Pilkades Bukan Rezim Pemilu
Desa merupakan institusi pemerintahan terendah dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Desa dipimpin oleh Kepala Desa yang dipilih secara langsung oleh rakyat. Pasal 34 ayat (1) Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa menyebutkan: “Kepala Desa dipilih langsung oleh rakyat desa”.
Sumber : http://politik.kompasiana.com/2014/12/28/pilkades-bukan-rezim-pemilu-713128.html
Kendatipun Pemilihan Kepala Desa langsung oleh rakyat, layaknya Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, dan Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati/Wallikota dan Wakil Walikota, Pilkades tak masuk dalam “rezim pemilu” Indonesia. Padahal dalam banyak hal, dari segi sistem, sifat, dan tahapan dan program penyelenggaraan Pilkades, sama persis dengan Pilpres dan Pilkada.
Pertama, sistem pemilu langsung di Indonesia pasca amandemen UUD 1945 diilhami dari Pilkades yang dipilih langsung oleh rakyat. Indonesia berarti tak mengadopsi sistem pemilu luar negeri. Akan tetapi, hal itu merupakan improvisasi dari tradisi, nilai serta norma demokrasi yang berurat-akar di tengah-tengah masyarakat desa.
Kedua, Pilkades memiliki sifat yang sama dengan Pilpres dan Pilkada. Sama-sama bersifat langsung, umum bebas, rahasisa, jujur dan adil, seperti dalam ketentuan Pasal 34 ayat (2) UU Desa tersebut.
Ketiga, tahapan penyelenggaraan Pilkades juga meliputi: tahapan pencalonan, pemungutan suara dan penetapan, seperti dalam ketentuan Pasal 34 ayat (3) UU Desa tersebut pula.
Tampaknya, walau memiliki tiga kesamaan antara Pilkades, Pilpres dan Pilkada di atas, pemerintah dan DPR RI tidak memasukan Pilkades sebagai “rezim pemilu”. Pilkades merupakan sistem pemilihan sendiri di luar sistem pemilu yang ada.
Penyelenggara Pilkades adalah panitia yang dibentuk oleh Kepala Desa dan BPD (Badan Permusyawaratan Desa), bukan KPU sebagai institusi penyelenggara pemilu yang bersifat nasional, mandiri dan tetap. Dan juga, bila terjadi perselisihan hasil Pilkades, maka Bupatilah yang mempunyai kewenangan untuk menyelesaikannya, bukan Pengadilan Negeri yang keputusannya bersifat mengikat dan final.
Ketentuan-ketentuan di atas mempertegas posisi Pilkades yang bukan termasuk “rezim pemilu”. Padahal, Pilkades jauh lebih “rawan” secara sosial politik daripada pemilu-pemilu yang lain. Ini mengingat jarak yang sangat dekat secara fisik, geografis, psikologis dan sosiologis antara calon, tim sukses, pendukung, serta pemilih yang satu, dengan yang lainnya.
Sangat terasa, atmosfir politik Pilkades sangat “panas”. Tak jarang, terjadi gesekan tajam. Gesekan bukan hanya pada saat pelaksanaan, namun yang lebih parah, justru pasca pelaksanaan Pilkades. Tingkat perselisihan hasil Pilkades tinggi. Banyak pula yang berujung di pengadilan untuk mendapatkan keadilan politik demokratis.
Pemberian kewenangan kepada bupati untuk menyelesaikan perselisihan hasil Pilkades, sebagaimana ketentuan Pasal 37 ayat (6), justru tidak projustisia. Pemerintah dan DPR RI semestinya membuka jalan penyelesaian perselisihan hasil Pilkades di pengadilan, bukan di luar pengadilan. Ini tak memberikan contoh yang baik menyelesaikan segala suatu perkara secara hukum. Indonesia ini adalah rechstaat (negara hukum), bukan machstaat (negera kekuasaan).
Jadi, pemberian kewenangan pada bupati untuk menyelesaikan perselisihan hasil Pilkades, sangat kental pendekatan politik kekuasaan. Penyelesaiannya pun juga pasti sangat politis. Sehingga, penyelesaiannya sangat semu dan sesaat. Potensi konflik horisontal justru kian menganga dan terbuka lebar. Hukum rimba yang akan berkuasa. Yang kuat, menang, dan yang lemah, kalah. Sementara pendekatan hukum yuridis sebaliknya. Yang benar yang menang, dan yang salah, kalah.
Oleh karena itu, Pilkades idealnya dimasukan ke “rezim pemilu”, sehingga diurus oleh institusi penyelenggara pemilu yang sama. Mekanisme, tahapan dan program Pilkades dilakukan bersamaan. Penyelesaian perselisihan hasil Pilkades juga dilakukan melalui jalur pengadilan.
Proses integrasi pemilu, mulai dari Pilpres, Pilkada sampai Pilkades akan mengukuhkan sistem demokrasi Indonesia. Demokratisasi di negeri ini berarti, sudah benar-benar tuntas. Demokrasi atas, tengah dan bawah yang menguatkan akar kerakyatan dari penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, pembinaan masyarakat dan pemberdayaan masyarakat desa.
*Bahan Warkshop Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, diselenggarakan oleh Majlis Daerah KAHMI Bondowoso, dengan Tema: “Kebangkitan Desa, Rakyat Sejahtera, Minggu, 28 Desember 2014, di Graha Sabha Bina Bondowoso.
**Moch Eksan, Presidium Majlis Daerah KAHMI Jember, dan Anggota DPRD Propinsi Jawa Timur.
Sumber : http://politik.kompasiana.com/2014/12/28/pilkades-bukan-rezim-pemilu-713128.html