Koalisi Merah Putih rapuh dan bakal menuai badai
(analisis awam warga pinggiran)
Setelah kalah Pilpres 9 Juli 2014 dan gagal meyakinkan hakim MK atas gugatannya, partai-partai kubu KMP, tak henti menyandera demokrasi bahkan terus bermanuver untuk membonsai kedaulatan rakyat yang dikemas sebagai fondasi berdirinya bangunan demokrasi di Indonesia lewat amandemen UUD 1945. Pertama, rilis informasi QC oleh lembaga survey abal-abal lewat media massa TV One dan RCTI serta Global TV yang kemudian hilang begitu saja tanpa bisa dipertanggungjawabkan, adalah awal dari penyangkalan dan pengerdilan kemauan mayoritas rakyat Indonesia akan figur pemimpin nasional yang diinginkan. Kedua, revisi UU MD3 yang tadinya memberi akses kepada Partai Pemenang Pemilu sebagai pemegang tiket Ketua DPR serta mekanisme pemilihan pimpinan fraksi dan pimpinan MPR maupun DPD, menjadi penentuan pimpinan ketiga lembaga tinggi negara ini melalui pemilihan oleh anggota sekaliigus sebagai benteng diri dalam kasus pidana korupsi, dan ketiga menggolkan UU Pilkada lewat DPRD. Tiga trik KMP yang tercatat cerdik namun telanjang culas dihadapan publik Indonesia ini, dua diantaranya berhasil, sementara satunya gagal. Yang gagal adalah QC abal-abal yang dijadikan salah satu dasar gugatan mendalilkan kecurangan TSM oleh KPU dalam penyelenggaraan Pilpres 2014.
Rakyat Indonesia terkesan dikelabui oleh Partai Koalisi Merah Putih serta dianggapnya bodoh dan tidak bisa membaca akal busuk mereka untuk mengebiri keinginan rakyat banyak sebagai wujud kedaulatan yang dijamin UUD Negara RI Tahun 1945. Saya sendiri dalam menanggapi keadaan yang muncul serta sikap dan prilaku orang lain selalu berpegang pada positif thinking, serta tidak ingin berpikir negatif. Tapi kali ini, berubah total. Cenderung mencurigai gerakan koalisi merah putih sebagai akal-akalan untuk melampiaskan ketidak puasan mereka akan kekalahan bertubi-tubi yang dialami baik di Pilpres, MK dan PTUN. Malah saya meyakini kecurigaan saya ini, setelah mengetahui banyak warga masyarakat bangsa Indonesia yang gencar mengkritisi sepak terjang Koalisi Merah Putih. Apalagi dengan disetujui dan disahkannya UU Pilkada Tak Langsung. Sampai-sampai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan kita Presiden SBY yang kena getahnya, dan dituding Netizen di dunia maya berada dibalik pengesahan UU tersebut. Padahal dari pernyataan kekecewaan Bapak Presiden, sesungguhnya beliau tidak tahu menahu proses akhirnya, terbukti sekarang menginvestigasi secara internal anak buahnya yang memilih Walk Out sehingga mengakibatkan golnya UU Pilkada Tak Langsung, bahkan bertekad akan mengeluarkan Perpu Pilkada Langsung.
Dari reaksi dan tanggapan masyarakat luas berbagai komponen lewat demonstrasi terbatas di beberapa tempat, serta pernyataan para pengguna media on line di dunia maya saya memprediksi akan runtuhnya kejayaan koalisi merah putih dalam waktu yang tidak lama bahkan bisa tersisih dari perolehan kursi DPR dan MPR RI 2019, jika asas ambang batas parlemen tetap diberlakukan. Prediksi ini saya perkuat dari tanda-tanda sebagai berikut :
1. Terjadinya konflik kepentingan internal partai pendukung seperti Golkar dan PPP serta PAN.
· Golkar sempat goncang dengan adanya beberapa kader dan senior partai yang mendesak dilaksanakannya Rapimnas sebelum pelantikan Presiden 20 Oktober 2014, untuk memilih Ketua Umum baru menggantikan Abu Rizal Bakrie. Sengketa itu dipandang pengamat politik sebagai sinyal keinginan sekelompok kader untuk bergabung dengan koalisi Indonesia hebat. Meski kemudian terjadi rujuk internal dalam tubuh partai yang pernah berkuasa 32 tahun dalam pemerintahan ORBA, setelah kabar anulir pemecatan sejumlah kader berpengaruh.
