyarakat adat yang di dalamnya mewakili 40 juta penduduk di Indonesia sekarang ini masih berada di badang legislasi nasional( Balegnas ) belum rampung Penyelesaiannya. Padahal Usulan undang-undang tersebut sudah memasuki tiga tahun mulai dari tahun 2012 dan sekarang apa yang terjadi belum di tetapkan menjadi undang-undang.
Masyarakat adat di Indonesia adalah masyarakat penyangga kemajuan Negara republic ini. Kehidupan masyarakat adat sekarang ini belum diperhatikan sepenuhnya oleh Negara, sehingga banyak kejadian diwilayah Nusantara ini hak-hak masyarakat adat dirampas demi kepentingan investor dan keuntungan segelintir orang.
PR yang terus di perjuangkan
Catatan akhir tahun Aliansi Masyarakat Adat Nusantara masih Berlanjutnya Kekerasan dan Kriminalisasi Terhadap Masyarakat Adat masih Seperti tahun-tahun sebelumnya, tahun 2014 merupakan tahun dimana konflik berkaitan dengan masyarakat adat merebak luas. Hal ini menjukan bahwa marginalisasi dan pelanggaran hak-hak masyarakat adat terjadi juga disebabkan karena pemerintah tidak memiliki kehendak politik yang kuat untuk merubah hukum negara yang selama ini melegalkan marginalisasi, diskriminasi dan pelanggaran hak-hak masyarakat adat.
Pemerintah tidak kunjung menciptakan hukum-hukum baru yang memungkinkan masyarakat adat dapat keluar dari jurang ketertindasan.
Undang-Undang Kehutanan yang sangat represif telah menyebabkan banyak sekali anggota masyarakat adat harus berurusan dengan hukum. Rupanya pemerintah melihat Undang-Undang Kehutanan tak cukup represif. Di bawah kepemimpinan SBY, disahkanlah Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Pengrusakan Hutan (UUP3H) yang disahkan 3 bulan setelah lahirnya Putusan MK No 35 yang meneguhkan bahwa Hutan Adat bukan Hutan Negara.
Sudah menjadi kenyataan bangsa ini bahwa hiruk pikuk di lingkungan pembentukan hukum tak pernah terkoneksi dengan penegakan hukum. Berbagai gagasan yang diperdebatkan di ruang-ruang sidang, ruang rapat dan diskusi dalam merumuskan suatu kebijakan mengenai pentingnya pengakuan dan perlindungan hukum terhadap masyarakat adat tidak pernah diperhitungkan dalam penegakan hukum, setidaknya membuat aparat penegak hukum menahan diri di tengah situasi dimana hukum yang menjadi basis dari persoalan yang terjadi tengah dipersoalankan.
Masyarakat adat menyesalkan perilaku aparat penegak hukum di lapangan yang bekerja di luar prosedur hukum seperti pemanggilan tanpa surat perintah dan sebagainya. Dalam beberapa kasus terlihat bahwa aparat penegak hukum tidak pernah bertindak netral. Mereka justeru memposisikan diri sebagai penjaga dan pelindung perusahaan dan mengabaikan masyarakat adat yang sedang berjuang mencari keadilan.
Tahun 2014 adalah tahun berlanjutnya kekerasan dan kriminalisasi terhadap masyarakat adat. Sejumlah 9 orang anggota masyarakat adat menjadi korban kriminalisasi pemerintah. Mereka menjadi dipenjara kerena wilayah adat mereka diklaim sebagai kawasan hutan negara dengan jerat UU P3H.
Masyarakat Adat korban kekerasan dan kriminalisasi negara yang dapat dicatat sepanjang tahun ini antara lain adalah:
Pada 24 April 2014 Pengadilan Negeri Bintuhan di Kabupaten Kaur Privinsi Bengkulu menjatuhkan hukuman penjara 3 tahun dan denda 1,5 Milyar Rupiah subsider 1 bulan kurungan kepada 4 orang anggota Masyarakat Adat Semende Banding Agung di Kabupaten Kaur Provinsi Bengkulu. Putusan tersebut diperkuat pula oleh putusan Banding Pengadilan Tinggi Bengkulu.
