Pencitraan Terus Berlanjut, Akankah sama seperti Orba?
Presiden dan Wakil Presiden telah terlantik, Kabinet telah ditentukan dan telah dilantik juga. Kabinet kerja namanya, Presiden berharap semua jajaran kabinet sesuai dengan perintahnya yaitu kerja, kerja dan kerja. Meminta semua jajaran agar kerja dengan baik, rakyat, pengusaha, politik, akademis supaya kerja dengan cerdas, keras, ikhlas. Itulah harapan dan keinginan presiden terpilih Jokowi. Tak kalah penting semua kegiatan, dan hal terkecilpun tidak luput dari perhatian publik. Wartawan selalu memburu berita terkini dari bangun tidur membuka mata sampai hendak tidur menutup mata semua kegiatan tidak pernah ketinggalan. Seakan berita apapun dari sang presiden menjadi trending topik dan banyak pembacanya. Presiden memang mempunyai andil penting dalam pemerintahan dan kepemimpinan rakyat, presiden yang lebih dikenal luas didunia maya, dunia jurnalistik dan rakyat. Bahkan keluarganya mulai dari istrinya yang sebelumnya tidak pernah terekspos media, kini mulai terus tersorot kamera dan video shotting. Istrinya yang hanya Ibu rumah tangga, bukan politikus, bukan pengusaha dan bukan yang biasa duduk dipemerintahan kini juga menjadi perhatian wartawan. Kemudian berlanjut pada anak-anaknya, Ibu dan bapaknya, orang-orang yang pernah dekat dengannya dari teman-teman SMP, SMA, tukan becak, tukang cukur, tukang sopir, pedangan pasar dll mulai kecantol kamera karena eksistensi sang presiden.
Setelah hal-hal yang paling dekat dengan presiden, kemudian wakilnya dan beberapa pendukung setia serta pengusung yang menjunjung menjadikan presiden tak kalah ingin mau masuk media. Ratting PDIP terus naik dengan sang presiden seakaan-akan kader terbaik yang dimiliki. PDIP memang hanya mempunyai Jokowi saat itu untuk menyusungnya menjadi Presiden, PDIP tidak punya pilihan lain, Jokowi sudah terlanjur terkenal dengan “blusukan” oleh awak media. Dengan menduduki posisi strategis orang nomor satu di DKI Jakarta tak sulit untuk mendulang suara dengan berbagai strategi masif yang terencana dan rapi untuk mendudukkan sebagai kursi Presiden. Popularitas, dekat dengan rakyat, blusukan yang menjadi bahan empuk sebagai sasaran tembak kampanye. Dilanjutkan revolusi mental untuk bangsa ini, 1,4 milyar untuk desa, menguatkan Indonesia sebagai negara maritim, dll menjadi bahan visi dan misi capres. Pencitraan tidak pernah pudar oleh Jokowi, semua program kerja, kegiatan dan sifatnya menjadi baik bahkan tanpa cacat. Kebaikan-kebaikan semua tertuju padanya, semua bentuk kekurangan, kecacatan dan kegagalan bahkan ditutupi dengan rapi. Seakan-akan rakyat tidak peduli dengan itu semua, yang terpenting adalah kesuksesannya. Padahal tidak semua hal itu berjalan dengan mulus dan baik-baik saja. Bahkan dibalik itu semua akan terlihat keburukannya.
Kabinet yang baru mulai diterjang badai media, semua kerjanya diliput dari hari pertama kerjanya ikut-ikutan blusukan, padahal tidak semua blusukan misal hanya ceck ruangan, rapat internal, sidang mendadak, dll. Semua terlihat rapi dan tersusun dengan baik. Walaupun ada sedikit kecurigaan untuk orang-orang yang menduduki kursi kabinet, apakah KPK benar-benar telah memverifikasi dengan baik? Apakah hal tersebut tidak ada intervensi dari parpol saat pemilihan kabinet? Semua tidak bisa dipastikan benar-benar murni secara objektif dalam pemilihan kabinet. Menteri merokok, gambar penyakit di bungkus rokok tidak mempan, bea cukai rokok tetap tinggi, harga rokok mulai dimahalkan. Namun, tetap saja rokok sudah menjadi mendarah daging di tubuh bangsa ini, sebagai bangsa berkembang yang kurang menghargai globalisasi, kecerdasan, terknologi dan industri. Masih banyak hal-hal yang bisa dilakukan yang lebih penting daripada menyulut rokok sebagai konsumsi yang katanya untuk menenangkan jiwa dan membuat senang hati.
