Korupsi (Bukan) Anak Haram Demokrasi
Partai politik dan korupsi seakan ibarat dua sisi mata uang. Di mana ada partai, di situ ada korupsi. Bukan cuma di zaman partai yang acap jadi bahan olok-olok: partai korupsi sapi (PKS). Tapi bahkan sejak Soekarno di era Orde Lama.
Dari googling, tercatat saat PNI berkuasa di bawah kabinet Ali Sastroamidjojo (1953-1955), korupsi sudah dilakukan secara “masif, terstruktur, dan sistematis”. Dengan melibatkan Menteri Keuangan Iskaq Tjokrohadisoerjo, kabinet melakukan korupsi.
Modusnya, memilih perusahaan kader partai untuk menggarap proyek-proyek pembangunan. Semua dana kementerian disimpan di Bank Umum Nasional yang merupakan onderbouw partai.
Setelah PNI kehilangan tahta, kasus-kasus itu dibongkar. Menteri Keuangan Iskaq Tjokrohadisoerjo divonis 10 tahun penjara (tahun 1960), tapi diberi grasi oleh Presiden Soekarno.
Menurut Iskaq, motif korupsi adalah mencari dana bagi partai. Sebagai persiapan menghadapi pemilu 1955. Alasan yang identik dengan partai yang sekarang kerap jadi bahan olok-olok: partai korupsi sapi.
Pendanaan partai jadi alasan untuk korupsi. Dari zaman Soekarno hingga sekarang. Ini sudah dibahas oleh para pakar dan pengamat, sampai berbusa-busa.
Bukan Tabulasi
Tanpa korupsi, mustahil roda partai bisa berderak. Korupsi bukan hanya ibarat oli pelumas mesin, tetapi juga bahan bakar itu sendiri. Mana ada partai yang tak korupsi? Sebut saja, dari partai kabah sampai partai dakwah. Dari partai marhen lapis bawah sampai berlambang matahari di puncak langit.
Benarkah korupsi merupakan anak haram demokrasi? Sistem demokrasi telah memaksa kita menjadi pencoleng. Partai tak merasa bersalah untuk korupsi, karena itu dilakukan demi mempertahankan hak paling azali: hak untuk hidup. Karena tanpa korupsi, partai akan mati. Dengan dalil ini, korupsi menjadi absah.
Apakah demokrasi-nya yang salah? Demokrasi akan salah kaprah jika hanya dianggap bertalian dengan contreng dan tabulasi. Setelah kampanye basa-basi dan coblosan, muncullah sang pemenang. Kemudian semua pendulum bergerak ke arah yang sama: kepada pemenang untuk sama-sama menyantap gurihnya kekuasaan.
Bukankah demokrasi bukan hanya sekadar tally atau bitingan. Ia adalah sistem untuk memaksa kita menjadi jujur (karena ada transparansi), saling menghormati (karena ada aturan), dan banyak lagi.
Sungguh ironis, para pendekar demokrasi berteriak histeris ketika pilkadal (pilkada langsung) akan dihapus diganti via DPRD. Tetapi membisu ketika televisi frekeunsi publik dikangkangi untuk kepentingan partisan.
Demokrasi mati bukan hanya karena kita tak (bisa) nyoblos. Tetapi juga karena rule of game dilanggar di sana-sini. Ketika para pem-buly gentayangan di dunia maya dan para netizen diupah untuk saling menghina satu sama lain.
Penegak hukum hanya membisu melihat serapah merajalela. Kecuali ketika “tukang tusuk sate” ditangkap karena menista. Itupun kemudian dibela politisi dari kubu lawan yang dihina. Padahal itu bukan urusan pihak nomor satu atau dua. Tapi perihal telah dirampasnya hak rakyat untuk mendapatkan internet sehat.
Benar, kembali ke coblosan sistem perwakilan (DPRD) bukan solusi. Tapi, ada juga yang penting untuk dipikirkan. Yakni: minimnya pendidikan politik. Dunia pendidikan, pers, birokrasi, KPU, panwas, pengamat, aktivis punya tanggung jawab memberi pencerahan. Tetapi mayoritas absen.
Saya galau karena Anis Baswedan merapat ke kubu salah satu capres. Dia orang baik dan hebat. Idealnya, beliau menjadi agonis dalam mendarahdagingkan keluhuran nilai (demokrasi) di institusi pendidikan. Tapi dia memilih partisan. Mungkin, beliau merasa politik (praktis) lebih berdaya guna.
Saya juga kecewa (mantan) menteri agama Suryadharma Ali merapat ke kubu satunya. Sebagai menag, dia punya kuasa dan sumber daya untuk membina akhlak (ini bagian demokrasi juga).
Anis dan SDA adalah contoh dua orang pemilik sumberdaya yang memilih meninggalkan gawang. Kemudian keduanya berbeda nasib.
Kita butuh orang yang bersedia mengembangkan demokrasi. Yang mau mengajari masyarakat akan pentingnya menghormati sistem dan aturan main. Bukan justru mengajari caranya curang, arogan, dan sewenang-wenang. Kita butuh tokoh yang bersedia menyadarkan rakyat bahwa semakin banyak kaus partai, makin besar pula korupsi.
Ah, rupanya sudah panjang tulisan ini. Sekadar coretan peneman insomia. Matur nuwun kalau ada yang mau membaca. Mohon maaf atas kenaifan-kenaifan ini.
