Suara Warga

Ideologi Fadli Zon, Fahri Hamzah, PKS, Republika, dan Kompas dalam Kosa Kata Politis

Artikel terkait : Ideologi Fadli Zon, Fahri Hamzah, PKS, Republika, dan Kompas dalam Kosa Kata Politis

Menarik sekali jika mengamati pilihan kosa kata Fadli Zon, Fahri Hamzah, orang PKS, koran Republika, dan Kompas baik online dan off-line. Untuk menyebut hari suatu hari pertama, Kompas menyebut hari secara normal Minggu. Fadli Zon dan Fahri Hamzah, orang PKS dan Republika untuk menyebut hari pertama itu dengan kata Ahad. Pemilihan kosa kata di Kompas, PKS dan Republika untuk memilih kata-kata yang berbeda sesungguhnya menunjukkan aliran ideologi politik mereka yang berbeda. Bagaimana pemilihan kata-kata menunjukkan laku dan eksistensi penggunanya? Mari kita telaah pilihan kata-kata PKS, Republika, dan Kompas - dengan contoh keren aktual Fadli Zon dan Fahri Hamzah - sebagai gambaran aliran politik dengan hati riang gembira suka cita bahagia dan senang ria tanpa lupa log out pula ya.

Republika dengan CIDES dan ICMI memiliki ideologi yang sama: perjuangan jihad-politis dalam tataran perjuangan ideologi Islam garis Trans-Arab Wahabiah dengan patron awal perjuangan adalah Ali Shariati yang kemudian bergeser ke arah Hasan al Banna alias Sheikh Hassan Ahmed Abdel Rahman Muhammed al-Banna yang mendirikan Ikhwanul Muslimin. (Catatan: Itulah sebabnya Habibie tak pernah mau mengunjungi Muhammadiyah atau NU karena pendirian ICMI dengan corong Republika diimpikan untuk menandingi NU dan Muhammadiyah yang hanya berakhir dengan koran Republika dan Dompet Dhuafa, dengan memanfaatkan sumbangan masyarakat.) Pergeseran dari intelektual Ali Shariati dan Al Ghazali ke gerakan radikal Ikhawanul Muslimin yang diyakini oleh Republika - dan PKS - telah menghasilkan gambaran militansi melalui pemberitaan di Republika.

Sama dengan Republika, Partai Keadilan dilanjutkan (Sejahtera), lahir dari gerakan usroh kampus - yang belakangan kurang laku di kampus menyasar SMA. Sifat gerakan ini pada awalnya adalah gerakan dakwah - langkah politis-agamis melawan rezim eyang saya Presiden Soeharto. Dasar ideologinya pun nyaris sama dengan Republika: pengikut Islam Trans-Arab Wahabiah dengan patron perjuangan Ikhwanul Muslimin sebagai kiblatnya.

Ketika momentum Reformasi 1998 datang, semua gerakan klandestin muncul ke permukaan. Maka, saking kebablasan, lahirlah pasca refromasi pasukan pertikelir Laskar Jihad Jafar Umar Thalib yang memorakporandakan Ambon, Maluku.

Sementara, PKS mengambil jalan politis. Sementara Jafar Umar Thalib yang lulusan madrasah di Pakistan bercita-cita mendirikan milisi ala Thaliban. Pada mulanya pasukan partikelir ala Laskar Jihad ini dibiarkan berkembang oleh TNI dan Polri hanya untuk digunakan sebagai alat pemetaan tentang para personil dan simpatisan yang dimasukkan dalam catatan intelejen dan keamanan: kekuatan dan personil serta orang-orangnya telah terpetakan.

Yang berada di persimpangan antara mendukung militansi dan ketakutan menjadi bagian yang dipetakan aparat keamanan mendirikan partai politik untuk berjuang, seperti PBB dengan Yusril Ihza Mahendra, Fadli Zon, dan Hamdan Zoulva. Perhitungan keamanan dan perjuangan yang berimbang dari ketiga pentolan itu menyebabkan mereka mengambil garis politik dengan memerjuangkan Shariat Islam lewat parlemen. PBB memerjuangkan secara terbuka ‘kembalinya 7 ayat dalam preamble UUD ‘45′ demi tegaknya daulah islamiyah.

Namun, PBB ternyata tidak laku. Fadli Zon pun mengambil langkah penyelamatan diri dengan hengkang ke Gerindra. Hamdan Zoulva berjuang di Mahkamah Konstitusi dengan karya agungnya UU MD3 sebagai balas jasa terhadap kalangan PBB dan PKS yang disimpatisani oleh Hamdan Zoulva. Maka tak mengherankan jika Fadli Zon dan Fahri Hamzah akrab dan cocok karena sesungguhnya ideology mereka sama persis - dengan bendera yang berbeda.

