Dalam Kasus Pembantu Tukang Sate: Kepemimpinan Jokowi Gaya Thrasymachus ataukah Plato
Keadilan sosial adalah sebuah konsep yang membuat para filsuf terkagum-kagum sejak Plato membantah filsuf muda, Thrasymachus, karena ia menyatakan bahwa keadilan adalah apa pun yang ditentukan oleh si terkuat. Dalam Republik, Plato meresmikan alasan bahwa sebuah negara ideal akan bersandar pada empat sifat baik: kebijakan, keberanian, keprihatinan, dan keadilan.
Pemikiran Thrasymachus dalam menjalankan kepemimpinan ditinggalkan banyak orang di jaman itu karena memang tidak memiliki pembelaan pada masyarakat sebagai dasar awal berdirinya sebuah negara.
Berangkat dari pemikiran Plato dalam mencermati kasus yang lagi hangat sekarang. Tertangkapnya pembantu tukang sate yaitu Muhammad Arsyad pada Kamis 23 Oktober lalu di rumahnya Kampung Rambutan, Jakarta Timur.
Dengan alasan penangkapan karena pembantu tukang sate tersebut menyebarkan foto Presiden Jokowi di media sosial facebook. Gambar tersebut merupakan hasil editan dari konversi gambar porno dan foto Jokowi.
Bagaimanakah langkah-langkah Jokowi sebagai seorang presiden yang menjadi korban pada kasus tersebut.
Pertama mengutip pemikiran Plato tentang kebijakan. Kebijakan merupakan rangkaian konsep dan asas yang menjadi pedoman dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan, dan cara bertindak.
Istilah ini dapat diterapkan pada pemerintahan, organisasi dan kelompok sektor swasta, serta individu. Termasuk dalam pemerintahan yang dipimpin Presiden Jokowi.
Jika menengok kasus pembantu tukang sate dan Jokowi. Jokowi dapat menggunakan kebijakannya sesuai dengan keinginan Jokowi yang dalam kasus tersebut posisinya menjadi korban.
Kebijakan Jokowi dalam kasus ini bisa memaafkan atau pun tidak sesuai dengan keinginan dan pertimbangannya. Tentunya apapun kebijakan yang diambil Jokowi harus menjadi pedoman dalam menyelesaikan kasus tersebut.
Permasalahannya di sini akankah Jokowi mengambil kebijakan untuk menyelesaikan kasus tersebut atau menyerahkan sepenuhnya pada kebijakan hukum yang tentunya kebijakan hukum memiliki sifat memaksa ( daek teu daek kudu ditarima).
Kedua, Jokowi dalam menjalankan kepemimpinan di Indonesia tentunya pasti memiliki keberanian. Keberanian haruslah sebagai sikap perjuangan yang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan dengan segala nilai kebenaran.
Keberanian pertama Jokowi pada awal kepemimpinannya dalam pandangan saya adalah menunjuk seorang perempuan yang memiliki tato dan suka merokok yaitu, ibu Susi sebagai Menteri Perikanan dan Kelautan di tengah-tengah banyaknya lembaga dan organisasi di Indonesia mengkampanyekan bahaya merokok.
Langkah Jokowi tersebut jika melihat kiprah dan kerja keras ibu Susi dalam usahanya memang memberikan cukup alasan kebenaran dari penunjukan sebagai menteri.
Keberanian kedua Jokowi nampaknya diuji pada kasus penyebaran foto “porno”. Keberanian Jokowi dalam memberikan kebijakan pada kasus ini tentunya sangat ditunggu publik karena memiliki wilayah strategis untuk mempercepat penyelesaian.
Ketiga, menurut Plato yaitu keprihatinan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia keprihatinan memiliki arti kesedihan yg mendalam terhadap kehidupan rakyat jelata.
Akankah keprihatinan muncul menjadi gaya Jokowi pada AM setelah menjadi seorang presiden yang memiliki kekuatan dan kekuasaan. Seorang yang dulu di gembor-gemborkan merakyat pada waktu kampanye.
Padahal jika kita ketahui keluarga tersangka tergolong keluarga tidak mampu, sementara orangtua tersangka sendiri tergolong buta huruf. (ujar pengacara tersangka Irfan Fahmi kepada suara.com).
Terakhir Plato menyebut keadilan. Penafsiran sederhana dengan melihat keumuman masyarakat di Indonesia memberikan tafsiran inti pada keadilan adalah meletakkan segala sesuatunya pada tempatnya.
Berbagai hal serupa memiliki indikasi pornografi yang telah diperbuat oleh AM tentunya cukup banyak dengan berbagai bentuk lebih luar biasa dari itu bahkan tersistematis.
Dimanakah keadilan untuk memperkarakan kasus-kasus lainnya. “Hukum tajam ke bawah tumpul ke atas”. Akan kah tetap ada kalimat itu di Era Jokowi.
