Melawan Budaya Korupsi
Pada awal pemerintahan Orde Baru, mantan wakil presiden pertama RI, Muhammad Hatta ditunjuk menjadi penasehat Presiden Soeharto dalam bidang pemberantasan korupsi. Tahun 1970, ketika Indonesia baru berumur 25 tahun, dalam kapasitasnya sebagai penasehat presiden itu, Bung Hatta mengatakan “korupsi telah membudaya di Indonesia”, (Sri Margana, 2009).
Kata “membudaya” memberikan pemahaman bahwa korupsi telah masuk ke dalam struktur kesadaran masyarakat. Prilaku koruspi seolah tidak lagi menjadi persoalan moral, melainkan sebuah keniscayaan. Korupsi yang “membudaya” akhirnya merasuki seluruh dimensi kehidupan sosial, politik, hukum, pendidikan, bahkan agama di negeri ini. Rangkaian ini membuat sulitnya agenda pemberantasan korupsi di Indonesia.
Habitus Korupsi
Memperingati Hari Anti Korupsi Internasional (9/12), tersangkanya Bupati Lombok Barat Zaini Arony, dan penangkapan Ketua DPRD Bangkalan Fuad Amin Imron (2/12) menjadi kado istimewa agenda pemberantasan korupsi di Indonesia. siapapun yang menjarah uang rakyat, memang harus segera ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara. Hukum harus memberi ganjaran kepada manusia korup, menikmati uang negara, disaat rakyat sedang kelaparan dan kekurangan gizi merajalela.
Fuad Amin, yang semula disebut “Tuhan” kedua oleh masyarakat Madura, atau orang kuat di daerah (local strong man), dengan menggunakan basis-basis kekuatan politik yang dimiliki, mengendalikan struktur kekuasaan, ia nyaris bebas dari jeratan hukum. Beberapa kasus hukum yang pernah mendera mantan Bupati Bangkalan ini tak pernah tuntas. Sangat wajar masyarakat Madura menyebutnya sebagai “Tuhan” kedua di Madura.
Fuad Amin hanyalah satu dari sekian banyak kasus korupsi yang melibatkan peran keluarga. Misalnya, mantan Gubernur Banten Atut Chosiyah, melibatkan adiknya Chaeri Wardana dalam kasus penyuapan Akil Muchtar pada sengketa pilkada Lebak. Bupati Karawang Ade Swara melibatkan istrinya Nurlatifah dalam kasus ijin pembangunan di Kabupaten Karawang. Wali Kota Palembang Romi Herton juga melibatkan istrinya dalam kasus penyuapan kepada Akil Muchtar.
Habitus korupsi yang melibatkan peran keluarga mebenarkan pernyataan Bung Hatta, bahwa korupsi sudah membudaya pada masyarakat Indonesia. Artinya, korupsi tidak hanya dirancang di ruang-ruang perkantoran, tetapi sudah masuk lingkungan keluarga. Kejahatan korupsi tidak hanya dilakukan oleh kaum laki-laki (bapak), tetapi menyeret kaum perempuan (ibu). Sehingga keluarga yang seharusnya menjadi basis moral bagi kehidupan bangsa, menjadi tempat transaksi politik untuk memuluskan kejahatan bersama.
Jika orang tua sudah bersengkongkol untuk menyusun perampokan uang negara, pertanyaannya, nilai moral apa yang diajarkan kepada anak-anak mereka? Jika peran keluarga sebagai benteng moral sudah kehilangan pengaruhnya, bagaimana anak-anak mendapatkan teladan bagi kehidupan yang lebih beradab? Karena itu, strategi pemberantasan korupsi di Indonesia perlu melibatkan peran keluarga sebagai institusi paling dasar dalam membangun generasi yang anti korupsi.
Keluarga merupakan tiang utama kehidupan umat, bangsa, dan negara. Keluarga menjadi tempat proses sosialisasi nilai-nilai yang paling menentukan. Kegagalan keluarga dalam transformasi akhlak mulia, dan hidup sederhana, menjadikan keluarga rapuh dan mudah melakukan tindak-tindakan kejahatan, termasuk korupsi. Karena itu, setiap keluarga wajib untuk mewujudkan kehidupan keluraga yang sakinah, mawaddah, wa rahmah.