Pencitraan memang terus berlanjut, seakan-akan popularitas semakin mendulang tinggi. Eksistensi terus melonjat bersama tim kabinet dan jajarannya tanpa memikirkan jajaran disebelahnya. DPR rusuh terasa tutup telinga, perpecahan di parpol PPP yang ekstream dari masing-masing kubu yang terus mempertahankan kuat keputusannya. Ditambah adanya pimpinan DPR “TANDINGAN” yang katanya sudah mendapat mandat resmi untuk menjaga stabilitas parlemen karena struktur yang tumpang di KMP. KIH rupanya tidak menerima jika KMP yang menguasai semua parlemen, mereka tidak mau jika keleluasaan presiden tercoreng bahkan terhambat gara-gara ulah DPR. Mau jadi seperti apa ini? Jangan-jangan ada dua DPR di negeri ini. Semua tidak mau ada yang menerima jika kekuasaannya terbatasi. Contoh antara KONI dan KOI, ISL dan IPL, dan masing banyak lagi. Semua terbecah belah karena ego masing-masing yang ujungnya tidak menghasilkan sesuatu yang berguna bagi bangsa ini. Rakyat menginginkan bangsa ini aman dan tentram dari semua jajaran pemerintahan dan rakyatnya.
Jika pencitraan presiden tercoreng tindakan langsung seakan-akan mencoreng nama baik, sehingga seorang bocah SMA dijebloskan ditahanan karena membuat gambar capres yang katanya kurang benar. Semua pemberitaan harus baik entah itu benar atau hanya pencitraan. Jika ada pemberitaan yang buruk walaupun itu memang benar adanya langsung ditindak sebagai pencorengan nama baik. Seakan kita kembali ke masa orba. Semoga pemberitaan yang buruk tentang menteri Kelautan dan Perikanan karena merokok saat diwawancarai menjadi ukur bahwa berita itu objektif tidak berpihak pada kekuasaan dan pada keuangan. Jadikan berita itu bukan berita biasa-biasa aja, jadikan berita itu sebagai bentuk perhatian khusus ternyata jajaran menteri juga perlu adanya revolusi mental tidak hanya rakyat tapi pemerintahan juga termasuk “DPR TANDINGAN” yang sok-sokan membela presiden dibalik kedoknya.
Sumber : http://ift.tt/103ZYez
Setelah hal-hal yang paling dekat dengan presiden, kemudian wakilnya dan beberapa pendukung setia serta pengusung yang menjunjung menjadikan presiden tak kalah ingin mau masuk media. Ratting PDIP terus naik dengan sang presiden seakaan-akan kader terbaik yang dimiliki. PDIP memang hanya mempunyai Jokowi saat itu untuk menyusungnya menjadi Presiden, PDIP tidak punya pilihan lain, Jokowi sudah terlanjur terkenal dengan “blusukan” oleh awak media. Dengan menduduki posisi strategis orang nomor satu di DKI Jakarta tak sulit untuk mendulang suara dengan berbagai strategi masif yang terencana dan rapi untuk mendudukkan sebagai kursi Presiden. Popularitas, dekat dengan rakyat, blusukan yang menjadi bahan empuk sebagai sasaran tembak kampanye. Dilanjutkan revolusi mental untuk bangsa ini, 1,4 milyar untuk desa, menguatkan Indonesia sebagai negara maritim, dll menjadi bahan visi dan misi capres. Pencitraan tidak pernah pudar oleh Jokowi, semua program kerja, kegiatan dan sifatnya menjadi baik bahkan tanpa cacat. Kebaikan-kebaikan semua tertuju padanya, semua bentuk kekurangan, kecacatan dan kegagalan bahkan ditutupi dengan rapi. Seakan-akan rakyat tidak peduli dengan itu semua, yang terpenting adalah kesuksesannya. Padahal tidak semua hal itu berjalan dengan mulus dan baik-baik saja. Bahkan dibalik itu semua akan terlihat keburukannya.
