‘Jokowi-JK dan Penyelesaian Papua’
Menjelang setengah abad periode instabilitas, persoalan Papua seyogyanya mengingatkan kita pada makna penting untuk mengumpulkan energi nasional bagaimana memperkuat komitmen, meningkatkan keseriusan untuk mengakhiri secara tuntas persoalan anak bangsa di ujung timur negeri. Rentang waktu yang sedemikian panjang menempatkan konflik Papua sebagai intractable atau protracted, meski dengan eskalasi yang digolongkan low intensity. Namun demikian, persoalan ini seyogyanya tetap harus ditempatkan pada skala prioritas bagi pemimpin nasional terpilih terkait dengan bagaimana mengupayakan stabilitas sebagai variabel bagi keamanan nasional plus pembangunan nasional dengan target menciptakan Papua yang aman, damai, dan sejahtera. Terlebih-lebih Indonesia dihadapkan pada geliat dinamika Asia-Pasifik yang ditandai dengan kreasi integral Indo-Pasifik yang membentang dari Asia Timur, tenggara hingga selatan, plus integrasi ASEAN dalam sebuah komunitas pada 2015. Kondisi ini memerlukan kemapanan dalam rangka meraih tujuan strategis memperkuat peran kepemimpinan Indonesia dalam ASEAN, dan meningkatkan peran dan kontribusi ASEAN dalam masyarakat internasional.
Jusuf Kalla, Task Force dan 5 Strategi +
Format UP4B dan otonomi khusus yang menjadi desain pemerintahan sebelum Jokowi-JK telah terbukti tidak cukup untuk mengakhiri konflik. Diperlukan pembentukan task force untuk Papua yang diintegrasikan pada maket pembangunan koridor timur, berikut untuk menggarap kebijakan terkait pembangunan kewilayahan, pemberdayaan masyarakat serta potensi lokal, dan resolusi konflik. Task Force yang dibentuk dibawah langsung Presiden Jokowi, atau bisa didelegasikan kepada Wapres JK, dan beranggotakan eminent persons dari kalangan dalam masyarakat termasuk pemuka agama, budayawan, wartawan, akademisi, peneliti, dan birokrat. Keberadaan sosok Jusuf Kalla kali ini dapat menjadi modalitas strategis bagi penguatan kembali komitmen untuk penyelesaian masalah. Bagaimanapun peranan seorang Jusuf Kalla sebagai representasi Indonesia Timur, kearifan dan kematangan beliau, sangat ditunggu sebagai honest broker setelah keberhasilan menciptakan masterpiece resolusi konflik sebelumnya di Aceh, Maluku, dan Poso.
Merujuk hasil temuan dalam sejumlah penelitian, paling tidak terdapat lima hal yang menjadi titik concern deprivasi relatif bagi formulasi resolusi konflik komprehensif yaitu: pertama , memberikan ruang pengakuan bagi socio-cultural exposure simbol dan identitas ke-Papua-an sebagai salah satu high culture Indonesia pada saat integrasi ASEAN sebagai event terdekat. Indonesia kali ini selayaknya direpresentasikan oleh Papua; kedua , penguatan pembangunan pendidikan dan karakter akademik bagi orang Papua sebagai modalitas affirmative action. Pemerintah membangun sentra dan institusi pendidikan baru di Papua, di luar yang telah ada, dengan titik berat pada pendidikan berbasis ketrampilan (vocational) seperti politeknik. Mendatang harus lebih banyak orang dari timur, termasuk Papua, menjadi pemimpin, dan pengambil keputusan. Orang Papua mendatang juga harus diberikan kesempatan dan ruang pada institusi-institusi strategis, menjadi jenderal, komandan pasukan pengamanan presiden, mensesneg, gubernur BI, hakim agung, atau apapun yang bisa membuat mereka ‘feeling Indonesian’; ketiga , Mengupayakan pembangunan insfrastruktur secara berjangka, khususnya fasilitas jalan dan penerangan, melalui strategi ‘segitiga mengepung’ yang bisa dijelaskan sebagai pembangunan jalan poros segitiga Jayapura-Timika/Merauke-Sorong/Manokwari secara bertahap masuk pada wilayah-wilayah tengah yang terisolasi yang ke depannya diharapkan dapat menciptakan konsentrasi baru berikut sentra sosial-ekonomi-perdagangan baru . Hal ini sekaligus menjadi evaluasi dan koreksi atas kebijakan membuka wilayah isolasi yang dimulai dari tengah yang justeru menimbulkan kerumitan baru; keempat , mengupayakan renegosiasi Freeport berbasis peningkatan prosentase yang dipergunakan untuk kemaslahatan masyarakat Papua yang sejahtera, dan; kelima , rekonseptualisasi dan redefinisi implementasi kebijakan otonomi khusus dengan karakter yang lebih menekankan engagement (pelibatan) dan empowerment (penguatan) bagi aspirasi lokal, tidak hanya sebagai appeasement strategy yang malah menciptakan celah pemborosan anggaran dan off target.
