Suara Warga

"Reformasi - Demokrasi Dibungkam Rapat-rapat SBY dan Antek-anteknya Pencetus Orde Baru Edisi Ke 2

Artikel terkait : "Reformasi - Demokrasi Dibungkam Rapat-rapat SBY dan Antek-anteknya Pencetus Orde Baru Edisi Ke 2



Demokrasi yang sudah berjalan di negara ini haruslah di kurbankan demi kepentingan kekuasaan, kedudukan dan tahta bagi para elit politik yang haus kekuasaan, kejayaan, kekayaan dan tahta. (ilustrasi : Syaifud Adidharta)



Dalam menyambut Idul Adha 2014 yang jatuh tepat pada tanggal 5 Oktober 2014 besok, Rakyat Indonesia dengan sedih dan penuh duka mendalam rela menjadi Kurban politik dari kelompok - kelompok elit politik yang gila jabatan, kekuasaan serta tahta. Terutama dari kelompok - kelompok elit politik yang dengan sengaja dan serta merta berupaya memandulkan proses Reformasi dan Demokrasi terbuka yang sudah berjalam selama ini, yaitu sejak lahirnya pergerakan Reformasi Bangsa Indonesia menuju perubahan dan perbaikan sistem berbangsa dan benegara yang penuh demokrasi, sejak tahun 1998 silam


Dan Reformasi dengan Demokrasi terbukanya diberbagai bidang sektor kehidupan berbangsa dan bernegara kini teruji kuat menuju kemandulan. Pasalnya bermuara kepada ketidakreralaan calon presiden Prabowo Subianto (Prabowo) dari Partai Gerindra yang berpasangan dengan Hatta Rajasa (Hatta) dari PAN (Partai Amanat Nasiaonal) kalah dalam perolehan suara berdasarkan hitungan QUICK COUNT (Hitungan Cepat) dan hitungan rekapitulasi terakhir KPU (Komisi Pemilihan Umum) Pusat di DKI Jakarta pada tanggal 22 Juli 2014 lalu dengan calon presiden Jokowi Widodo (Jokowi) berpansangan dengan Muhammad Jusuf Kalla (JK).


Prabowo - Hatta mengalami kekalahan telak dari Jokowi - JK. Dan pada akhirnya pula Prabowo-Hatta mengajukan gugatan ke MK (Mahkamah Konstitusi) dengan berbagai alasan politik yang diajukan ke MK saat itu. Akan tetapi kenyataannya MK menolak seluruh gugatan yang diajukan oleh Prabowo - Hatta pada tanggal 21 Agustus 2014 dua bulan lalu. Dimana dalam sidang majelis hakim MK memutuskan menolak seluruh gugatan Prabowo-Hatta atas hasil Pilpres (Pemilihan Presiden RI) tahun 2014.


Dan pada saat itu keputusan itu dibacakan oleh Ketua MK Hamdan Zoelva, dan tanpa dissenting opinion. Dengan demikian Jokowi - JK pemenang pilpres 2014 sesuai dengan penghitungan KPU. Hasil tersbut dibacakan sekitar oukul 20.40 WIB. Dan sebelumnya, tim kuasa hukum calon presiden dan calon wakil presiden Jokowi - JK menilai tuduhan yang dilayangkan kubu Prabowo-Hatta terkait kecurangan dalam pemilu 2014 sudah jelas tidak terbukti.


Kemudian selanjutnya Partai Gerindra melalu fraksinya di DPR Pusat turut menyetujui adanya pelaksanaan Pilkada memalui proses pemilihan di DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) dengan tidak melalui pemilihan langsung ke masyarakat daerah besangkutan. Saat itu Fraksi PPP yang terdiri atas 32 orang setuju pilkada melalui DPRD. Sementara Fraksi PDI Perjuangan, Partai Hanura, dan PKB (Partai Kebangkitan Bangsa) setuju adanya pilkada langsung.


Dalam peristiwa bersejarah yang hitam tersebut, Prabowo selaku Ketua Umum dan Pembina Partai Gerindra menyatakan Fraksi Gerindra solid dengan seluruh anggotanya sebanyak 22 orang memilih pilkada melalui DPRD.Sedangkan fraksi Partai Hanura seluruhnya 10 orang mendukung pilkada langsung.


Dan seperti banyak diketahui oleh seluruh rakyat Indonesia di dalam negeri maupun di luar megeri bahwa dalam sidang usulan Pilkada dilaksanakan melalui pemilihan tidak langsung melalui DPRD, Partai Demokrat melakukan sandiwara WO (walk out), keluar dari ruang sidang (pengunduran diri).


