Jokowi Ibarat Orang Tua untuk Anak-Anak di Senayan
Gus Dur pernah mengatakan DPR itu seperti Taman Kanak-Kanak. Meskipun itu disampaikan dalam era yang berbeda untuk oknum-oknum yang berbeda, kenyataannya, ungkapan itu masih cocok untuk DPR generasi sekarang. Selalu menjadi kanak-kanak, dan begitulah seterusnya. Lalu, Presiden Jokowi yang tampil sederhana dan lugu itu, seakan menjadi bapak bagi mereka yang ada di taman kanak-kanak dengan ‘politik’ merangkulnya.
Rangkulan Jokowi sebelum pelantikan presiden memberikan nuansa rekonsiliasi yang sangat kuat. Berkat rangkulan politiknya yang tak terduga-duga, suasana menjadi cair. Sang Patriot bertemu dengan sang Ksatria. Pasar meresponnya dengan sangat positif juga. Sepertinya memang ada pihak-pihak yang kecewa manakala mereka bisa bertemu dan berdamai. Sempat terdengar kabar, sebagaimana disampaikan Fadli Zon, bahwa beberapa kalangan internal Gerindra tidak menginginkan pimpinannya hadir dalam pelantikan presiden. Nyatanya, sang patriot ini tetap hadir. Dengan ini saya kemudian diingatkan dalam peristiwa debat yang menyatakan bahwa pak Prabowo untuk saat itu mengabaikan para penasehatnya karena memang beliau setuju dengan pihak lawan.
Rupanya, rekonsiliasi tersebut belum mengakar benar. Ibarat sang patriot dan sang ksatria adalah orang-orang tua, maka anak-anak tetap ribut dan sibuk soal kue kekuasaan. Senayan menjadi tempat permainan yang mempertontonkan perebutan kekuasaan jangka pendek. Tidak di kubu KIH tidak di kubu KMP. Sama saja. Yang diperdebatkan bukanlah hal-hal yang substansial menyangkut kepentingan rakyat yang mereka wakili, tapi kepentingan kelompok politik. Tak segan-segan mereka mempertunjukkan sikap bar-bar. Yang satunya asal jalan dan asal dapat jatah kekuasaan, yang satunya ibarat anak kalah yang sedang ngambek.
Kalau tidak hati-hati, makna kekuatan penyeimbang di legislatif akan menjadi seimbang hitam putih bila dihadapkan dengan eksekutif yang saat ini sedang berbulan madu memegang idealisme. Artinya, legislatif akan menjadi pecundang, sedangkan eksekutif akan mendapatkan kesan sebagai pahlawan. Yang satunya protagonis, yang lainnya antagonis. Ibarat peperangan antara korawa dan pandawa.
Ini preseden yang tidak bagus, alih-alih penyeimbang ini akan menjadi kekuatan yang bisa meluruskan eksekutif kalau jalannya melenceng dari tujuan pemerintahan. Ketika mereka terus-terusan hanya berkutat dengan kekuasaan dan komentar-komentar yang tidak membangun, mereka akan kehilangan kepercayaan publik. Dan manakala kepercayaan ini sudah hilang, maka sebaik-baiknya mereka bicara dan menyampaikan wacana, akan dianggap angin lalu. Sebaliknya, seburuk-buruknya kinerja eksekutif yang dianggap protagonis ini, akan tetap dianggap biasa bahkan mendapat dukungan. Misalnya saja, ketika ada menteri wanita merokok, meskipun ini secara etiket tidak sopan, tapi tetap saja dimaklumi.
Sementara sekarang, ketika anggota KMP melakukan kritik (yang sayangnya kritiknya belum terlalu membangun), akan dianggap angin lalu. Ibarat sengkuni ngomong anti korupsi, akan diabaikan orang. Sementara Arjuna yang playboy, ngomong apapun akan kelihatan baik.
Ya… akhirnya apa yang dilakukan Jokowi akan dianggap sangat heroik. Meskipun dalam hal politik, politik merangkul itu bukan hal yang istimewa. Sementara apa yang dipertontonkan senayan, menunjukkan bahwa politik itu benar-benar kotor. Ya sudah, suasana seperti ini, meskipun menantang dan mungkin mempersulit pemerintahan Jokowi, justru akan menguntungkan citra sang presiden yang saat ini sedang mau bekerja-bekerja-bekerja.
