Ketika Din Syamsudin Ingin Jadi Menteri
Masih kita ingat dengan kuat pada tanggal 20 Maret 2014, Din Syamsudin yang tiba-tiba mengundang Jokowi memimpin Shalat zuhur di gedung pusat da’wah Muhammadiyah Menteng Jakarta Pusat. Acara shalat politik itu berlangsung di tengah-tengah musim kampanye pilpres 2014.
Segera langkah Din Syamsudin itu diendus publik, bahwa Din dan Muhammadiyah malu-malu berpolitik dan mendukung Jokowi. Mengislamkan “pencitraan Jokowi.” Sikap Din meminta Jokowi jadi imam pun menjadi biang politisasi shalat yang tak mengenakan di lini massa dan mass media.
Shalat yang spiritualistik, menjadi label pencitraan politik bagi Jokowi. Meski sesuai kaidah fiqhi, Jokowi tak memenuhi syarat sebagai imam dalam shalat. Din Syamsudin sangat faham syarat menjadi imam shalat berjamaah (baca : kitab Fiqh al-Islami wa Adillatuhu karya Syaikh Wahbah Al-Zuhaili)
Upaya Din pun diendus merupakan langkah politik mendekatkan Jokowi pada warga Muhammadiyah dan ummat Islam yang terus dihembus isu soal keislaman Jokowi. Meski sebagai alibi, PP Muhammadiyah mengeluarkan maklumat tak berpolitik praktis dan tak berafiliasi dengan parpol manapun pada pilpres 2014.
Opini Muhammadiyah mengambil jarak dengan politik praktis 2014, segera meratakan sangkaan publik, yang hampir mengira Muhammadiyah telah berpolitik praktis di pemilu 2014. Meski akhirnya kita saksikan, di tangan Din Syamsudin, Muhammadiyah nyata-nyata dibikinya berpolitik praktis juga.
Di kesemepatan lain, gerakan-gerakan sporadis beberapa eksponen pemuda Muhammadiyah dan tokoh-tokoh senior Muhammadiyah mendeklarasikan dukungan pada Jokowi-JK. Langkah sporadik eksponen komunitas pemuda Muhammadiyah dan seniornya itu, ditengarai sebagai derivasi sikap politik Muhammadiyah oleh Din yang diam-diam menyulam kepentingan politik dengan Jokowi. Entah apa kepentingan apa yang disulamnya?
Belakangan terbongkarlah motif investasi politik mantan politisi Golkar ini, yang ujung-ujungnya ingin jadi menteri di kabinet Jokowi-JK. Ia bahkan beberapa kali melalui media, menyatakan siap masuk kabinet bila diapnggil Jokowi ke Istana. Tak sampai disitu, untuk mewujudkan keinginannya sebagai menteri, ia tak sungkan-sungkan mengatasnamakan aspirasi ummat Islam dan menuntut jatah menteri pada Jokowi (baca : Detik News; Din Berharap).
Segerah manuver Din itu dinilai beberapa kalangan merupakan sikap yang memalukan bagi warga Muhammadiyah dan ummat Islam. Sebagai pimpinan dua ormas Islam terbesar di Indonesia, seyogyanya ia lebih mampu “menahan diri.” Bukan sebaliknya, “buang diri” dan memelas ingin dapat jatah menteri. Sebagai pimpinan Muhammadiyah, Din mestinya tak menjungkir balik harga diri warga dan khittah Muhammadiyah.
Lagi pula, Din dan ormas yang dipimpinnya, selama ini kerap mengambil posisi sebagai mitra kritis pemerintah. Namun dengan memelas ingin jadi menteri pada kabinet Jokowi-JK, mengkonfirmasi kita, bahwa sikapnya yang selama ini vis a vis dengan pemerintahan SBY, tak lebih dari luapan kegusaran atas sikap SBY yang tak pernah memperhitungkannya dalam struktur kabinet selama dua periode berkuasa di pemerintahan.
Sungguh ini memalukan, karena tak sempat mendulang kursi kekuasaan di beberapa pemilu, telah membikinnya kehausan. Mungkin saja karena itu, ia keukeuh dua kali memimpin Muhammadiyah sebagai instrument politiknya.
Manuver “buang umpan” Din pada Jokowi di media dengan pernyataan siap jadi menteri, juga dinilai telah menafikan khittah gerakan Muhammadiyah, yang menegaskan bahwa kegiatan dakwah amar ma’ruf nahi munkar Muhammadiyah, dilaksanakan melalui saluran politik kenegaraan dengan mengawal kebijakan pemerintah agar berpihak pada rakyat kecil, dan saluran masyarakat melalui pendidikan dan gerakan sosial lainnya. Bukan berpolitik praktis dan mengejar ambisi struktural kekuasaan.
Namun dengan memelas pada Jokowi dan berharap jadi menteri, Ketua Umum PP Muhammadiyah ini seakan meludahi kultur garakan Muhammadiyah yang berlangsung sejak berdirinya oleh KH Ahmad Dahlan.
Tentu harapan kita, warga Muhammadiyah, dan Ummat Islam umumnya, Din Syamsudin menghentikan menuvernya sebagai menteri kabinet, dan memposisi diri pada gerakan dan khitta dua ormas kultural yang dipimpinya. Cukuplah ia menjadi guru moral bangsa, dan lebih jujur menjadi mitra kritis pemerintah. Toh tanpa jadi menteri kabinet Jokowi, pak Din sudah jadi presiden, presiden bagi warga Muhammadiyah !
Sumber : http://politik.kompasiana.com/2014/10/27/ketika-din-syamsudin-ingin-jadi-menteri-698503.html