Dalam pengunduran diri Fraksi Partai Demokrat telah memberi angin segar untuk partai-partai yang mendukung Pilkada melalui DPRD, yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih. “Demokrat lakukan walk out, ternyata memang memberikan peluang Merah Putih menang pemungutan suara dalam paripurna soal RUU Pilkada. Hal itu jelas terlihat sandiwara seluruh faksi Partai Demokrat, dan hal itu sepertinya memang sudah diatur oleh Ketua Umum Partai Demokrat merangkat Presiden RI saat ini hingga 20 Oktober 2014 mendatang, Susilo Bambang Yudoyhono (SBY). Anehnya sebelum terjadi debat dalam usulan Pilkada saat itu, SBY menyatakan sikapnya bersama partainya, Partai Demokrat lebih setuju adanya demokrasi langsung salah satunya mendukung Pilkada langsung. Akan tetapi SBY hanya bersandirawa dalam pitato resminya saat itu di sidang DPR saat itu.


Sungguh memalukan SBY dimata dunia dalam berdemokrasi, padahal kita mengetahui bahwa selama dua periode SBY menjabat Preiden RI adalah hasil dari pemilihan langsung oleh seluruh rakyat Indonesia, dan hal itupun adalah buah hasil dari proses perjalanan Reformasi yang berjalan. Akan tetapi SBY dan sejumlah tokoh elit lainnya yang memiliki perwatakan status Quo (Diktaror) justru telah menghianati Demokrasi di negara tercinta ini, maka kita pantaslah bila SBY di masa akhir jabatannya sebagai Presiden RI pada 20 Oktober 2014 mendatang, SBY sebagai Bapak pencipta Orde Baru edisi kedua, setelah rezim Presiden RI Soeharto bapak Orde Baru edisi Pertama.


Dan anehnya lagi, Amien Rais salah satu tokoh dan pencetus gerakan Reformasi di tahun 1998 silam kini juga ikut menghianati Demokrasi Indonesia yang sesungguhnya. Amien Rais telah menghianati seluruh rakyat Indonesia dan sejumlah tokoh Reformasi lainnya seperti Almarhum Gus Dur (Abdurrahman Wahid), Sri Sultan Hamengkubuwono ke 10 dan Megawati Soekarnoputri.


Amien Rais justru mendukung dan setuju adanya Pilkada diadakan melalui pemilihan tidak langsung melalui DPRD. Dan Amien Rais, menilai pemilihan kepala daerah melalui DPRD dapat menghindarkan adanya politik uang saat proses Pilkada di DPRD.


Bahkan, Amien mengaku menyesal atas kenyakinannya terdahulu, yang percaya bahwa Pilkada secara langsung dipilih langsung oleh rakyat daerah bersangkutan dapat memberantas tindakan kecurangan, seperti halnya politik uang untuk membeli suara rakyat.


“Jadi saya termasuk yang yakin sekali bahwa pemilihan langsung, politik uang bisa diatasi karena tidak mungkin puluhan atau ratusan juta lebih masyarakat dimainkan dengan uang. Tapi ternyata saya keliru,” kata Amien di rumah Akbar Tandjung, jakarta Selatan, Rabu 10 September 2014.


Dari penyataan sikap Amien Rais tersebut adalah sesuatu yang tidak masuk akal sebenarnya, justru penulis beranggapan bahwa adanya pelaksanaan Pilkada tidak langsung tersebut justru lebih berbahaya, pasalnya akan terjadi sebuah perbuatan hitam dalam soal kepentingan, baik itu kepentingan individual anggota DPRD, maupun kepentingan fraksi - farksi yang ada di DPRD tersebut dengan adanya permainan bagi kekuasaan dan bagi - bagi upeti. Hal itu pernah terjadi di masa Orde Baru edisi Pertama di zaman rezim Presiden Soeharto.


Pilkada tidak langsung yang pada akhirnya menjadi kesepakatan fraksi - fraksi yang mendukungnya dan menjadi sebuah keputusan final, maka kembali penulis beranggapan bahwa ini adalah langkah awal dalam pemandulan proses Demokrasi di Indonesia, dan pada akhirnya pun lambat laun demokrasi dalam Pilpres juga bisa besar kemungkinan dengan kuat dilakukan oleh proses pemilihan tidak langsung di DPR Pusat. Selain itu lembaga - lembaga yang pro-rakyat dengan mudah akan dimatikan, seperti KPK, MK maupn KPU dan lembaga lainnya.


Kenapa demikian?. Contohnya saja belum lama ini dalam peritiwa pelantikan anggota DPR dan DPD masa jabatan tahun 2014 - 2019 telah terjadi sebuah proses demokrasi abu - abu. Dimana saat itu telah terjadi sebuah proses pemilihan Ketua dan Wakil Ketua DPR RI dengan melalui sistem Paket, aneh…


Saat itu dalam rapat paripurna pada tanggal 2 Oktober 2014 yang dipimpin ketua sementara, Popong Otje Djundjunan, enam fraksi anggota KMP (Koalisi Merah Putih), yakni Gerindra, Demokrat, PKS, PAN, PPP dan Golkar mengajukan paket calon pimpinan yang sama. Setelah mendengarkan usulan paket pimpinan DPR dari setiap fraksi, Popong pun langsung menetapkannya sebagai pimpinan DPR terpilih periode 2014 - 2019.


