Suara Warga

JANGAN “GADAIKAN KAMI” DEMI EGOISME POLITIK

Artikel terkait : JANGAN “GADAIKAN KAMI” DEMI EGOISME POLITIK

Tahun 2014 merupakan tahun yang sangat penting bagi Indonesia jika di pandang dari perspektif politik, karena pada tahun ini dilakukan sebuah syarat bagi sebuah Negara yang sistem pemerintahannya berlandaskan demokrasi. Dua kali pesta rakyat demokrasi dalam limit waktu tiga bulan saja, pemilihan Legislatif pada 9 april dan pemilihan presiden pada 9 juli 2014. Sebuah proses legistimasi kekuasaan dari periode sebelumnya hingga periode yang akan datang.

Ketika pertarungan terjadi pada perebutan suara dalam pemilihan legislatif pada tanggal 9 april kemaren, yang menjadi pemenang dalam perolehan suara adalah PDIP (Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan) dengan perolehan sebanyak 18,95% (109 kursi), dikuti oleh partai Golkar(Golongan Karya) dengan 14,75% (91 Kursi), Gerindra 11,81% (73 Kursi), Demokrat 10,19 % (61 Kursi), Partai Amanat Nasional 7,59 % (49 Kursi), PKB 9,04% (47 Kursi) PKS 6,79 % (40 Kursi), PPP 6,53 % (39 Kursi), NasDem 6,72% (35 Kursi), Hanura 5,26% (16 Kursi). Sedangkan dua partai lainnya yaitu PKPI dan PBB tidak lolos keparlemen karena tidak mencukupi suara 3,5 % demi menembus ambang batas parlemen.

Usainya pemilihan legislatif mata diarahkan pada proses yang sangat menarik yaitu pemilihan pimpinan lembaga eksekutif negeri ini, proses dimana kita akan memilih calon presiden baru republik ini untuk lima tahun yang akan datang. Pemilihan presiden pada periode ini juga sangat mencuri perhatian karena tahun ini merupakan periode terakhir bagi Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) untuk menjadi presiden, karena sudah dua periode memimpin bangsa ini sehingga tidak dapat lagi mencalonkan diri kembali menjadi preiden, kedua dalam pencalonan pasangan presiden dan wakil presiden terdapat dua poros kekuatan politik yang hampir berimbang.

Disini sebenarnya yang sangat menarik perhatian baik masyarakat domestic maupun masyarakat dan media Internasional, proses pemilihan pemimpin bangsa sebagai presiden dan wakil presiden republic Indonesia untuk periode 2014-2019. Dalam perjalanan pemilihan presiden, masyarakat Indonesia terpisah menjadi dua kutub, kutub putih dan kutub merah. Dua pasangan calon saling bersaing mendapatkan simpati masyarakat dengan menggunakan mesin partai pengusung.

Pasangan Prabowo-hatta diusung oleh partai yang memiliki jumlah kursi yang besar diparlemen, Gerindra, PAN, PKS, PPP, Golkar, PBB dan Demokrat atau lebih dikenal dengan koalisi merah-putih sebagai pengusung pasangan ini memiliki jumlah sebanyak 353 kursi lebih besar dibanding dengan dengan jumlah kursi partai pengusung Joko Widodo-Jusuf Kalla, PDIP, Nasdem, Hanura, PKB dan PKPI yang hanya memiliki jumlah sebanyak 207 kursi. Andai kita melihat dari kekuatan partai pengusung berkaca pada pemilihan legislative kekuatan pasangan Prabowo-hatta lebih kuat dibandingkan dengan pasangan Joko Widodo dan Jusuf Kalla.

Politik Indonesia kian memanas seiring dengan makin dekatnya pemilihan presiden dan wakil presiden, segala upaya dilakukan demi mencari suara masyrakat. Mesih partai dan relawan yang mengusung calon masing-masing sibuk dengan kegiatan-kegiatan yang ingin mempromosikan pasangannya, kejadian yang tidak diinginkan pun sempat terjadi ketika para pendukung terlibat bentrok disalah satu daerah.

