Indonesia "Akhirnya" Meratifikasi Agreement on Transboundary Haze Pollution
Tepat sebulan yang lalu, parlemen kita dengan masa bakti 2009-2014 membuat keputusan cukup penting di akhir masa baktinya. Kurang sebulan sebelum anggota dewan kita berganti, parlemen kita menyepakati ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution. Cukup unik memang mengapa parlemen kita baru menyepakati untuk meratifkasi perjanjian ini, mengingat kita adalah penyumbang akar masalah sehingga perjanjian ini di munculkan oleh negara-negara ASEAN. Pernjanjian ini sebenarnya sudah ada sejak tahun 2002, beberapa negara langsung meratifikasinya tahun tersebut atau setahun sesudahnya dan yang paling akhir adalah Indonesia yaitu pada 16 September 2014.
Banyak alasan di munculkan ke publik mengapa pemerintah dan parlemen enggan mensetujui perjanjian ini sedari awal. Sebagai negara yang bisa di katakan ”biang keladi” permasalah ini, Indonesia memeliki sejumlah kepentingan sehingga enggan segera meratifikasi perjanjian ini. Selayaknya negara berkembang yang sedang ingin mengejar ‘’setoran”, banyak aktivitas pembangunan yang melupakan aspek lingkungan. Salah satu setoran yang saya maksud mungkin sudah terpenuhi yaitu negara kita adalah produsen crude palm oil (CPO) terbesar di Asia Tenggara. Crude palm oil sendiri adalah kelapa sawit dan banyak lahan kita mengalam deforitasi akibat pembukaan lahan untuk penenaman kelapa sawit. Berita menyedihkan lainnya adalah kita sudah kehilangan 25 juta lahan hijau selama beberapa dekade.
Terlihat semakin ambigu dengan kenyataan bahwa negara kita mengampanyekan isu global green economy, yang di sisi lain kita lupa akan masalah yang menganga di dalam negeri. Ambigu di sini di maksudkan kita mengampanyekan aktivitas ekonomi yang memeperhatikan alam, namun kita banyak memberiakan perusakan hutan dengan di bakar untuk alasan pembukaan lahan. Meskipun di televisi kita sering menyaksikan jika pemerintah kita selalu berkomitmen untuk memberantas para cukong pembakan hutan, tetap saja niatnya masih di pertenyakan. Di pertanyakan karena sudah siapkah kita untuk kegiatan ekonomi yang ramah lingkungan di saat kita sedang bernafsu membangun?
Keenganan negara pusat untuk menanggulangi masalah asap ini terlihat jelas ketika Indonesia menawarkan sistem National PoA. National PoA di maksudakan untuk menciptakan kerjasama langsung antara negara-negara terdampak asap dengan daerah sumber asap tersebut. Misal Riau menjadi salah satu sumber asap pada tahun 2014 ini, Singapura bisa menawarkan bantuan langsung ke pemerinatah daerah tanpa harus memalui pusat. Pendekatan ini dilakukan Indonesia sebelum meratifikasi perjanjian ini dan terlihat pemerintah ingin lepas tangan. Pemerintahan kita seakan hanya ingin menerima ‘’setoran” tanpa mau memperhatikan dampak yang di timbulkan akibat kerusakan alam.
Alasan pembangunan mungkin menjadi salah satu alasan mengapa negara kita terkesan ”telat” meratifikasi perjanjian ini. Salah satu isi perjanjian yang berisi adanya prevent untuk kebakaran hutan. Pemerintah mungkin enggan prevent masalah kebakaran hutan karena takut kehilangan setoran nantinya. Pemerintah kita terlihat ragu-ragu atau memang ada pihak-pihak berkepentingan di belakang para anggota parlemen. Pihak berkepentingan tersebut takut jika perjanjian ini di ratifikasi maka pihak berkepentingan dala urusan pembukaan lahan akan kehilangan pendapatan besar. Memang masih perlu di cermati lebih dalam alasan kenapa baru sekarang kita meratifkasi perjanjian ini, tapi paling lebih lucu adalah isu Susilo Bambang Yudoyono diangkat menjadi presiden GGGI (Global Green Growth Institute). Kabarnya SBY akan diangkat menjadi presiden GGGI menggantikan Calderon, sementara jika di lihat dari sejarah penanganan asap dan kerusakan hutan akibat aktivitas ekonomi di era SBY bisa di bilang gagal. Tapi kembali lagi bahwasanya kelompok tersebut mungkin memiliki penilaian sendiri kepada SBY.
