Bukan Dunia Ketiga
Berdasarkan sumber terpercaya, tiga kendala sistem demokrasi Indonesia di era Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono jilid I dan II adalah; 1). Indonesia masih menuju tingkat kematangan. 2). Sistem multi partai, dan 3). Multi bangsa, yang mana ketiga hal tersebut tercermin dari sistem demokrasi yang saat ini sedang kita jalani.
Reorientasi gerakan sosial yang tidak lagi berbentuk gerakan-gerakan union / perserikatan, melainkan berwujud gerakan akar rumput, bersifat “horisontal grass root politics” yang lebih berorientasi sebagai gerakan kultural yang menjadi pabrik ide, simbol yang dengannya individu memahami hidupnya.
Teknologi sistem informasi sebagai bagian dari sistem global, menjadikan masing-masing dari setiap individu berlomba-lomba mengkonseptualisasikan dirinya sesuai kehidupan kekinian sebagai konsekuensi modernisasi, dengan janji-janji gagasan tentang kehidupan dan masa depan yang cemerlang. Ide dan pemahaman masing-masing individu direpresentasikan dan direproduksi melalui bahasa yang dengannya manusia memahami kenyataan.
Namun hal ini bukan tanpa resiko, demokrasi secara langsung yang dianggap mampu membuka ruang bagi tumbuhnya demokrasi dan partisipasi publik, menjadikan relasi vertical antara “state-citizens”, maupun relasi horizontal seperti konflik antar masyarakat (sebagai efek tuntutan atas ruang politik yang lebih luas bagi praktek-praktek multikulturalisme) semakin tumbuh dan berkembang, di tengah-tengah ketidak pastian peta politik ekonomi global.
Pasca kemenangan Jokowi–JK di Pilprres 2014 pada juli kemarin, serta lahirnya poros koalisi merah putih (KMP), yang mempresentasikan Prabowo–Hatta sebagai pihak yang berkomitmen menjadi oposisi penyeimbang (pendukung penciptaan pemerintahan yang demokratis, lahir, berkembang dan diyakini sebagai suatu kebenaran) untuk lima tahun pemerintahan kedepan, adalah fenomena baru peta perpolitikan nasional (dua kubu; koalisi Indonesia hebat vs koalisi merah putih, adalah salah satu solusi dari sistem multi partai) yang oleh banyak kalangan dianggap sebagai kemajuan dari demokrasi itu sendiri yang telah direpresentasikan selama sepuluh tahun masa Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Fenomena tersebut seakan membuka mata banyak kalangan masyarakat tentang apa yang sesungguhnya terjadi. Isu-isu tentang korupsi, resistensi, dominasi atau demokrasi itu sendiri dimaknai sebagai buah dari rekonstruksi sosial yang memungkinkan sekelompok orang / individu mengidentifikasikan diri mereka secara simbolik sabagai bagian dari suatu kolektivitas tertentu, dimana praktek dalam proses identifikasi itu dimobilisasikan untuk tujuan-tujuan politik.
Demokrasi Indonesia, seperti yang Ibnu Rusdi katakan dalam sebuah media online: “bukanlah palu godam penghancur sistem nilai ketinggian peradaban dan manusia, justru demokrasi adalah pilihan bijak bagi mengadopsi semangat toleransi dan kompromi bagi seluruh variable yang plural”. Demokasi dianggap “hanya telah diselewengkan oleh para oknum, sehingga membiakkan banyak masalah”.
Lantas ketika kini, disaat rakyat Indonesia bersuka cita menyambut suksesnya demokrasi bak panen tiba, yang entah sekedar euforia seperti sebelum-sebelumnya atau sebuah pertanda?. Maka menurut hemat penulis, masihkah kita layak disebut sebagai Negara Dunia Ketiga? Apakah faktor-faktor yang menyebabkan kita harus terus menerus menyandang predikat tersebut? Atau jangan-jangan semua ini hanyalah buah simalakama, dari era Presiden pertama Soekarno hingga Presiden keenam Bapak Susilo Bambang Yudhoyono, dengan asumsi bahwa sesungguhnya Dunia Ketiga hanyalah representasi semu, yang mempersepsikan Dunia Pertama “The West and The Rest” (dunia maju barat, dunia lain tertinggal), sekedar dongeng wajib sebelum beranjak menuju tampuk kepemimpinan?.