· PPP dalam masa kampanye sudah terjadi keretakan. Ketua Umum Surya Dharma Ali (SDA) memilih dekat dengan Prabowo Soebianto Capres Gerindra. Sementara Kubu Romahurmuzy diduga cenderung merapat ke Jokowi – JK. Sempat terjadi silang pandangan politik yang kemudian diislahkan dan rujuk kembali. Begitu SDA ditetapkan KPK sebagai tersangka kasus korupsi dana haji, perbedaan itu muncul lagi dan menajam. Puncaknya, Kubu Romahurmuzy memecat SDA sebagai Ketum dan menggantinya dengan PLT. Emron Pangkapi. SDA tidak mau kalah, balik memecat 15 kader yang dianggap sebagai anak buah yang diangkatnya ketika menjadi Ketua Umum P3. Sampai saat ini kisruh itu belum berakhir.
· PAN ketika Prabowo Soebianto dengan kelompok partai dalam kubu Merah Putih mendeklarasikan menolak rekapitulasi hasil Pilpres 22 Juli 2014, Cawapres Muhamad Hatta Radjasa yang adalah Ketumnya tidak hadir. Ketidak hadiran ini melahirkan spekulasi adanya silang pendapat dalam tubuh KMP. Bahkan dalam waktu hampir satu pekan Sang Cawapres itu sempat menghilang dari publikasi media massa. Usai sidang MK yang menolak gugatan Kubu Prabowo atas keputusan KPU memenangkan Jokowi-JK, Hatta Radjasa menyampaikan ucapan selamat dan sempat bertemu dengan Presiden terpilih Djoko Widodo di kediaman Ketua Umum Nasdem Surya Paloh. Terakhir Salah satu Ketua DPP PAN Dradjad Wibowo menghadiri Pembukaan Rakernas PDIP di Semarang bersama PLT Ketum P3 Emron Pangkapi.
2. Di luar ketiga Partai itu, partai penguasa Demokrat yang oleh Ketua Umum Susilo Bambang Yudhoyono memposisikan diri netral tidak memihak salah satu kubu, kadernya malah miring ke KMP, menonjolkan sikap ambigu yang membuat bingung simpatisan. Ke arah mana sesungguhnya Demokrat condong. Di katakan netral, kadernya seperti Ramadhan Pohan, Nurhayati Asegaf, Max Sopacua membela mati-matian keberpihakan ke Kubu Prabowo. Sementara Ruhut Sytompul jubir Partai Demokrat berpihak ke Djokowi-JK. Dalam Paripurna DPR untuk menuntaskan RUU Pilkada Demokrat pilih WO, membuat kubu Indonesia hebat pembela hak rakyat kalah telak dalam votting. Sebuah keputusan yang mengundang reaksi serius bukan saja terhadap partai tapi lebih kepada SBY sebagai Ketua Umum, Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan (Presiden RI).
Publik sebenarnya sudah lega karena berhasil melaksanakan hak kedaulatan mereka memilih Presiden dan Wakil Presiden, yang ditetapkan dengan Keputusan KPU Nomor : 353/Kpts/KPU/2014, tangga 22 Juli 2014, dan kembali ke kehidupan harian mereka. Menganggap kewajiban kewarganegaraan mereka sudah selesai dilaksanakan, bahkan menerima hasil Pilpres yang dicapai, rakyat kini konsentrasi untuk pekerjaan mereka setiap hari. Walau, pernah ada gugatan yang membuat gusar juga sebagian warga masyarakat tapi itupun tidak sehebat kegusaran akhir-akhir ini sehubungan dengan penetapan UU Pilkada Tak Langsung oleh DPR RI. Tidak sedikit elemen masyarakat yang bereaksi menggelar demo di mana-mana. Pengguna Media Sosial lebih hebat lagi. Tak pelak Susilo Bambang Yudhoyono menjadi sasaran kecaman sebagai Presiden Republik Indonesia juga dalam kapasitas Ketua Umum Partai Demokrat Partai Pemerintah Saat ini. Bahkan masyarakat beranggapan WO Partai Demokrat dalam Paripurna DPR Kamis dan Jumat Subuh pekan lalu, adalah skenario yang sudah disepakati bersama Ketumnya.