Pemilihan telah dilakukan, pada tanggal 22 juli pun dilakukan rekapitulasi ditingkat pusat dan hasilnya pasangan nomor urut dua, Joko widodo-Jusuf Kalla memenangkan pertarungan pemeilihan presiden dan wakil presiden dengan jumlah suara sebanyak 70.997.83370.997.833 mengungguli pasangan Prabowo-Hatta yang hanya meraih suara sebanyak 62.576.444. Sesuatu hal terjadi disaat akan diputuskan rekapitulasi pemungutan suara, ketika pasangan Prabowo-Hatta memilih untuk menarik diri dari proses yang sedang berlangsung dengan alasan ketidak puasan terhadap proses yang terjadi. Namun KPU (Komisi Pemilihan Umum) tidak menghiraukan penarikan diri pasangan Prabowo-Hatta dan timnya itu, KPU tetap membacakan keputusan tentang rakapitulasi hasil pemungutan suara pemilihan presiden dan wakil presiden.

Dengan hasil itu, pasangan prabowo-hatta tidak menerima hasil keputusan KPU tersebut dan akhirnya pasangan ini mengajukan gugatan ke MK (Mahkamah Konstitusi). Dengan gugatan tersebut otomatis pertarungan politik makin berlanjut, masyarakat Indonesia tidak melepaskan perhatian terhadap perkembangan siding yan sedang berlangsung di MK tersebut. Dengan itu juga otomatis masih terjadi debat politik baik dikalangan elite sampai ketingkatan terendah. Diwarung, di kampus perkulihan, di tempat public lainnya orang-orang masih sibuk mempertahankan argumennya tentang pasangan yang didukungnya, hingga terjadi perdebatan yang sangat alot dengan menganggap pasangan nya lah yang paling benar. Namun akhirnya, pada tanggal 21 agustus 2014 ketua mahkamah konstitusi memutuskan bahwa menolak seluruh gugatan yang dilayangkan oleh prabowo-hatta dengan otomatis dari keputusan tersebut ditetapkan pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla sebagai pemenang pilpres.

Disini yang menjadi kecemasan kita sebenarnya, kestabilan pemerintahan baru yang diusung oleh koalisi Indonesia hebat hanya memiliki suara kursi sebanyak 207 kursi lain halnya dengan koalisi merah-putih yang berjumlah sebanyak 353 kursi, artinya jika mereka-mereka yang berada diparlemen sana masih mempertahankan egoisme partai-partainya khususnya bagi koalisi-koalisi yang berada di parlemen jelas saja koalisi pengusung pemerintah kalah suara dari koalisi merah-putih yang memiliki suara mayoritas di DPR.

Dengan keadaan ini, beberapa bahkan seluruh program yang di usulkan oleh pemerintah akan menemui jalan terjal untuk dilaksanakan, karena disetiap keputusan yang diambil oleh anggota DPR akan dikuasai oleh koalisi merah-putih dan akan diputuskan sesuai dengan keinginan koalisi merah-putih tersebut. Andai kata koalisi merah putih tidak merestui atau tidak menyetujui usulan program dari pemerintah tentu saja program-program pemerintah tidak akan bisa direalisasikan yang sesungguhnya program itu buat kemajuan bangsa dan masyarakat.

Egoisme elite merenggut hak rakyat

Ketika egoisme dan keinginan golongannya telah menutup hati mereka akan sebuah kebaikan dan atas sebuah kebenaran maka parlemen hanya akan menjadi ajang pertunjukan siapa yang keras suara, siapa yang kuat dan siapa yang Super Power. Apalagi didalam forum musyawarah yang sesunggunya tidak kita lihat lagi arti musyarawah dalam gedung DPR sana, karena hampir seluruh keputusan yang ditetapkan oleh anggota DPR itu melalui cara Votting, dapat kita artinya proses kominakasi bagi para politisi diparlemen tidak berjalan dengan baik dan itu semua dikarenakan oleh egoisme yang sama-sama mereka pegang dan sampai kapanpun sebuah keputusan yang benar-benar disepakati bersama tidak akan pernah terwujud dan sering juga kita melihat aksi Walk-Out yang dilakukanoleh beberapa fraksi ketika tidak memiliki kesamaan pendapat dengan fraksi lain.