Membangun Budaya Anti-Korupsi
Korupsi sebagai kejahatan yang luar biasa (extra ordinarycrime) kini tidak hanya terjadi dikalangan elit penguasa dan partai politik. Tetapi sudah menyebar hingga lingkup keluarga. Persoalan ini bukan main, mengingat keluarga memiliki arti penting bagi kehidupan bangsa dan negara. Bahkan, Budayawan Ehma Ainun Najib, di dalam sebuah acara di Malang, mengingatkan bahwa baik-buruk, hitam-putihnya nasip bangsa Indonesia masa mendatang sangat ditentukan oleh bagaimana pendidikan keluarga berlangsung saat ini. Jika sistem keluarga itu rusak, maka buruklah harapan menuju masa depan bangsa yang lebih cerah.
Keluarga sebagai elemen vital masyarakat menjadi penting dalam agenda pemberantasan korupsi. Karena itu, pemberantasan korupsi haruslah dimulai dengan menjadikan keluarga sebagai benteng utama membangun budaya anti korupsi. Hal ini haruslah dimulai oleh setiap orang tua, dengan cara mengajarkan kejujuran, tidak mengambil barang yang bukan miliknya kepada anaknya sedini mungkin.
Sebagaimana yang disebutkan Bung Hatta, bahwa korupsi telah membudaya di Indonesia, bisa jadi dimulai dari sistem keluarga yang tidak lagi menghargai pentingnya pendidikan anti-korupsi di lingkungan keluarga. Begitu anak tumbuh dewasa, ia tidak lagi asing dengan budaya korupsi, bahkan dianggap sebagai sebuah keharusan dalam hidup. Di sinilah perlunya keluarga sebagai benteng pertahanan moral dalam memberantas korupsi.
Keluarga merupakan basis persemaian yang sangat strategis untuk mengembangkan budaya anti-korupsi. Keluarga merupakan ruang publik pertama yang dijumpai seorang anak untuk memahami tentang baik buruknya segala sesuatu. Keluarga menjadi basis bertumpuhnya nilai-nilai demokrasi secara mendasar. Memahamkan demokrasi di dalam sistem keluarga, tentu tidak dapat dilakukan dengan cara indoktrinisasi atau dipaksa kepada setiap anak. Tetapi yang perlu dilakukan adalah proses pengalaman yang terinternalisasi dalam setiap komponen keluarga. Karena itu, saling terbuka, jujur, berdiksusi, dan dialog antar kelurga menjadi penting dilakukan.
Selain itu, untuk mengembangkan budaya anti-korupsi dalam lingkungan keluarga juga dapat dilakukan dengan mengajak tetangga untuk berdialog perihal kebijakan pemerintahan pada level yang paling bawah. Hal ini untuk mendorong partisipasi dan kesadaran warga negara terhadap korupsi yang makin menjarah setiap lini kehidupan masyarakat. Secara normatif, inilah yang ditandaskan al-Quran “tolong-menolonglah kamu di dalam kebaikan dan taqwa, dan janganlah kamu tolong- menolong di dalam kejahatan dan permusuhan”.
Kebudayaan, sebagaimana yang didefinisikan oleh antropolog Koentjaraningrat (1971), terdiri atas tiga komponen: kepercayaan (kognisi), prilaku, dan artefak (benda-benda)—yang diyakini dan dilaksanakan di dalam masyarakat tertentu. Dan, korupsi masuk di dalam ketiga kategori itu. Korupsi tidak lagi dianggap sebagai perbuatan menyimpang. Bahkan, hasil korupsi dibagi-bagi kepada setiap lapisan keluarga sebagai bentuk rasa syukur. Artefak dari budaya korupsi tampak dari koruptor yang suka memamerkan rumah mewah, mobil baru, dan segenap matrealisme seperti kecantikan, lambang jabatan, dan gadis primadona yang kini menjadi ukuran sukses seseorang.
Karena habitus korupsi yang makin “membudaya”, maka perlawanan untuk memberantas korupsi haruslah dengan perlawanan budaya pula, budaya anti-korupsi. Caranya, sebagaimana yang telah disebutkan di atas melalui isntitusi keluarga yang anti-korupsi. Keluarga yang anti-korupsi tentu saja akan menjadi keluraga yang bahagia, sejahtera (sakinah, mawaddah, wa rahmah), karena tidak ada rasa ketakutan atas sumber-sumber rejeki yang diperolehnya.
Korupsi di Indonesia sungguh telah menyatu dengan sistem kehidupan masyarakat. Karena itu proses pemberantasannya tidak cukup dengan pendekatan hukum dan persoalan struktural, melainkan persoalan kebudayaan. Karena itu, korupsi harus dilawan dengan strategi budaya berbasis keluarga. Hari gini koq masih korupsi…!!
