Suara Warga

Sentimen HAM Hanya Jualan Politik (?)

Artikel terkait : Sentimen HAM Hanya Jualan Politik (?)

Bung Karno pernah mengungkapkan sebuah akronim terkenal: “JasMerah: Jangan (pernah) melupakan sejarah”. Semoga tidak ada yang mengatakan kalau Bung Karno adalah orang yang gagal move on ya, hehehe… Sejarah sangat penting bukan hanya karena ia bisa dijadikan referensi untuk tidak mengulangi kesalahan yang pernah dibuat, tetapi juga menjadi bahan motivasi untuk menjadi bangsa yang lebih baik.

Bukan hanya menjadi alat serang saat debat, isu mengenai HAM sering dijadikan alat kampanye oleh, saat itu calon presiden, Joko Widodo. Untuk menunjukan keseriusannya, bahkan di visi misi halaman 27 ditulis: “Kami berkomitmen menyelesaikan secara berkeadilan terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM dimasa lalu yang sampai saat ini masih menjadi beban sosial politik bagi bangsa Indonesia…” (http://kpu.go.id/koleksigambar/VISI_MISI_Jokowi-JK.pdf). Yang dicontohkan salah-satunya adalah Kasus Talang Sari. Syukurlah Hendropriono tidak diangkat jadi menteri, meski sempat jadi penasihat intelejen kantor transisi.

Sayangnya ada nama lain yang jadi perhatian utamanya bagi pegiat HAM. Adalah Jendral TNI (purn.) Ryamizard Ryacudu (RR), mantan KSAD era Megawati. Pernah bertugas di Aceh dan Papua, rekam jejak Jendral yang satu ini pernah menjadi sorotan organisasi HAM dunia. Setidaknya oleh dua lembaga paling kredibel mengenai HAM: Human Rights Watch (HRW) dan Amnesty International (AI). Laporan AI mengenai pelanggaran HAM di Aceh bias dilihat secara lengkap disini: (http://www.amnesty.org/en/library/asset/ASA21/033/2004/en/95d36248-d593-11dd-bb24-1fb85fe8fa05/asa210332004en.html). Laporan ini pula yang dijadikan sumber tulisan oleh Allan Nairn, seorang wartawan yang banyak meliput mengenai HAM, seperti di link berikut: (http://www.allannairn.org/2014/10/general-ryamizard-ideologist-for.html). Perlu diingat, Allan Nairn adalah orang yang yang sempat dijadikan referensi untuk menyerang Prabowo saat pilpres kemarin. Jadi, apa yang disampaikan memiliki bias yang relatif kecil.

Selain di Aceh, aksi Jendral RR terdokumentasikan dengan baik oleh HRW, utamanya terkait pembunuhan Theys Eluay, tokoh kemerdekaan Papua. Laporannya HRW mengenai kasus pembunuhan Theys bisa dilihat di link berikut: http://www.hrw.org/news/2001/11/10/indonesia-investigate-death-papuan-leader. Saat terjadi pembunuhan Theys tahun 2001, RR menjabat sebagai Pangkostrad, jabatan yang sama dengan Prabowo saat dia dipecat. RR menjadi terkenal karena pendapatnya mengenai anggota pasukan Kopassus yang membunuh Theys sebagai “para pahlawan” karena telah berhasil membunuh pemimpin pemberontak. Menurut catatan Kontras, 7 orang didakwa untuk kasus tersebut (http://www.kontras.org/penculikan/index.php?hal=sp&id=1). Sekarang harus dicatat bahwa, pengadilan tinggi militer pun sudah mengakui bahwa apa yang dilakukan oleh para anggota Kopassus itu adalah tindakan yang salah. Mengingat Indonesia adalah negara hukum, pernyataan RR mengenai posisi anggota Kopassus yang indisipliner tersebut sangat disayangkan. Bahkan Allan Nairn memberikan judul di artikelnya “Ryamizard: Ideologi untuk membunuh warga sipil.”

Mungkin sebagian kita berpendapat, wajar saja Theys dibunuh, toh dia adalah pemimpin pemberontak. Sebagai pembanding, mari tengok kasus setahun yang lalu saat beberapa anggota Kopassus membunuh tahanan di lapas Cebongan. Anggota Kopassus tersebut dinyatakan bersalah oleh pengadilan militer dan dijatuhi hukuman bervariasi dari 1 tahun hingga 11 tahun. Meski bisa dibuat argumen bahwa yang dibunuh adalah pembunuh, tetapi membunuh tanpa dasar hukum yang jelas adalah sebuat tindakan kriminal yang tidak bisa dibenarkan. Jadi, harus dicatat bahwa apa yang dilakukan oleh anggota Kopassus itu adalah sebuah kesalahan. Sama halnya dengan kasus Theys, meski dia adalah pemimpin pemberontak, tidak ada dasar hukum untuk mengeksekusi atau menghilangkan nyawanya. Kecuali ada surat dari pengadilan untuk menembak mati Theys. Selama itu tidak ada, yang terjadi adalah suatu pelanggaran HAM.

Dengan kasus-kasus yang telah terjadi tersebut, wajar saja kalau HRW dan AI memberikan sorotan yang lebih kepada RR. Harapannya, orang-orang bermasalah seperti ini tidak perlu dilibatkan di pemerintahan, kalau memang berniat menuntaskan masalah HAM di masa lalu, saya pikir masih ada yang lain yang lebih bersih agar supremasi hukum bisa bisa ditegakan tanpa ada ganjalan.

Tulisan ini dibuat bukan untuk menyerang atau menyindir atau menyepet Pak Joko Widodo, karena beliau bukan seorang pelanggar HAM. Hanya untuk menunjukan bahwa dalam politik, semua bisa dijual, termasuk isu HAM yang kemarin dihembuskan yang sayangnya memang seperti isapan jempol belaka. Dalam salah satu kesempatan saat kampanye, Pak Jokowi pernah mengatakan “Kasus HAM itu harus dituntaskan, (dicari) siapa yang bertanggung jawab.” (http://pemilu.tempo.co/read/news/2014/06/29/269588883/Jokowi-Janji-Bakal-Tuntaskan-Kasus-Pelanggaran-HAM). Serangan HAM yang dilancarkan ke Prabowo, sepertinya sangat tidak adil dan hanya untuk kepentingan politik.




Sumber : http://politik.kompasiana.com/2014/10/27/sentimen-ham-hanya-jualan-politik--682792.html

Artikel Kompasiana Lainnya :

Copyright © 2015 Kompasiana | Design by Bamz