Kembali kepada Tanda-tanda rapuhnya Partai Koalisi Merah Putih, saya sebagai orang pinggiran yang awam bersama warga masyarakat kecil lainnya, kami melihat gerak-gerik di atas sebagai gejala sedang bergolaknya nurani para pemimpin partai. Mau mundur dari KMP sudah terlanjur teken akta koalisi permanen, berjalan terus mendapat tentangan yang sangat hebat dari masyarakat luas. Benar bahwa sebagian besar kursi di DPR RI saat ini dikuasai oleh Koalisi KMP. Tapi tidak berarti sudah menguasai sepenuhnya kehendak rakyat. Sebab dalih yang dikedepankan saat ini sebagai “wakil rakyat” yang sudah mendapat mandat dari rakyat dan mewakili rakyat, ironis dengan prilakunya yang merampas hak kedaulatan rakyat, seperti ditunjukkan lewat pengesahan Pilkada Tak Langsung alias lewat DPRD. Rakyat kecil tidak pintar membolak-balik dan merekayasa tafsiran pasal-pasal UUD dan UU. Yang mereka tahu namanya kedaulatan rakyat berarti mereka punya hak mutlak untuk memilih pemimpinnya secara “langsung” ……titik tidak koma, juga tidak tambah, bagi atau kali. Wujudnya, reaksi yang dinampakkan sekarang semakin deras. Wajarlah Presiden SBY merespon dengan rencana keluarkan Perpu.
Dari paparan di atas saya mau bilang, Partai-partai KMP saat ini sedang menabur angin membangun badai yang akan menumpas diri mereka kelak pada saatnya. Yakin, elit partai KMP sebagian sudah menyadari hal itu, sehingga diam-diam sedang mengambil ancang-ancang untuk hengkang. Tapi entah kemana dan kapan kita belum tahu hanya Tuhan yang tahu. Disamping itu rakyat sekarang sudah berkomitmen untuk mendaftar hitamkan partai-partai yang membekukan hak mereka. Rakyat akan membalas bekukan hak dapat suara oleh partai itu pada Pileg 2019. Dan kalau batas ambang suara untuk masuk parlemen nasional masih berlaku, bisa jadi partai-partai KMP sebagian besar akan sapu muka dan gigit jari. Hal ini sekarang menjadi Ketakutan mereka, yang sekaligus ikut merapuhkan dan bahkan akan meruntuhkan kesolidan partai Koalisi Merah Putih di tengah jalan. Kita tunggu dan buktikan nanti.
Salam NKRI dari warga pinggiran.
Sumber : http://ift.tt/1DZjcBY
Setelah kalah Pilpres 9 Juli 2014 dan gagal meyakinkan hakim MK atas gugatannya, partai-partai kubu KMP, tak henti menyandera demokrasi bahkan terus bermanuver untuk membonsai kedaulatan rakyat yang dikemas sebagai fondasi berdirinya bangunan demokrasi di Indonesia lewat amandemen UUD 1945. Pertama, rilis informasi QC oleh lembaga survey abal-abal lewat media massa TV One dan RCTI serta Global TV yang kemudian hilang begitu saja tanpa bisa dipertanggungjawabkan, adalah awal dari penyangkalan dan pengerdilan kemauan mayoritas rakyat Indonesia akan figur pemimpin nasional yang diinginkan. Kedua, revisi UU MD3 yang tadinya memberi akses kepada Partai Pemenang Pemilu sebagai pemegang tiket Ketua DPR serta mekanisme pemilihan pimpinan fraksi dan pimpinan MPR maupun DPD, menjadi penentuan pimpinan ketiga lembaga tinggi negara ini melalui pemilihan oleh anggota sekaliigus sebagai benteng diri dalam kasus pidana korupsi, dan ketiga menggolkan UU Pilkada lewat DPRD. Tiga trik KMP yang tercatat cerdik namun telanjang culas dihadapan publik Indonesia ini, dua diantaranya berhasil, sementara satunya gagal. Yang gagal adalah QC abal-abal yang dijadikan salah satu dasar gugatan mendalilkan kecurangan TSM oleh KPU dalam penyelenggaraan Pilpres 2014.