Kabinet yang baru mulai diterjang badai media, semua kerjanya diliput dari hari pertama kerjanya ikut-ikutan blusukan, padahal tidak semua blusukan misal hanya ceck ruangan, rapat internal, sidang mendadak, dll. Semua terlihat rapi dan tersusun dengan baik. Walaupun ada sedikit kecurigaan untuk orang-orang yang menduduki kursi kabinet, apakah KPK benar-benar telah memverifikasi dengan baik? Apakah hal tersebut tidak ada intervensi dari parpol saat pemilihan kabinet? Semua tidak bisa dipastikan benar-benar murni secara objektif dalam pemilihan kabinet. Menteri merokok, gambar penyakit di bungkus rokok tidak mempan, bea cukai rokok tetap tinggi, harga rokok mulai dimahalkan. Namun, tetap saja rokok sudah menjadi mendarah daging di tubuh bangsa ini, sebagai bangsa berkembang yang kurang menghargai globalisasi, kecerdasan, terknologi dan industri. Masih banyak hal-hal yang bisa dilakukan yang lebih penting daripada menyulut rokok sebagai konsumsi yang katanya untuk menenangkan jiwa dan membuat senang hati.
Pencitraan memang terus berlanjut, seakan-akan popularitas semakin mendulang tinggi. Eksistensi terus melonjat bersama tim kabinet dan jajarannya tanpa memikirkan jajaran disebelahnya. DPR rusuh terasa tutup telinga, perpecahan di parpol PPP yang ekstream dari masing-masing kubu yang terus mempertahankan kuat keputusannya. Ditambah adanya pimpinan DPR “TANDINGAN” yang katanya sudah mendapat mandat resmi untuk menjaga stabilitas parlemen karena struktur yang tumpang di KMP. KIH rupanya tidak menerima jika KMP yang menguasai semua parlemen, mereka tidak mau jika keleluasaan presiden tercoreng bahkan terhambat gara-gara ulah DPR. Mau jadi seperti apa ini? Jangan-jangan ada dua DPR di negeri ini. Semua tidak mau ada yang menerima jika kekuasaannya terbatasi. Contoh antara KONI dan KOI, ISL dan IPL, dan masing banyak lagi. Semua terbecah belah karena ego masing-masing yang ujungnya tidak menghasilkan sesuatu yang berguna bagi bangsa ini. Rakyat menginginkan bangsa ini aman dan tentram dari semua jajaran pemerintahan dan rakyatnya.
Jika pencitraan presiden tercoreng tindakan langsung seakan-akan mencoreng nama baik, sehingga seorang bocah SMA dijebloskan ditahanan karena membuat gambar capres yang katanya kurang benar. Semua pemberitaan harus baik entah itu benar atau hanya pencitraan. Jika ada pemberitaan yang buruk walaupun itu memang benar adanya langsung ditindak sebagai pencorengan nama baik. Seakan kita kembali ke masa orba. Semoga pemberitaan yang buruk tentang menteri Kelautan dan Perikanan karena merokok saat diwawancarai menjadi ukur bahwa berita itu objektif tidak berpihak pada kekuasaan dan pada keuangan. Jadikan berita itu bukan berita biasa-biasa aja, jadikan berita itu sebagai bentuk perhatian khusus ternyata jajaran menteri juga perlu adanya revolusi mental tidak hanya rakyat tapi pemerintahan juga termasuk “DPR TANDINGAN” yang sok-sokan membela presiden dibalik kedoknya.
Sumber : http://ift.tt/103ZYez