Coba kita lihat aksi partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan (PDIP) dalam menyikapi Undang-undang MPR, DPR,DPD dan DPRD (UU MD3), berawal dari ketika UU MD3 ini masih menjadi RUU sesaat mau disahkan PDIP melakukan aksi Walk-Out, tidak sepakatnya PDIP akan undang-undang tersebut berlanjut dengan mengajukan gugatan terhadap Mahkamah Konstitusi (MK) dan pada akhinya Mahkamah Konstitusi menolak gugatan yang dilayangkan oleh PDIP tersebut. Aksi serupa juga berlanjut terhadap sidang Paripurna yang hendak memutuskan RUU Pilkada, aksi Walk-Out pun kembali terjadi pemainnya adalah partai Demokrat yang beralasan dengan tidak disetujuinya syarat sebanyak sepuluh point oleh anggota DPR, tetapi dibalik itu ada alasan yang rasanya seperti tidak percaya adalah perintah Wal-Out itu merupakan kesalahan teknis, sebenarnya ketua umum partai Susilu Bambang Yudhoyono (SBY) memerintahkan untuk All-Out bukan untuk Walk-Out. Tetapi mau bagaimana lagi, mana sesungguhnya yang benar adalah permainan mereka dan hanya mereka dan Tuhanlah yang tahu.

Terlihat sekali bagaimana pertarungan yang terjadi didalam keputusan UU Pilkada tersebut, Koalisi Merah-Putih yang menginginkan Pilkada itu melalui DPRD sedangkan Koalisi Indonesia Hebat menginginkan Pilkada langsung oleh rakyat. Dengan beralasan ini-itu seperti alasan koalisi merah-putih bahwa Pilkada Langsung itu memakan biaya yang sangat besar, pilkada langsung akan menimbulkan Konflik Horizontal ditengah masyarakat, dan Koalisi merah-putih juga beralasan Pilkada melalui DPRD sesungguhnya yang diamanatkan oleh Pancasila. Dengan demikian Proses pilkada yang kita lakukan beberapa waktu setelah reformasi ini keluar dari arti pancasila, jika memang kenapa saat sistem seperti itu pada zaman orde baru digugat dan diubah menjadi pilkada langsung, atau ini hanya sebagai akal-akalan mereka untuk merebut kekuasaan didaerah agar dapat menjegal pemerintah pusat karena kalau kita lihat hampir seluruh parlemen daerah dikuasai oleh anggota yang berasal dari koalisi mereka. Dan dari koalisi Indonesia Hebatpun juga memiliki alasan bermacam-macam seperti pilkada oleh DPRD tidak sesuai dengan Demokrasi, Pilkada oleh DPRD merenggut hak rakyat dan juga pilkada dengan sistem ini berarti telah mengkhianati reformasi yang dengan susah payah memperjuangkannya pada waktu itu. Atau itu semua hanya alasan mereka karena ketakutan terhadap apa yang akan terjadi kedepan, ketika daerah-daerah dikuasai oleh koalisi mereka dan akan menjegal pemerintahan. Dan akhirnya sidang paripurna DPR memutuskan untuk Pilkada langsung, dan yang apa yang dinginkan koalisi merah-putih tercapai, namun ada rencana untuk melakukan gugatan ke MK dan rencana SBY untuk mengeluarkan peraturan presiden pengganti Undang-Undang (Perppu) dan artinya ini akan melanjutkan pertarungan politik dengan atas dasar egoisme golongan tersebut.