Sumber : http://ift.tt/1tstVAv
Banyak alasan di munculkan ke publik mengapa pemerintah dan parlemen enggan mensetujui perjanjian ini sedari awal. Sebagai negara yang bisa di katakan ”biang keladi” permasalah ini, Indonesia memeliki sejumlah kepentingan sehingga enggan segera meratifikasi perjanjian ini. Selayaknya negara berkembang yang sedang ingin mengejar ‘’setoran”, banyak aktivitas pembangunan yang melupakan aspek lingkungan. Salah satu setoran yang saya maksud mungkin sudah terpenuhi yaitu negara kita adalah produsen crude palm oil (CPO) terbesar di Asia Tenggara. Crude palm oil sendiri adalah kelapa sawit dan banyak lahan kita mengalam deforitasi akibat pembukaan lahan untuk penenaman kelapa sawit. Berita menyedihkan lainnya adalah kita sudah kehilangan 25 juta lahan hijau selama beberapa dekade.
Terlihat semakin ambigu dengan kenyataan bahwa negara kita mengampanyekan isu global green economy, yang di sisi lain kita lupa akan masalah yang menganga di dalam negeri. Ambigu di sini di maksudkan kita mengampanyekan aktivitas ekonomi yang memeperhatikan alam, namun kita banyak memberiakan perusakan hutan dengan di bakar untuk alasan pembukaan lahan. Meskipun di televisi kita sering menyaksikan jika pemerintah kita selalu berkomitmen untuk memberantas para cukong pembakan hutan, tetap saja niatnya masih di pertenyakan. Di pertanyakan karena sudah siapkah kita untuk kegiatan ekonomi yang ramah lingkungan di saat kita sedang bernafsu membangun?
Keenganan negara pusat untuk menanggulangi masalah asap ini terlihat jelas ketika Indonesia menawarkan sistem National PoA. National PoA di maksudakan untuk menciptakan kerjasama langsung antara negara-negara terdampak asap dengan daerah sumber asap tersebut. Misal Riau menjadi salah satu sumber asap pada tahun 2014 ini, Singapura bisa menawarkan bantuan langsung ke pemerinatah daerah tanpa harus memalui pusat. Pendekatan ini dilakukan Indonesia sebelum meratifikasi perjanjian ini dan terlihat pemerintah ingin lepas tangan. Pemerintahan kita seakan hanya ingin menerima ‘’setoran” tanpa mau memperhatikan dampak yang di timbulkan akibat kerusakan alam.
Alasan pembangunan mungkin menjadi salah satu alasan mengapa negara kita terkesan ”telat” meratifikasi perjanjian ini. Salah satu isi perjanjian yang berisi adanya prevent untuk kebakaran hutan. Pemerintah mungkin enggan prevent masalah kebakaran hutan karena takut kehilangan setoran nantinya. Pemerintah kita terlihat ragu-ragu atau memang ada pihak-pihak berkepentingan di belakang para anggota parlemen. Pihak berkepentingan tersebut takut jika perjanjian ini di ratifikasi maka pihak berkepentingan dala urusan pembukaan lahan akan kehilangan pendapatan besar. Memang masih perlu di cermati lebih dalam alasan kenapa baru sekarang kita meratifkasi perjanjian ini, tapi paling lebih lucu adalah isu Susilo Bambang Yudoyono diangkat menjadi presiden GGGI (Global Green Growth Institute). Kabarnya SBY akan diangkat menjadi presiden GGGI menggantikan Calderon, sementara jika di lihat dari sejarah penanganan asap dan kerusakan hutan akibat aktivitas ekonomi di era SBY bisa di bilang gagal. Tapi kembali lagi bahwasanya kelompok tersebut mungkin memiliki penilaian sendiri kepada SBY.
Sumber : http://ift.tt/1tstVAv