Apakah “keterbelakangan” bagi Dunia Ketiga hingga menjadikannya terbelenggu dalam persepsi sempit yang terdikotomi? Faktor budayakah? Atau faktor ketiga kendala diatas dalam kaitannya dengan identitas sosial dan identitas politik bagi warga negaranya? Entah sampai kapan masyarakat Dunia Ketiga harus selalu menegosiasikan posisi resistensi mereka didalam struktur modernitas itu sendiri?
Schizo-space (ruang / sekat dimana terjadi halusinasi / kontradiksi) menjadi semacam trend / gaya hidup yang melanda Dunia Ketiga. Infrastruktur seperti apakah? Kualitas Sumber Daya Manusia seperti apakah? Serta pembangunan Institusi seperti apakah, agar transformasi sosial, ekonomi dan politik itu bisa sesuai dengan keinginan dan harapan kita semua? Bukankah rezim telah enam kali berganti, namun alasan yang sama masih sarter kita dengar dalam setiap masa transisi peralihan kekuasaan?.
Beberapa hari yang lalu, rakyat indonesia disuguhkan oleh tontonan RUU Pilkada yang menuai pro dan kontra. Di satu sisi, sistem “pilkada melalui DPRD” yang pancasilais yang diusung koalisi Merah Putih (KMP) dianggap sebagai pertanda “kemunduran demokrasi” bagi para pancasilais dan koalisi yang berhasil memenangkan Jokowi melalui sistem liberal “pilkada langsung”. Namun disisi lain, kemenangan seorang pancasilais Jokowi sebagai presiden ketujuh RI, secara otomatis juga merupakan kemunduran kita sebagai sebuah bangsa dari sistem demokrasi liberal yang telah direpresentasikan (dengan opsi 10 perbaikan sistem demokrasi “pilkada langsung,” sebagai salah satu diantaranya bahwa Indonesia masih menuju tingkat kematangan?).
Tidakkah hal ini semacam schizo-space zaman kekinian, dimana loyalitas lama (koalisi “Indonesia Hebat” yang berkomitmen dengan “pilkada langsung” sebagai lanjutan rezim sebelumnya, dengan ideologi “sampai titik darah penghabisan”) “bercampur aduk” dengan loyalitas baru (koalisi “Merah Putih” dengan pilkada melalui DPRD sebagai ideologi pancasila). Yang menurut Friedric Jameson: “tidak ada seorangpun yang meyakini, landasan macam apa yang sedang mereka perjuangkan.! Tujuan apa yang hendak mereka raih. Dalam keadaan semacam ini, ia menyatakan bahwa: “subjek telah mati”.
Kematian yang menurut hemat penulis juga patut dipertanyakan sebagai “schizo-space”, (sebagai salah satu kendala demokrasi Indonesia yang multi bangsa?). Kematian seperti apakah yang rakyat Indonesia inginkan? Atau hanya bagi sebagian tertentu saja subjek itu telah mati? Atau jangan-jangan kematian itu hanyalah seremonial untuk “Dunia Pertama”, sekedar representasi semu sebagai “Dunia Ketiga” seperti yang telah disebut diatas, menjelang masa bergantinya pemerintahan yang baru? Kita tidak benar-benar mati, alias sekedar mati suri misalnya?
Maka inilah Indonesia. Tanah air tercinta yang selalu sanggup mengatasi masalahnya dengan elegan sebagai manusia Indonesia, bahkan terkadang melebihi jamannya.
Pamekasan, 29, September, 2014
Sumber : http://ift.tt/1pDDmb0
Reorientasi gerakan sosial yang tidak lagi berbentuk gerakan-gerakan union / perserikatan, melainkan berwujud gerakan akar rumput, bersifat “horisontal grass root politics” yang lebih berorientasi sebagai gerakan kultural yang menjadi pabrik ide, simbol yang dengannya individu memahami hidupnya.