Sumber : http://politik.kompasiana.com/2014/12/27/melawan-budaya-korupsi-699153.html
Kata “membudaya” memberikan pemahaman bahwa korupsi telah masuk ke dalam struktur kesadaran masyarakat. Prilaku koruspi seolah tidak lagi menjadi persoalan moral, melainkan sebuah keniscayaan. Korupsi yang “membudaya” akhirnya merasuki seluruh dimensi kehidupan sosial, politik, hukum, pendidikan, bahkan agama di negeri ini. Rangkaian ini membuat sulitnya agenda pemberantasan korupsi di Indonesia.
Habitus Korupsi
Memperingati Hari Anti Korupsi Internasional (9/12), tersangkanya Bupati Lombok Barat Zaini Arony, dan penangkapan Ketua DPRD Bangkalan Fuad Amin Imron (2/12) menjadi kado istimewa agenda pemberantasan korupsi di Indonesia. siapapun yang menjarah uang rakyat, memang harus segera ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara. Hukum harus memberi ganjaran kepada manusia korup, menikmati uang negara, disaat rakyat sedang kelaparan dan kekurangan gizi merajalela.
Fuad Amin, yang semula disebut “Tuhan” kedua oleh masyarakat Madura, atau orang kuat di daerah (local strong man), dengan menggunakan basis-basis kekuatan politik yang dimiliki, mengendalikan struktur kekuasaan, ia nyaris bebas dari jeratan hukum. Beberapa kasus hukum yang pernah mendera mantan Bupati Bangkalan ini tak pernah tuntas. Sangat wajar masyarakat Madura menyebutnya sebagai “Tuhan” kedua di Madura.
Fuad Amin hanyalah satu dari sekian banyak kasus korupsi yang melibatkan peran keluarga. Misalnya, mantan Gubernur Banten Atut Chosiyah, melibatkan adiknya Chaeri Wardana dalam kasus penyuapan Akil Muchtar pada sengketa pilkada Lebak. Bupati Karawang Ade Swara melibatkan istrinya Nurlatifah dalam kasus ijin pembangunan di Kabupaten Karawang. Wali Kota Palembang Romi Herton juga melibatkan istrinya dalam kasus penyuapan kepada Akil Muchtar.
Habitus korupsi yang melibatkan peran keluarga mebenarkan pernyataan Bung Hatta, bahwa korupsi sudah membudaya pada masyarakat Indonesia. Artinya, korupsi tidak hanya dirancang di ruang-ruang perkantoran, tetapi sudah masuk lingkungan keluarga. Kejahatan korupsi tidak hanya dilakukan oleh kaum laki-laki (bapak), tetapi menyeret kaum perempuan (ibu). Sehingga keluarga yang seharusnya menjadi basis moral bagi kehidupan bangsa, menjadi tempat transaksi politik untuk memuluskan kejahatan bersama.
Jika orang tua sudah bersengkongkol untuk menyusun perampokan uang negara, pertanyaannya, nilai moral apa yang diajarkan kepada anak-anak mereka? Jika peran keluarga sebagai benteng moral sudah kehilangan pengaruhnya, bagaimana anak-anak mendapatkan teladan bagi kehidupan yang lebih beradab? Karena itu, strategi pemberantasan korupsi di Indonesia perlu melibatkan peran keluarga sebagai institusi paling dasar dalam membangun generasi yang anti korupsi.
Keluarga merupakan tiang utama kehidupan umat, bangsa, dan negara. Keluarga menjadi tempat proses sosialisasi nilai-nilai yang paling menentukan. Kegagalan keluarga dalam transformasi akhlak mulia, dan hidup sederhana, menjadikan keluarga rapuh dan mudah melakukan tindak-tindakan kejahatan, termasuk korupsi. Karena itu, setiap keluarga wajib untuk mewujudkan kehidupan keluraga yang sakinah, mawaddah, wa rahmah.
Membangun Budaya Anti-Korupsi
Korupsi sebagai kejahatan yang luar biasa (extra ordinarycrime) kini tidak hanya terjadi dikalangan elit penguasa dan partai politik. Tetapi sudah menyebar hingga lingkup keluarga. Persoalan ini bukan main, mengingat keluarga memiliki arti penting bagi kehidupan bangsa dan negara. Bahkan, Budayawan Ehma Ainun Najib, di dalam sebuah acara di Malang, mengingatkan bahwa baik-buruk, hitam-putihnya nasip bangsa Indonesia masa mendatang sangat ditentukan oleh bagaimana pendidikan keluarga berlangsung saat ini. Jika sistem keluarga itu rusak, maka buruklah harapan menuju masa depan bangsa yang lebih cerah.