Rakyat Indonesia terkesan dikelabui oleh Partai Koalisi Merah Putih serta dianggapnya bodoh dan tidak bisa membaca akal busuk mereka untuk mengebiri keinginan rakyat banyak sebagai wujud kedaulatan yang dijamin UUD Negara RI Tahun 1945. Saya sendiri dalam menanggapi keadaan yang muncul serta sikap dan prilaku orang lain selalu berpegang pada positif thinking, serta tidak ingin berpikir negatif. Tapi kali ini, berubah total. Cenderung mencurigai gerakan koalisi merah putih sebagai akal-akalan untuk melampiaskan ketidak puasan mereka akan kekalahan bertubi-tubi yang dialami baik di Pilpres, MK dan PTUN. Malah saya meyakini kecurigaan saya ini, setelah mengetahui banyak warga masyarakat bangsa Indonesia yang gencar mengkritisi sepak terjang Koalisi Merah Putih. Apalagi dengan disetujui dan disahkannya UU Pilkada Tak Langsung. Sampai-sampai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan kita Presiden SBY yang kena getahnya, dan dituding Netizen di dunia maya berada dibalik pengesahan UU tersebut. Padahal dari pernyataan kekecewaan Bapak Presiden, sesungguhnya beliau tidak tahu menahu proses akhirnya, terbukti sekarang menginvestigasi secara internal anak buahnya yang memilih Walk Out sehingga mengakibatkan golnya UU Pilkada Tak Langsung, bahkan bertekad akan mengeluarkan Perpu Pilkada Langsung.
Dari reaksi dan tanggapan masyarakat luas berbagai komponen lewat demonstrasi terbatas di beberapa tempat, serta pernyataan para pengguna media on line di dunia maya saya memprediksi akan runtuhnya kejayaan koalisi merah putih dalam waktu yang tidak lama bahkan bisa tersisih dari perolehan kursi DPR dan MPR RI 2019, jika asas ambang batas parlemen tetap diberlakukan. Prediksi ini saya perkuat dari tanda-tanda sebagai berikut :
1. Terjadinya konflik kepentingan internal partai pendukung seperti Golkar dan PPP serta PAN.
· Golkar sempat goncang dengan adanya beberapa kader dan senior partai yang mendesak dilaksanakannya Rapimnas sebelum pelantikan Presiden 20 Oktober 2014, untuk memilih Ketua Umum baru menggantikan Abu Rizal Bakrie. Sengketa itu dipandang pengamat politik sebagai sinyal keinginan sekelompok kader untuk bergabung dengan koalisi Indonesia hebat. Meski kemudian terjadi rujuk internal dalam tubuh partai yang pernah berkuasa 32 tahun dalam pemerintahan ORBA, setelah kabar anulir pemecatan sejumlah kader berpengaruh.
· PPP dalam masa kampanye sudah terjadi keretakan. Ketua Umum Surya Dharma Ali (SDA) memilih dekat dengan Prabowo Soebianto Capres Gerindra. Sementara Kubu Romahurmuzy diduga cenderung merapat ke Jokowi – JK. Sempat terjadi silang pandangan politik yang kemudian diislahkan dan rujuk kembali. Begitu SDA ditetapkan KPK sebagai tersangka kasus korupsi dana haji, perbedaan itu muncul lagi dan menajam. Puncaknya, Kubu Romahurmuzy memecat SDA sebagai Ketum dan menggantinya dengan PLT. Emron Pangkapi. SDA tidak mau kalah, balik memecat 15 kader yang dianggap sebagai anak buah yang diangkatnya ketika menjadi Ketua Umum P3. Sampai saat ini kisruh itu belum berakhir.
· PAN ketika Prabowo Soebianto dengan kelompok partai dalam kubu Merah Putih mendeklarasikan menolak rekapitulasi hasil Pilpres 22 Juli 2014, Cawapres Muhamad Hatta Radjasa yang adalah Ketumnya tidak hadir. Ketidak hadiran ini melahirkan spekulasi adanya silang pendapat dalam tubuh KMP. Bahkan dalam waktu hampir satu pekan Sang Cawapres itu sempat menghilang dari publikasi media massa. Usai sidang MK yang menolak gugatan Kubu Prabowo atas keputusan KPU memenangkan Jokowi-JK, Hatta Radjasa menyampaikan ucapan selamat dan sempat bertemu dengan Presiden terpilih Djoko Widodo di kediaman Ketua Umum Nasdem Surya Paloh. Terakhir Salah satu Ketua DPP PAN Dradjad Wibowo menghadiri Pembukaan Rakernas PDIP di Semarang bersama PLT Ketum P3 Emron Pangkapi.