Pada 21 Oktober 2014 Pengadilan Negeri Palembang di Sumatera Selatan menjatuhkan hukuman penjara 2,6 tahun , denda 50 juta rupiah subsider 4 bulan kurungan kepada M. Nur Jafar dari marga Tungkal Ulu. Ia dianggap melanggar UU Konservasi. Selain Nur Jafar, Pengadilan Negeri Palembang juga menjatuhkan hukuman penjara kepada lima orang rekan Nur Jafar yang semuanya berasal dari masyarakat adat Marga Tungkal Ulu di Kabupaten Musi Banyu Asin, Sumatera Selatan. Ketiga orang tersebut, Zulkifli bin Dungcik divonis penjara 1,8 tahun dan denda 25 juta rupiah subsider 3 bulan kurungan, Samingan bin Jaeni, Dedi Suryanto bin Tugimin, Sutisna bin Kadis, dan Ahmad Burhanudin Anwar bin Imam Sutomo divonis penjara 1,6 tahun dan denda Rp20 juta subsider 2 bulan kurungan.
Bachtiar M. Sabang, salah satu anggota masyarakat adat Turungan Baji’ di Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan ditangkap dan ditahan kepolisian Resort Sinjai atas tuduhan menebang pohon tanpa ijin di kawasan hutan lindung. Saat ini perkara tersebut telah dilimpahkan Kepolisian Resort Sinjai ke Kejaksaan Negeri Sinjai.
Masyarakat adat Golo Lebo di Kabupaten Manggarai Timur terus menerus mendapatkan tekanan dari Pemerintah Daerah Manggarai Timur, Flores-NTT karena memperjuangkan hak atas wilayah adat mereka dimana PT. Manggarai Manganese (perusahaan tambang) beroperasi. Padahal ijin perusahaan itu telah berakhir sejak 7 Desember tahun 2013 yang lalu. Namun faktanya, PT. Manggarai Manganese masih tetap melakukan operasi di dalam wilayah adat Golo Lebo. Masyarakat Adat Muara Tae di Kabupaten Kutai Barat juga secara terus menerus ditekan oleh perusahaan sawit dan pemerintah daerah. Bahkan masyarakat adat Muara Tae diadu domba oleh Pemerintah dan perusahaan dengan masyarakat Muara Ponaq yang merupakan tetangga dari masyarakat adat Muara Tae.
Masyarakat Adat Talang Mamak di Kabupaten Indragiri Hulu, Riau juga mengalami hal yang sama. Pihak perusahaan yang pada dasarnya tak lagi punya hak secara hukum untuk beroperasi karena ijinnya telah lampau waktu seakan tak tersentuh. Perusahaan itu tetap beroperasi di wilayah adat Talang Mamak. Masyarakat adat Tana Ai di Kabupaten Sikka, Flores- NTT mendapatkan tekanan dan ancaman akan digusur oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Sikka, Flores-NTT. Mereka dituduh mendiami wilayah eks konsesi HGU PT. Diosis Agung (DIAG), sebuah perusahaan yang bergerak dalam perkebunan kelapa. Padahal ijin perusahaan tersebut telah berakhir sejak 2013 yang lalu. Bagi masyarakat adat Tana Ai, keberadaan perusahaan telah merampas hak mereka atas wilayah adat Tana Ai.
Masyarakat adat Seko yang berhadapan dengan PT. Seko Fajar dan beberapa orang dipanggil tanpa prosedur oleh aparat penegak hukum.
Dari Keadaan sekarang ini sulit bagi Pemerintah atau DPR RI baru yang merupakan bagian dari wakil rakyat untuk menunjukan keberpihakan kepada rakyat kecil jika masih berselingku dengan komprador modal asing maka, tentu persoalan masyarakat adat tidak akan terselesaikan. Sudah jelas watak komprador adalah lebih mementikan individualistic dan keinginan akumulasi modal.
Kesejahteraan akan sulit tercapai jika, hak-hak masyarakat masih di rampas dan aspirasi masyarakat masih tersumbat dengan kepentingan modal dan jabatan.
Dengan demikian jika ingin membangun kedaulatan Negara ini kepentingan rakyat harus di nomor satukan, dan modal hadir bukan untuk menghancurkan masyarakat melainkan hadir membawa masyarakat kedepan gerbang kemerdekaan sejati.
****
Oleh : Yulius Fanus Mari ( Jhuan )
Sumber : http://politik.kompasiana.com/2014/12/28/suara-yang-tersumbat-oleh-modal-713163.html