Cerita itu tidak berhenti disana, pada hari rabu tangga 1 oktober 2014 belum sampai satu hari anggota dewan perwakilan rakyat (DPR) yang baru selesai dilantik, mereka sudah seperti sepuluh ekor kucing berebut satu makanan, mengaung dan mamaki-maki saingannya, mereka yang berada di parlemen sudah menyuguhkan tontonan yang menarik dalam melaksanakan perhelatan musyawarah yang kurang memiliki etika. Kericuhan terjadi di Rapat Paripurna saat akan memilih ketua DPR periode 2014-2019 pada rabu malam. Padahal ratusan anggota DPR ‘baru’ itu belum genap dilantik 24 jam. Pertarungan tidak enak dilihat itu seakan menjadi kebiasaan, aksi teriak-teriakan, aksi naik podium dan berlaku aneh terhadap pimpinan sidang, dan lagi-lagi aksi Walk-Out mewarnai sidang pertama anggota DPR yang “Baru” itu, adalah PDIP,NasDem, PKB dan Hanura yang keluar dari ruang sidang dan menyatakan tidak bertanggung jawab setiap keputusan yang diambil dalam sidang kali ini. Namun, sidang tetap dilanjutkan dan hasilnya adalah keputusan sidang yang mendapatkan ketua DPR Setya Novanto dari Golkar (Ketua) dan empat wakil ketua yakni Fadli Zon (Gerindra), Agus. Hermanto (Demokrat), Fahri Hamzah (PKS) dan Taufik Kurniawan (PAN). Ini memperlihatkan bagaimana pertarungan-pertarungan politik antara Koalisi Merah-Putih dengan Koalisi Indonesia Hebat seperti tidak ada ujungnya.

Jika hal seperti ini terus berlanjut maka roda pemerintahan Jokowi-JK akan menghadapi jalan terjal yang amat sulit dalam lima tahun ke depan. Locus conflict akan datang dari sisi pemerintah Jokowi-JK. Gangguan yang berat tentu akan datang dari usulan, locus conflict yang datang dari usulan Presiden. Usulan itu bisa berupa RUU, pengajuan dubes, atau nama-nama pimpinan lembaga negara, panglima TNI, Polri dan lainnya. Karena semua itu kan harus melalui persetujuan DPR, fit and proper test di DPR. Dengan komposisi kekuatan politik yang tidak seimbang ini, lima tahun ke depan model persidangan DPR tidak akan jauh dari model yang terjadi sepanjang hari rabu hingga kamis pagi pada sidang paripurna pertama. Akan terjadi benturan antara faksi Indonesia Hebat dan Merah Putih. Akan ada kegaduhan-kegaduhan, dan tahap akhir WO. Karena kekuatan yang tidak berimbang ini, pengajuan hak-hak seperti hak angket, hak interpelasi, dan hak bertanya, diprediksi akan meningkat dibandingkan dengan periode sebelumnya. Kalau di masa SBY, hak-hak tersebut bisa diredam karena Presiden berhasil melakukan warning ke kabinetnya. Nah, sekarang ini kan tidak ada Koalisi Merah Putih dalam kabinet Jokowi-JK. bagaimana mau meredam. Jokowi tidak bisa menggertak karena mayoritasnya anggota koalisi Merah-Putih di Parlemen.

Rakyat sangat berharap para politisi dan elite partai politik lebih mendahulukan kepentingan rakyat, jangan sampai nasib bangsa ini tergadai karena egoisme politik tersebut. Seharusnya para politisi yang ada diparlemen itu mewakili rakyat, dan kepentingan rakyat lah yang ia perjuangkan. Dan mereka disana hadir untuk menemui kesepakatan bersama bagai mana pembangunan bangsa kedepannya, bukan untuk memperebutkan Ketua DPR, kepala daerah, dendam karena pertarungan Pilpres dan bentuk perebutan yang lainnya pada akhirnya rakyat menganggap itu semua karena perebutan lahan kekuasaan bukan perebutan memperjuangkan rakyat. Anggota DPR itu harus dengan hati dan tujuan yang bersih duduk disana agar apa yang mereka musyawarahkan nanti mendapat titik temu dan tidak hanya egoisme semata dan kita tidak berharap Indonesia terbagi menjadi dua kutub yang saling bertentangan oleh ulah para elite politiknya.





Sumber : http://ift.tt/12nwg5R

Artikel Kompasiana Lainnya :

Copyright © 2015 Kompasiana | Design by Bamz