2. Di luar ketiga Partai itu, partai penguasa Demokrat yang oleh Ketua Umum Susilo Bambang Yudhoyono memposisikan diri netral tidak memihak salah satu kubu, kadernya malah miring ke KMP, menonjolkan sikap ambigu yang membuat bingung simpatisan. Ke arah mana sesungguhnya Demokrat condong. Di katakan netral, kadernya seperti Ramadhan Pohan, Nurhayati Asegaf, Max Sopacua membela mati-matian keberpihakan ke Kubu Prabowo. Sementara Ruhut Sytompul jubir Partai Demokrat berpihak ke Djokowi-JK. Dalam Paripurna DPR untuk menuntaskan RUU Pilkada Demokrat pilih WO, membuat kubu Indonesia hebat pembela hak rakyat kalah telak dalam votting. Sebuah keputusan yang mengundang reaksi serius bukan saja terhadap partai tapi lebih kepada SBY sebagai Ketua Umum, Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan (Presiden RI).
Publik sebenarnya sudah lega karena berhasil melaksanakan hak kedaulatan mereka memilih Presiden dan Wakil Presiden, yang ditetapkan dengan Keputusan KPU Nomor : 353/Kpts/KPU/2014, tangga 22 Juli 2014, dan kembali ke kehidupan harian mereka. Menganggap kewajiban kewarganegaraan mereka sudah selesai dilaksanakan, bahkan menerima hasil Pilpres yang dicapai, rakyat kini konsentrasi untuk pekerjaan mereka setiap hari. Walau, pernah ada gugatan yang membuat gusar juga sebagian warga masyarakat tapi itupun tidak sehebat kegusaran akhir-akhir ini sehubungan dengan penetapan UU Pilkada Tak Langsung oleh DPR RI. Tidak sedikit elemen masyarakat yang bereaksi menggelar demo di mana-mana. Pengguna Media Sosial lebih hebat lagi. Tak pelak Susilo Bambang Yudhoyono menjadi sasaran kecaman sebagai Presiden Republik Indonesia juga dalam kapasitas Ketua Umum Partai Demokrat Partai Pemerintah Saat ini. Bahkan masyarakat beranggapan WO Partai Demokrat dalam Paripurna DPR Kamis dan Jumat Subuh pekan lalu, adalah skenario yang sudah disepakati bersama Ketumnya.
Kembali kepada Tanda-tanda rapuhnya Partai Koalisi Merah Putih, saya sebagai orang pinggiran yang awam bersama warga masyarakat kecil lainnya, kami melihat gerak-gerik di atas sebagai gejala sedang bergolaknya nurani para pemimpin partai. Mau mundur dari KMP sudah terlanjur teken akta koalisi permanen, berjalan terus mendapat tentangan yang sangat hebat dari masyarakat luas. Benar bahwa sebagian besar kursi di DPR RI saat ini dikuasai oleh Koalisi KMP. Tapi tidak berarti sudah menguasai sepenuhnya kehendak rakyat. Sebab dalih yang dikedepankan saat ini sebagai “wakil rakyat” yang sudah mendapat mandat dari rakyat dan mewakili rakyat, ironis dengan prilakunya yang merampas hak kedaulatan rakyat, seperti ditunjukkan lewat pengesahan Pilkada Tak Langsung alias lewat DPRD. Rakyat kecil tidak pintar membolak-balik dan merekayasa tafsiran pasal-pasal UUD dan UU. Yang mereka tahu namanya kedaulatan rakyat berarti mereka punya hak mutlak untuk memilih pemimpinnya secara “langsung” ……titik tidak koma, juga tidak tambah, bagi atau kali. Wujudnya, reaksi yang dinampakkan sekarang semakin deras. Wajarlah Presiden SBY merespon dengan rencana keluarkan Perpu.
Dari paparan di atas saya mau bilang, Partai-partai KMP saat ini sedang menabur angin membangun badai yang akan menumpas diri mereka kelak pada saatnya. Yakin, elit partai KMP sebagian sudah menyadari hal itu, sehingga diam-diam sedang mengambil ancang-ancang untuk hengkang. Tapi entah kemana dan kapan kita belum tahu hanya Tuhan yang tahu. Disamping itu rakyat sekarang sudah berkomitmen untuk mendaftar hitamkan partai-partai yang membekukan hak mereka. Rakyat akan membalas bekukan hak dapat suara oleh partai itu pada Pileg 2019. Dan kalau batas ambang suara untuk masuk parlemen nasional masih berlaku, bisa jadi partai-partai KMP sebagian besar akan sapu muka dan gigit jari. Hal ini sekarang menjadi Ketakutan mereka, yang sekaligus ikut merapuhkan dan bahkan akan meruntuhkan kesolidan partai Koalisi Merah Putih di tengah jalan. Kita tunggu dan buktikan nanti.
Salam NKRI dari warga pinggiran.
Sumber : http://ift.tt/1DZjcBY