Keluarga sebagai elemen vital masyarakat menjadi penting dalam agenda pemberantasan korupsi. Karena itu, pemberantasan korupsi haruslah dimulai dengan menjadikan keluarga sebagai benteng utama membangun budaya anti korupsi. Hal ini haruslah dimulai oleh setiap orang tua, dengan cara mengajarkan kejujuran, tidak mengambil barang yang bukan miliknya kepada anaknya sedini mungkin.
Sebagaimana yang disebutkan Bung Hatta, bahwa korupsi telah membudaya di Indonesia, bisa jadi dimulai dari sistem keluarga yang tidak lagi menghargai pentingnya pendidikan anti-korupsi di lingkungan keluarga. Begitu anak tumbuh dewasa, ia tidak lagi asing dengan budaya korupsi, bahkan dianggap sebagai sebuah keharusan dalam hidup. Di sinilah perlunya keluarga sebagai benteng pertahanan moral dalam memberantas korupsi.
Keluarga merupakan basis persemaian yang sangat strategis untuk mengembangkan budaya anti-korupsi. Keluarga merupakan ruang publik pertama yang dijumpai seorang anak untuk memahami tentang baik buruknya segala sesuatu. Keluarga menjadi basis bertumpuhnya nilai-nilai demokrasi secara mendasar. Memahamkan demokrasi di dalam sistem keluarga, tentu tidak dapat dilakukan dengan cara indoktrinisasi atau dipaksa kepada setiap anak. Tetapi yang perlu dilakukan adalah proses pengalaman yang terinternalisasi dalam setiap komponen keluarga. Karena itu, saling terbuka, jujur, berdiksusi, dan dialog antar kelurga menjadi penting dilakukan.
Selain itu, untuk mengembangkan budaya anti-korupsi dalam lingkungan keluarga juga dapat dilakukan dengan mengajak tetangga untuk berdialog perihal kebijakan pemerintahan pada level yang paling bawah. Hal ini untuk mendorong partisipasi dan kesadaran warga negara terhadap korupsi yang makin menjarah setiap lini kehidupan masyarakat. Secara normatif, inilah yang ditandaskan al-Quran “tolong-menolonglah kamu di dalam kebaikan dan taqwa, dan janganlah kamu tolong- menolong di dalam kejahatan dan permusuhan”.
Kebudayaan, sebagaimana yang didefinisikan oleh antropolog Koentjaraningrat (1971), terdiri atas tiga komponen: kepercayaan (kognisi), prilaku, dan artefak (benda-benda)—yang diyakini dan dilaksanakan di dalam masyarakat tertentu. Dan, korupsi masuk di dalam ketiga kategori itu. Korupsi tidak lagi dianggap sebagai perbuatan menyimpang. Bahkan, hasil korupsi dibagi-bagi kepada setiap lapisan keluarga sebagai bentuk rasa syukur. Artefak dari budaya korupsi tampak dari koruptor yang suka memamerkan rumah mewah, mobil baru, dan segenap matrealisme seperti kecantikan, lambang jabatan, dan gadis primadona yang kini menjadi ukuran sukses seseorang.
Karena habitus korupsi yang makin “membudaya”, maka perlawanan untuk memberantas korupsi haruslah dengan perlawanan budaya pula, budaya anti-korupsi. Caranya, sebagaimana yang telah disebutkan di atas melalui isntitusi keluarga yang anti-korupsi. Keluarga yang anti-korupsi tentu saja akan menjadi keluraga yang bahagia, sejahtera (sakinah, mawaddah, wa rahmah), karena tidak ada rasa ketakutan atas sumber-sumber rejeki yang diperolehnya.
Korupsi di Indonesia sungguh telah menyatu dengan sistem kehidupan masyarakat. Karena itu proses pemberantasannya tidak cukup dengan pendekatan hukum dan persoalan struktural, melainkan persoalan kebudayaan. Karena itu, korupsi harus dilawan dengan strategi budaya berbasis keluarga. Hari gini koq masih korupsi…!!
Sumber : http://politik.kompasiana.com/2014/12/27/melawan-budaya-korupsi-699153.html