Rapat parnipurna tersebutpun sebenarnya diwarnai aksi oleh Fraksi PDIP (PDI Perjuangan) yang memutuskan untuk tidak ikut serta dalam rapat paripurna pemilihan pimpinan DPR RI periode 2014-2019, Kamis 2 Oktober 2014. Sikap fraksi terbesar PDIP di DPR RI ini ditegaskan dengan melakukan walk out (Pengunduran diri) saat sidang tengah berlangsung.


Menurut Ketua DPP PDIP Puan Maharani, aksi walk out dilakukan karena merasa aspirasi fraksinya tidak dihargai oleh sidang. Puan pun menuding Popong Otje Djunjunan selaku pimpinan sidang paripurna sudah tak netral lagi. Ceu Popong telah disetir oleh kubu Koalisi Merah Putih.


“Kepentingan pendukung Bapak Prabowo lebih diperhatikan, sedangkan hak politik anggota kami tidak dihargai,” kata Puan kepada pers sesaat setelah meninggalkan ruang rapat paripurna DPR RI.


Selama persidangan, Fraksi PDIP bersama mitra koalisinya Hanura, PKB, Nasdem terus berupaya melakukan interupsi. Bahkan lantaran interupsi yang tak digubris, anggota Fraksi PDIP, Adian Napitupulu dan Masinton Pasaribu melabrak meja pimpinan sidang. Mereka mendesak agar sidang ditunda karena sudah melewati batas waktu yang diatur tata tertib.


Namun, berbagai aksi kubu pendukung presiden dan wakil presiden terpilih, Jokowi - JK itu tidak membuahkan hasil. Pemilihan pimpinan DPR pun terus saja bergulir tanpa memperdulikan dosa dalam berdemokrasi yang sesungguhnya.


Inilah jelah sudah tanda - tanda akan hadirnya kembali cara - cara lama yang pernah terjadi di masa Orde Baru edisi Pertama di rezim Presiden RI, Soeharto. Dan maka dengan demikian bersiaplah rakyat Indonesia akan mengalami kembali pengekangan dalam keterbukaan berdemokrasi.


Reformasi yang telah berjalam akan mati dan menjadi sebuah kenangan belaka, pasalnya hingga saat ini kelompok - kelompok status Quo warisan Orde Baru masa rezim Soeharto masih bergentayangan, mereka tidak pernah rela ada sebuah perubahan sikap rakyat Indonesia dalam sebuah proses berdemokrasi langsung yang terbuka.


Dan mereka memang sesungguhnya dengan sengaja selama Reformasi berjalan terus menghantui dengan menyelinap serta berpura - pura mendukung Reformasi dan Demokrasi terbuka selama ini, namun kenyataannya mereka hanya menghancurkan Reformasi dan menghancurkan kemerdekaan rakyat Indonesia untuk bisa memahami dan melaksanakan demokrasi terbuka tersebut selama ini.


Akhirnya hak - hak rakyat Indonesia dalam berpendapat, bermusyawarah dan bermufakat akan dibungkam rapat - rapat. Selain itu kita khawatir pada akhirnya pula Militer (TNI dan Polri) di negara ini pun akan kembali berperan seperti dulu dalam politik praktisnya, dan pada akhirnya pula militer di negara ini menjadi alat pertahanan dan kekuasaan bagi para elit - elit politik yang memang dengan jelas tidak akan pernah rela adanya rakyat Indonesia dapat berdemokrasi.


Penulis dengan berat hati menyatakan “Selamat Datang Orde Baru Edisi Kedua, Selamat Tinggal Reformasi dan Kebebasan Berdemokrasi.


Namun penulis tetap optimis kita harus bangkit dan perlu melakukan Revolusi Mental besar - besar sebelum semua yang tergambar diatas terjadi berkelanjutan, dan kita dukung pergerakan Revolusi Mental dari gerakan seluruh rakyat Indonesia bersama Presiden dan Wakil Presiden terpilih, Jokowi - JK, walau pada akhirnya nyawa sebagai taruhannya.


Dan kita berjuang bersama mengembalikan simbol negara ini yang sesungguh sakral bagi seluruh Rakyat Indonesia, yaitu Merah Putih. Merah Putih tidak pantas menjadi simbol dari kelompok - kelompok elit politik yang haus kedudukan, jabatan, dan tahta. Selain itu simbol Merah Putih tidaklah pernah pantas sampai kapanpun menjadi icon dalam kelompok - kelompok elit politik yang menamakan diri kelompok KMP (Koalisi Merah Putih). Karena kelompok ini ternyata memiliki itikat buruk untuk memecah belah persatuan seluruh rakyat indonesia dalam Kebhinekaan Tunggal Ika pada roh Pancasila.


*****




Ditulis oleh : Syaifud Adidharta atau Syaifud Adidharta Edisi : 2




Ikuti artikel sebelumnya, klik judul dibawah ini :


Ahok Bergoyang atau di Goyang Menuju Kursi DKI 1






*****






Sumber : http://ift.tt/1Ed5Yle

Artikel Kompasiana Lainnya :

Copyright © 2015 Kompasiana | Design by Bamz