Negara Transisi
Simpang siurnya penuntasan penyusunan kabinet rezim Jokowi-JK sampai detik ini memberi kabar bukan hanya keberadaan kantor dewan transisi yang betul-betul masih ada, juga negara seolah berada dalam peralihan transisi yang tak pasti. Istilah transisi ini yang awalnya terbilang unik kalau bukan neyeleneh tentang apripori imajinasi sebuah ‘’perang’’ (pembentukan kedaulatan baru). Kelihatannya tak jauh pula dari inang maknanya, bahwa mungkin saja apa yang disebut literasi ‘’perang’’ dalam makna politik sekarang masih terus berada dalam zona yang mengkhawatirkan. Meski setumpuk manuver politik kompromi yang menyisakan makna ‘’gencatan senjata’’ telah muncul ke permukaan tapi lagi-lagi ini adalah politik, sebagai seni mengelola perasaan rakyat dalamnya mengalir kepentingan yang tak jauh berubah dari pangkalnya.
Kabinet seyogyanya adalah simbol pengejawantahan perangkat kekuasaan yang merupakan serpihan kolektif dari wujud aspirasi rayat lewat sang presiden—(sekarang) terbilang kosong. Carut marut terbentuknya kabinet setidaknya menggambarkan dua kemungkinan, pertama adalah merupakan proses selektif yang sangat ketat oleh sang presiden untuk memastikan apa yang disebut track record terpenuhi–lewat penglibatan KPK dan PPATK dalam membeberkan rapor merah atau kuning bagi kandidat. (hanya saja untuk alasan ini, bukankah KPK dan PPATK seharusnya dan sebenarnya telah mengantongi informasi yang akurat—ini bukan perkara yang harus dimulai dari nol untuk mendapat penilaian).
Yang kedua, adalah kemungkinan terjadinya persinggungan kepentingan yang akut diantara figur-figur elit yang memiliki pengaruh besar dilingkungan sang presiden. Apatah lagi sangat muda masyarakat membaca bahwa posisi politik Jokowi, Megawati, dan Jusuf Kalla yang merupakan figur sentral berada dalam kemungkinan berbeda pandangan yang serius, setidaknya hal tersebut terbaca dari serpihan-serpihan komentar Jokowi dan JK yang cenderung bukan hanya berbeda bahkan bertentangn. Belum lagi posisi-posisi elit ketua-ketua gerbong partai pendukung, hingga petinggi-petinggi dewan transisi jokowi potensi berbenturan dengan perangkat KPK dan PPATK—disatu sisi ‘’balas jasa’’ ala Jokowi-JK tak bisa dinafikan begitu saja. Kepentingan lembaga independen (KPK dan PPATK) sangat lazim bertentangan dengan segenap kepentingan dan cara pandang orang politik (politisi). Sebab mereka berada dalam pijakan cara berpikir yang berbeda.
Bagi elit politik, menganggap ini adalah dinamika politik, sebuah proses tarik menarik hingga kompromi kepentingan adalah hal yang umum dalam berpolitik. Sedangkan berbeda dengan rakyat dengan segenap histeria politik harapan yang berbingar-bingar—ini pertanda buruk ‘’sang jagoan’’ tertatih dalam penjara lingkar sandera elit oligarki, yang notabene umumnya sang elit memiliki kepentingan yang bertentangan dengan rakyat kecil pada umumnya. Sudah menjadi rahasia umum bahwa proses politik apapun yang telah berjalan tak dapat lepas begitu saja dari upaya untuk memperbincangkan ‘’ranah bagi-bagi kekuasaan’’, sebagai upaya penegasan bahwa politik adalah saluran seni mengelola kepentingan, alih-alih kita bicara altruisme politik bahwa sang presiden adalah titisan rakyat, lewat pembacaan simbolik bagaimana partisipasi rakyat yang tak biasa menyemarakkan atau setidaknya ia sebut sebagai kegembiraan politik yang meluap-luap (dari awal hingga pelantikan).
Tapi politik selalu memiliki dua sisi antara apa yang diproduksi tampak dipelupuk mata dan bayang-bayang yang memproduksi yang tak tampak didepan mata. Apa yang tampak adalah objek-objek politik yang memang hadir untuk menjawab harapan segmentasi politik publik atau menjadi ranah publik, tapi apa yang tak tampak adalah menjadi ranah privasi elit, disitulah kekuasaan dengan segenap perangkat artificial dikelola untuk menghasilkan apa yang dapat menjadi ranah konmsusi publik.
Kita (publik) hanya bisa membaca apa yang terjadi di lingkar elit seperti halnya meraba dalam gelap dari serpihan-serpihan tindakan-tindakan yang muncul ke permukaan.
Dalam posisi itulah seolah kita menempatkan sang presiden menjadi lokus sentral pertentangan kepentingan itu bergejolak. Sekali lagi ini antara elit oligarki dengan segenap kepentingan survivalitas kekuasaanya, dan rakyat dengan segenap pengharapan yang lebih dan kekuatan-kekuatan massanya. Meski analisa ini mencoba menafikan posisi politik sang tokoh, tapi dari pembacaan sepintas kita tak bisa melihat kekuatan posisi ideologis sang tokoh selain yang tampak adalah kekuasaan lingkar politik sang tokoh yang terkesan lebih besar.
Gejolak ini akan menentukan progresifitas kebijakan apa atau se-radikal bagaimana perubahan yang akan lahir kedepan. Ini sangat dipengaruhi sebesar yang mana kekuatan yang bergejolak tersebut memenangkan pertarungan (pengaruh) terhadap sang tokoh. Figur jokowi yang popular dimata rakyat terus masih menyisakan dalam ruang ketakpastian tentang keberpihakan antara membawa aspirasi rakyat secara massif sebagai wujud kemenangan rakyat ataukah menjadi pill penenang dalam menenangkan rakyat sebagai wujud kemenangan sang oligarki segenap dengan sang kapital.
Kita akan terus memantau—kalau saja kandidat yang mengisi kabinet adalah wajah lama (kalau bukan) titisan orde baru hingga orde paling baru (SBY) maka tak ada harapan yang lebih rakyat harus simpang. Seperti halnya isu kenaikan BBM ini harus disambut dengan histeria politik kekuatan rakyat kembali dalam skala yang lebih besar dan progressif—layaknya mendaur ulang hsiteria pengusungan sang tokoh. Tentu kita tak berharap bahwa popularitas jokowi kedepannya hanya menjadi alat bagi ‘’orang-orang lama’’ yang tidak laku lagi di depan rakyat kembali ‘’berkuasa’’ lewat manuver-manuver ‘’politik’’ dalam kabinet.
Sumber : http://ift.tt/1xq3wm5