Kelima hal tersebut, apabila memungkinkan, didahului oleh perhelatan musyawarah besar untuk Papua yang dihadiri semua elemen masyarakat, termasuk Presiden Jokowi dan atau Wakil Presiden Jusuf Kalla, dengan mengundang serta melibatkan juga seluruh elemen di Papua, termasuk 300-an kepala suku/adat, dan perutusan dari faksi-faksi OPM. Masalah Papua adalah masalah bangsa, sehingga memerlukan keterlibatan seluruh komponen bangsa tanpa terkecuali. Strategi kebijakan Papua kali ini seyogianya dilandasi oleh semangat dan komitmen kuat menciptakan Papua yang aman, damai, dan sejahtera dalam keluarga besar Indonesia. Pemerintah Jokowi-JK seharusnya tidak perlu mengulangi kesalahan strategi dan kebijakan seperti yang dilakukan pemerintahan sebelumnya. Perlu diingat bahwa proses integrasi Papua selama ini seringkali dipahami sebatas integrasi wilayah, tidak termasuk masyarakat yang ada di dalamnya. Perbedaan karakter yang dimiliki Orang Papua seharusnya dapat disikapi secara bijak, dan dapat menjadi motivasi terkait bagaimana mengupayakan perubahan, tanpa hanya harus menyalahkan siapapun. Perlu menjadi renungan, konflik di banyak belahan bumi terjadi oleh setidaknya dua hal mendasar: ignorance and arrogance. Apabila Jokowi-JK berhasil, Indonesia akan semakin diakui kepiawaiannya dalam resolusi konflik di semua tataran, dan hal ini juga dapat menjadi modalitas bagi Indonesia untuk memperkuat kepemimpinan di kawasan, sekaligus menjadikan Indonesia referensi resolusi konflik, ‘laboratorium’ konflik terbesar, dan demokrasi.
PENULIS: SANTOS WINARSO DWIYOGO, STAF PENGAJAR HUBUNGAN INTERNASIONAL, DAN PEMERHATI KONFLIK
Sumber : http://ift.tt/1ztZDlu
Jusuf Kalla, Task Force dan 5 Strategi +
Format UP4B dan otonomi khusus yang menjadi desain pemerintahan sebelum Jokowi-JK telah terbukti tidak cukup untuk mengakhiri konflik. Diperlukan pembentukan task force untuk Papua yang diintegrasikan pada maket pembangunan koridor timur, berikut untuk menggarap kebijakan terkait pembangunan kewilayahan, pemberdayaan masyarakat serta potensi lokal, dan resolusi konflik. Task Force yang dibentuk dibawah langsung Presiden Jokowi, atau bisa didelegasikan kepada Wapres JK, dan beranggotakan eminent persons dari kalangan dalam masyarakat termasuk pemuka agama, budayawan, wartawan, akademisi, peneliti, dan birokrat. Keberadaan sosok Jusuf Kalla kali ini dapat menjadi modalitas strategis bagi penguatan kembali komitmen untuk penyelesaian masalah. Bagaimanapun peranan seorang Jusuf Kalla sebagai representasi Indonesia Timur, kearifan dan kematangan beliau, sangat ditunggu sebagai honest broker setelah keberhasilan menciptakan masterpiece resolusi konflik sebelumnya di Aceh, Maluku, dan Poso.