Kompas sejak awal hadirnya adalah garda NKRI dengan nasionalis-humanis sebagai pilar. Pasang-surut koran Kompas dan Grup Gramedia yang dituduh sebagai corong Katolik di Indonesia menjadi hal yang selalu dihembuskan oleh lawan-lawan politiknya. Uniknya, meskipun ditentang, Kompas tetap menjadi rujukan semua gerakan dan politikus karena beritanya yang independen. Bahkan, dengan seluruh upaya ICMI di bawah Habibie pun, niatan penerbitan Republika sebagai corong pelawan hegemoni Kompas, Sinar Harapan (Suara Pembaruan), Media Indonesia, gagal total. Bahkan pada akhirnya Republika hanya menjadi koran kecil yang menjadi tim hore untuk berita segregatif dan tendensius satu arah, yang bahkan sekarang menjadi corong PKS dan juga koalisi Prabowo.

Bagaimana pembedaan pilihan kosa kata dan berita, yang dilakukan oleh Repubilka dan PKS untuk menunjukkan perbedaan mereka dengan Kompas dan koran-koran normal lainnya dilakukan sebagai strategi meraih dukungan pembaca - sekaligus membatasi pembaca?

Bagi Republika dan PKS, kata-kata memiliki makna mendalam. Konsep ‘kun fa ya kun’ tentang penciptaan mendeskripsikan kekuatan kata sebagai mantra penjelas penciptaan alam semesta. Dalam khasanah budaya dan agama Yahudi dan Nasrani pun diyakini bahwa ‘kata atau kalam sebagai mantra penciptaan’: pada mulanya adalah kalam (kata).

Sesungguhnya, tuhan menciptakan kata-kata dan disalurkan melalui manusia. Kata-kata adalah makhluk tuhan paling dihormati oleh tuhan sendiri. Awalnya, tuhan menciptakan kata-kata sebagai alat untuk mengenali tuhan. Kata-kata hanyalah upaya mendeskripsikan dan upaya pendekatan terhadap tuhan. Dalam perkembangannya konsep berpikir pun sebagai eksistensi diri manusia yang dinyatakan oleh filsuf Prancis René Descartes (31 March 1596 - 11 February 1650).

Rene Descartes mengajarkan ‘cogito ergo sum’ atau ‘Je pense, donc je suis: I think, therefore I am’ alias ‘Saya berpikir maka saya ada’ yang dilanjutkan oleh penemuan pandangan filsafat Ninoy N Karundeng bahwa ‘orang berpikir menggunakan kata-kata’ yang akhirnya melahirkan penguatan temuan Rene Descartes yakni ‘I am the mother of words’ sebagai pijakan alat praktis berpikir. Jika Rene Descartes mengungkapkan tentang berpikir, maka saya menunjukkan bahwa ‘kata-kata’ adalah identitas dan eksistensi manusia.

Seberapa manusia mengusai kata-kata untuk agar manusia bisa ‘berpikir’, sampai di situlah eksistensi dirinya. Setiap manusia adalah ‘induk kata-kata’, yakni pelahir dan penguasa kata-kata. Maka ‘aku adalah induk atau ibu kata-kata’ adalah konsep tentang eksistensi manusia yang berpikir dengan kata-kata, sungguh suatu filsafat kata yang menguatkan konsep filsafat eksistensialis Rene Descartes.

Maka ketika Republika dan PKS memilih kata-kata sebagai pembeda dengan yang dilakukan oleh media Kompas dan media umum lainnya seperti antum (kamu), Ahad (Minggu), ente (elo), Hijriyah (Masehi), hakikat tentang diri dan eksistensi diri yang dilambangkan oleh kata-kata mendapatkan pembenarannya. Hanya dengan memerhatikan pilihan kosa kata, maka publik akan dengan mudah mengenali aliran ideology, politik, agama, sosial dan budaya. Tak pelak hal ini berlaku ketika kita mengamati Republika, PKS dan Kompas. Hal sama berlaku ketika orang melihat sepak terjang politikus seperti Fahri Hamzah dan Fadli Zon yang memiliki kesamaan. Kenapa? Karena ideologinya sama.

Jadi, pilihan kata-kata oleh Fadli Zon, Fahri Hamzah, orang PKS, koran Republika dan Kompas baik online dan off line sesungguhnya merupakan gambaran ideologi mereka. Fadli, Fahri, orang PKS, Republika memiliki garis yang berbeda dengan Kompas dan media umum normal lainnya. Kata-kata adalah diri kamu karena setiap orang adalah induk kata-kata bagi dirinya sendiri, dan lahirlah: I am the mother of words alias saya induk kata-kata. Pilihlah kata-kata maka itulah eksistensi dirimu karena berpikir untuk menunjukkan eksistensi diri ‘I think therefore I am kata Rene Descartes dikuatkan dengan alat berpikir menggunakan kata-kata oleh Ninoy N Karundeng.

Salam bahagia ala saya.




Sumber : http://politik.kompasiana.com/2014/12/28/ideologi-fadli-zon-fahri-hamzah-pks-republika-dan-kompas-dalam-kosa-kata-politis-699207.html

Artikel Kompasiana Lainnya :

Copyright © 2015 Kompasiana | Design by Bamz