Iman Nuryadin
Ketua Umum Gerakan Mahasiswa Swasta Jawa Barat
Sumber : http://politik.kompasiana.com/2014/10/30/dalam-kasus-pembantu-tukang-sate-kepemimpinan-jokowi-gaya-thrasymach-ataukah-plato--688749.html
Pemikiran Thrasymachus dalam menjalankan kepemimpinan ditinggalkan banyak orang di jaman itu karena memang tidak memiliki pembelaan pada masyarakat sebagai dasar awal berdirinya sebuah negara.
Berangkat dari pemikiran Plato dalam mencermati kasus yang lagi hangat sekarang. Tertangkapnya pembantu tukang sate yaitu Muhammad Arsyad pada Kamis 23 Oktober lalu di rumahnya Kampung Rambutan, Jakarta Timur.
Dengan alasan penangkapan karena pembantu tukang sate tersebut menyebarkan foto Presiden Jokowi di media sosial facebook. Gambar tersebut merupakan hasil editan dari konversi gambar porno dan foto Jokowi.
Bagaimanakah langkah-langkah Jokowi sebagai seorang presiden yang menjadi korban pada kasus tersebut.
Pertama mengutip pemikiran Plato tentang kebijakan. Kebijakan merupakan rangkaian konsep dan asas yang menjadi pedoman dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan, dan cara bertindak.
Istilah ini dapat diterapkan pada pemerintahan, organisasi dan kelompok sektor swasta, serta individu. Termasuk dalam pemerintahan yang dipimpin Presiden Jokowi.
Jika menengok kasus pembantu tukang sate dan Jokowi. Jokowi dapat menggunakan kebijakannya sesuai dengan keinginan Jokowi yang dalam kasus tersebut posisinya menjadi korban.
Kebijakan Jokowi dalam kasus ini bisa memaafkan atau pun tidak sesuai dengan keinginan dan pertimbangannya. Tentunya apapun kebijakan yang diambil Jokowi harus menjadi pedoman dalam menyelesaikan kasus tersebut.
Permasalahannya di sini akankah Jokowi mengambil kebijakan untuk menyelesaikan kasus tersebut atau menyerahkan sepenuhnya pada kebijakan hukum yang tentunya kebijakan hukum memiliki sifat memaksa ( daek teu daek kudu ditarima).
Kedua, Jokowi dalam menjalankan kepemimpinan di Indonesia tentunya pasti memiliki keberanian. Keberanian haruslah sebagai sikap perjuangan yang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan dengan segala nilai kebenaran.
Keberanian pertama Jokowi pada awal kepemimpinannya dalam pandangan saya adalah menunjuk seorang perempuan yang memiliki tato dan suka merokok yaitu, ibu Susi sebagai Menteri Perikanan dan Kelautan di tengah-tengah banyaknya lembaga dan organisasi di Indonesia mengkampanyekan bahaya merokok.
Langkah Jokowi tersebut jika melihat kiprah dan kerja keras ibu Susi dalam usahanya memang memberikan cukup alasan kebenaran dari penunjukan sebagai menteri.
Keberanian kedua Jokowi nampaknya diuji pada kasus penyebaran foto “porno”. Keberanian Jokowi dalam memberikan kebijakan pada kasus ini tentunya sangat ditunggu publik karena memiliki wilayah strategis untuk mempercepat penyelesaian.
Ketiga, menurut Plato yaitu keprihatinan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia keprihatinan memiliki arti kesedihan yg mendalam terhadap kehidupan rakyat jelata.
Akankah keprihatinan muncul menjadi gaya Jokowi pada AM setelah menjadi seorang presiden yang memiliki kekuatan dan kekuasaan. Seorang yang dulu di gembor-gemborkan merakyat pada waktu kampanye.
Padahal jika kita ketahui keluarga tersangka tergolong keluarga tidak mampu, sementara orangtua tersangka sendiri tergolong buta huruf. (ujar pengacara tersangka Irfan Fahmi kepada suara.com).
Terakhir Plato menyebut keadilan. Penafsiran sederhana dengan melihat keumuman masyarakat di Indonesia memberikan tafsiran inti pada keadilan adalah meletakkan segala sesuatunya pada tempatnya.
Berbagai hal serupa memiliki indikasi pornografi yang telah diperbuat oleh AM tentunya cukup banyak dengan berbagai bentuk lebih luar biasa dari itu bahkan tersistematis.
Dimanakah keadilan untuk memperkarakan kasus-kasus lainnya. “Hukum tajam ke bawah tumpul ke atas”. Akan kah tetap ada kalimat itu di Era Jokowi.
Iman Nuryadin
Ketua Umum Gerakan Mahasiswa Swasta Jawa Barat
Sumber : http://politik.kompasiana.com/2014/10/30/dalam-kasus-pembantu-tukang-sate-kepemimpinan-jokowi-gaya-thrasymach-ataukah-plato--688749.html