Merujuk hasil temuan dalam sejumlah penelitian, paling tidak terdapat lima hal yang menjadi titik concern deprivasi relatif bagi formulasi resolusi konflik komprehensif yaitu: pertama , memberikan ruang pengakuan bagi socio-cultural exposure simbol dan identitas ke-Papua-an sebagai salah satu high culture Indonesia pada saat integrasi ASEAN sebagai event terdekat. Indonesia kali ini selayaknya direpresentasikan oleh Papua; kedua , penguatan pembangunan pendidikan dan karakter akademik bagi orang Papua sebagai modalitas affirmative action. Pemerintah membangun sentra dan institusi pendidikan baru di Papua, di luar yang telah ada, dengan titik berat pada pendidikan berbasis ketrampilan (vocational) seperti politeknik. Mendatang harus lebih banyak orang dari timur, termasuk Papua, menjadi pemimpin, dan pengambil keputusan. Orang Papua mendatang juga harus diberikan kesempatan dan ruang pada institusi-institusi strategis, menjadi jenderal, komandan pasukan pengamanan presiden, mensesneg, gubernur BI, hakim agung, atau apapun yang bisa membuat mereka ‘feeling Indonesian’; ketiga , Mengupayakan pembangunan insfrastruktur secara berjangka, khususnya fasilitas jalan dan penerangan, melalui strategi ‘segitiga mengepung’ yang bisa dijelaskan sebagai pembangunan jalan poros segitiga Jayapura-Timika/Merauke-Sorong/Manokwari secara bertahap masuk pada wilayah-wilayah tengah yang terisolasi yang ke depannya diharapkan dapat menciptakan konsentrasi baru berikut sentra sosial-ekonomi-perdagangan baru . Hal ini sekaligus menjadi evaluasi dan koreksi atas kebijakan membuka wilayah isolasi yang dimulai dari tengah yang justeru menimbulkan kerumitan baru; keempat , mengupayakan renegosiasi Freeport berbasis peningkatan prosentase yang dipergunakan untuk kemaslahatan masyarakat Papua yang sejahtera, dan; kelima , rekonseptualisasi dan redefinisi implementasi kebijakan otonomi khusus dengan karakter yang lebih menekankan engagement (pelibatan) dan empowerment (penguatan) bagi aspirasi lokal, tidak hanya sebagai appeasement strategy yang malah menciptakan celah pemborosan anggaran dan off target.
Kelima hal tersebut, apabila memungkinkan, didahului oleh perhelatan musyawarah besar untuk Papua yang dihadiri semua elemen masyarakat, termasuk Presiden Jokowi dan atau Wakil Presiden Jusuf Kalla, dengan mengundang serta melibatkan juga seluruh elemen di Papua, termasuk 300-an kepala suku/adat, dan perutusan dari faksi-faksi OPM. Masalah Papua adalah masalah bangsa, sehingga memerlukan keterlibatan seluruh komponen bangsa tanpa terkecuali. Strategi kebijakan Papua kali ini seyogianya dilandasi oleh semangat dan komitmen kuat menciptakan Papua yang aman, damai, dan sejahtera dalam keluarga besar Indonesia. Pemerintah Jokowi-JK seharusnya tidak perlu mengulangi kesalahan strategi dan kebijakan seperti yang dilakukan pemerintahan sebelumnya. Perlu diingat bahwa proses integrasi Papua selama ini seringkali dipahami sebatas integrasi wilayah, tidak termasuk masyarakat yang ada di dalamnya. Perbedaan karakter yang dimiliki Orang Papua seharusnya dapat disikapi secara bijak, dan dapat menjadi motivasi terkait bagaimana mengupayakan perubahan, tanpa hanya harus menyalahkan siapapun. Perlu menjadi renungan, konflik di banyak belahan bumi terjadi oleh setidaknya dua hal mendasar: ignorance and arrogance. Apabila Jokowi-JK berhasil, Indonesia akan semakin diakui kepiawaiannya dalam resolusi konflik di semua tataran, dan hal ini juga dapat menjadi modalitas bagi Indonesia untuk memperkuat kepemimpinan di kawasan, sekaligus menjadikan Indonesia referensi resolusi konflik, ‘laboratorium’ konflik terbesar, dan demokrasi.
PENULIS: SANTOS WINARSO DWIYOGO, STAF PENGAJAR HUBUNGAN INTERNASIONAL, DAN PEMERHATI KONFLIK
Sumber : http://ift.tt/1ztZDlu