Sumber : http://politik.kompasiana.com/2014/12/28/korupsi-bukan-anak-haram-demokrasi-693897.html
Dari googling, tercatat saat PNI berkuasa di bawah kabinet Ali Sastroamidjojo (1953-1955), korupsi sudah dilakukan secara “masif, terstruktur, dan sistematis”. Dengan melibatkan Menteri Keuangan Iskaq Tjokrohadisoerjo, kabinet melakukan korupsi.
Modusnya, memilih perusahaan kader partai untuk menggarap proyek-proyek pembangunan. Semua dana kementerian disimpan di Bank Umum Nasional yang merupakan onderbouw partai.
Setelah PNI kehilangan tahta, kasus-kasus itu dibongkar. Menteri Keuangan Iskaq Tjokrohadisoerjo divonis 10 tahun penjara (tahun 1960), tapi diberi grasi oleh Presiden Soekarno.
Menurut Iskaq, motif korupsi adalah mencari dana bagi partai. Sebagai persiapan menghadapi pemilu 1955. Alasan yang identik dengan partai yang sekarang kerap jadi bahan olok-olok: partai korupsi sapi.
Pendanaan partai jadi alasan untuk korupsi. Dari zaman Soekarno hingga sekarang. Ini sudah dibahas oleh para pakar dan pengamat, sampai berbusa-busa.
Bukan Tabulasi
Tanpa korupsi, mustahil roda partai bisa berderak. Korupsi bukan hanya ibarat oli pelumas mesin, tetapi juga bahan bakar itu sendiri. Mana ada partai yang tak korupsi? Sebut saja, dari partai kabah sampai partai dakwah. Dari partai marhen lapis bawah sampai berlambang matahari di puncak langit.
Benarkah korupsi merupakan anak haram demokrasi? Sistem demokrasi telah memaksa kita menjadi pencoleng. Partai tak merasa bersalah untuk korupsi, karena itu dilakukan demi mempertahankan hak paling azali: hak untuk hidup. Karena tanpa korupsi, partai akan mati. Dengan dalil ini, korupsi menjadi absah.
Apakah demokrasi-nya yang salah? Demokrasi akan salah kaprah jika hanya dianggap bertalian dengan contreng dan tabulasi. Setelah kampanye basa-basi dan coblosan, muncullah sang pemenang. Kemudian semua pendulum bergerak ke arah yang sama: kepada pemenang untuk sama-sama menyantap gurihnya kekuasaan.
Bukankah demokrasi bukan hanya sekadar tally atau bitingan. Ia adalah sistem untuk memaksa kita menjadi jujur (karena ada transparansi), saling menghormati (karena ada aturan), dan banyak lagi.
Sungguh ironis, para pendekar demokrasi berteriak histeris ketika pilkadal (pilkada langsung) akan dihapus diganti via DPRD. Tetapi membisu ketika televisi frekeunsi publik dikangkangi untuk kepentingan partisan.
Demokrasi mati bukan hanya karena kita tak (bisa) nyoblos. Tetapi juga karena rule of game dilanggar di sana-sini. Ketika para pem-buly gentayangan di dunia maya dan para netizen diupah untuk saling menghina satu sama lain.
Penegak hukum hanya membisu melihat serapah merajalela. Kecuali ketika “tukang tusuk sate” ditangkap karena menista. Itupun kemudian dibela politisi dari kubu lawan yang dihina. Padahal itu bukan urusan pihak nomor satu atau dua. Tapi perihal telah dirampasnya hak rakyat untuk mendapatkan internet sehat.
Benar, kembali ke coblosan sistem perwakilan (DPRD) bukan solusi. Tapi, ada juga yang penting untuk dipikirkan. Yakni: minimnya pendidikan politik. Dunia pendidikan, pers, birokrasi, KPU, panwas, pengamat, aktivis punya tanggung jawab memberi pencerahan. Tetapi mayoritas absen.
Saya galau karena Anis Baswedan merapat ke kubu salah satu capres. Dia orang baik dan hebat. Idealnya, beliau menjadi agonis dalam mendarahdagingkan keluhuran nilai (demokrasi) di institusi pendidikan. Tapi dia memilih partisan. Mungkin, beliau merasa politik (praktis) lebih berdaya guna.
Saya juga kecewa (mantan) menteri agama Suryadharma Ali merapat ke kubu satunya. Sebagai menag, dia punya kuasa dan sumber daya untuk membina akhlak (ini bagian demokrasi juga).
Anis dan SDA adalah contoh dua orang pemilik sumberdaya yang memilih meninggalkan gawang. Kemudian keduanya berbeda nasib.
Kita butuh orang yang bersedia mengembangkan demokrasi. Yang mau mengajari masyarakat akan pentingnya menghormati sistem dan aturan main. Bukan justru mengajari caranya curang, arogan, dan sewenang-wenang. Kita butuh tokoh yang bersedia menyadarkan rakyat bahwa semakin banyak kaus partai, makin besar pula korupsi.
Ah, rupanya sudah panjang tulisan ini. Sekadar coretan peneman insomia. Matur nuwun kalau ada yang mau membaca. Mohon maaf atas kenaifan-kenaifan ini.
Sumber : http://politik.kompasiana.com/2014/12/28/korupsi-bukan-anak-haram-demokrasi-693897.html