Sumber : http://politik.kompasiana.com/2014/10/30/jokowi-ibarat-orang-tua-untuk-anak-anak-di-senayan-683767.html
Rangkulan Jokowi sebelum pelantikan presiden memberikan nuansa rekonsiliasi yang sangat kuat. Berkat rangkulan politiknya yang tak terduga-duga, suasana menjadi cair. Sang Patriot bertemu dengan sang Ksatria. Pasar meresponnya dengan sangat positif juga. Sepertinya memang ada pihak-pihak yang kecewa manakala mereka bisa bertemu dan berdamai. Sempat terdengar kabar, sebagaimana disampaikan Fadli Zon, bahwa beberapa kalangan internal Gerindra tidak menginginkan pimpinannya hadir dalam pelantikan presiden. Nyatanya, sang patriot ini tetap hadir. Dengan ini saya kemudian diingatkan dalam peristiwa debat yang menyatakan bahwa pak Prabowo untuk saat itu mengabaikan para penasehatnya karena memang beliau setuju dengan pihak lawan.
Rupanya, rekonsiliasi tersebut belum mengakar benar. Ibarat sang patriot dan sang ksatria adalah orang-orang tua, maka anak-anak tetap ribut dan sibuk soal kue kekuasaan. Senayan menjadi tempat permainan yang mempertontonkan perebutan kekuasaan jangka pendek. Tidak di kubu KIH tidak di kubu KMP. Sama saja. Yang diperdebatkan bukanlah hal-hal yang substansial menyangkut kepentingan rakyat yang mereka wakili, tapi kepentingan kelompok politik. Tak segan-segan mereka mempertunjukkan sikap bar-bar. Yang satunya asal jalan dan asal dapat jatah kekuasaan, yang satunya ibarat anak kalah yang sedang ngambek.
Kalau tidak hati-hati, makna kekuatan penyeimbang di legislatif akan menjadi seimbang hitam putih bila dihadapkan dengan eksekutif yang saat ini sedang berbulan madu memegang idealisme. Artinya, legislatif akan menjadi pecundang, sedangkan eksekutif akan mendapatkan kesan sebagai pahlawan. Yang satunya protagonis, yang lainnya antagonis. Ibarat peperangan antara korawa dan pandawa.
Ini preseden yang tidak bagus, alih-alih penyeimbang ini akan menjadi kekuatan yang bisa meluruskan eksekutif kalau jalannya melenceng dari tujuan pemerintahan. Ketika mereka terus-terusan hanya berkutat dengan kekuasaan dan komentar-komentar yang tidak membangun, mereka akan kehilangan kepercayaan publik. Dan manakala kepercayaan ini sudah hilang, maka sebaik-baiknya mereka bicara dan menyampaikan wacana, akan dianggap angin lalu. Sebaliknya, seburuk-buruknya kinerja eksekutif yang dianggap protagonis ini, akan tetap dianggap biasa bahkan mendapat dukungan. Misalnya saja, ketika ada menteri wanita merokok, meskipun ini secara etiket tidak sopan, tapi tetap saja dimaklumi.
Sementara sekarang, ketika anggota KMP melakukan kritik (yang sayangnya kritiknya belum terlalu membangun), akan dianggap angin lalu. Ibarat sengkuni ngomong anti korupsi, akan diabaikan orang. Sementara Arjuna yang playboy, ngomong apapun akan kelihatan baik.
Ya… akhirnya apa yang dilakukan Jokowi akan dianggap sangat heroik. Meskipun dalam hal politik, politik merangkul itu bukan hal yang istimewa. Sementara apa yang dipertontonkan senayan, menunjukkan bahwa politik itu benar-benar kotor. Ya sudah, suasana seperti ini, meskipun menantang dan mungkin mempersulit pemerintahan Jokowi, justru akan menguntungkan citra sang presiden yang saat ini sedang mau bekerja-bekerja-bekerja.
Sumber : http://politik.kompasiana.com/2014/10/30/jokowi-ibarat-orang-tua-untuk-anak-anak-di-senayan-683767.html