Teknologi sistem informasi sebagai bagian dari sistem global, menjadikan masing-masing dari setiap individu berlomba-lomba mengkonseptualisasikan dirinya sesuai kehidupan kekinian sebagai konsekuensi modernisasi, dengan janji-janji gagasan tentang kehidupan dan masa depan yang cemerlang. Ide dan pemahaman masing-masing individu direpresentasikan dan direproduksi melalui bahasa yang dengannya manusia memahami kenyataan.
Namun hal ini bukan tanpa resiko, demokrasi secara langsung yang dianggap mampu membuka ruang bagi tumbuhnya demokrasi dan partisipasi publik, menjadikan relasi vertical antara “state-citizens”, maupun relasi horizontal seperti konflik antar masyarakat (sebagai efek tuntutan atas ruang politik yang lebih luas bagi praktek-praktek multikulturalisme) semakin tumbuh dan berkembang, di tengah-tengah ketidak pastian peta politik ekonomi global.
Pasca kemenangan Jokowi–JK di Pilprres 2014 pada juli kemarin, serta lahirnya poros koalisi merah putih (KMP), yang mempresentasikan Prabowo–Hatta sebagai pihak yang berkomitmen menjadi oposisi penyeimbang (pendukung penciptaan pemerintahan yang demokratis, lahir, berkembang dan diyakini sebagai suatu kebenaran) untuk lima tahun pemerintahan kedepan, adalah fenomena baru peta perpolitikan nasional (dua kubu; koalisi Indonesia hebat vs koalisi merah putih, adalah salah satu solusi dari sistem multi partai) yang oleh banyak kalangan dianggap sebagai kemajuan dari demokrasi itu sendiri yang telah direpresentasikan selama sepuluh tahun masa Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Fenomena tersebut seakan membuka mata banyak kalangan masyarakat tentang apa yang sesungguhnya terjadi. Isu-isu tentang korupsi, resistensi, dominasi atau demokrasi itu sendiri dimaknai sebagai buah dari rekonstruksi sosial yang memungkinkan sekelompok orang / individu mengidentifikasikan diri mereka secara simbolik sabagai bagian dari suatu kolektivitas tertentu, dimana praktek dalam proses identifikasi itu dimobilisasikan untuk tujuan-tujuan politik.
Demokrasi Indonesia, seperti yang Ibnu Rusdi katakan dalam sebuah media online: “bukanlah palu godam penghancur sistem nilai ketinggian peradaban dan manusia, justru demokrasi adalah pilihan bijak bagi mengadopsi semangat toleransi dan kompromi bagi seluruh variable yang plural”. Demokasi dianggap “hanya telah diselewengkan oleh para oknum, sehingga membiakkan banyak masalah”.
Lantas ketika kini, disaat rakyat Indonesia bersuka cita menyambut suksesnya demokrasi bak panen tiba, yang entah sekedar euforia seperti sebelum-sebelumnya atau sebuah pertanda?. Maka menurut hemat penulis, masihkah kita layak disebut sebagai Negara Dunia Ketiga? Apakah faktor-faktor yang menyebabkan kita harus terus menerus menyandang predikat tersebut? Atau jangan-jangan semua ini hanyalah buah simalakama, dari era Presiden pertama Soekarno hingga Presiden keenam Bapak Susilo Bambang Yudhoyono, dengan asumsi bahwa sesungguhnya Dunia Ketiga hanyalah representasi semu, yang mempersepsikan Dunia Pertama “The West and The Rest” (dunia maju barat, dunia lain tertinggal), sekedar dongeng wajib sebelum beranjak menuju tampuk kepemimpinan?.
Apakah “keterbelakangan” bagi Dunia Ketiga hingga menjadikannya terbelenggu dalam persepsi sempit yang terdikotomi? Faktor budayakah? Atau faktor ketiga kendala diatas dalam kaitannya dengan identitas sosial dan identitas politik bagi warga negaranya? Entah sampai kapan masyarakat Dunia Ketiga harus selalu menegosiasikan posisi resistensi mereka didalam struktur modernitas itu sendiri?
Schizo-space (ruang / sekat dimana terjadi halusinasi / kontradiksi) menjadi semacam trend / gaya hidup yang melanda Dunia Ketiga. Infrastruktur seperti apakah? Kualitas Sumber Daya Manusia seperti apakah? Serta pembangunan Institusi seperti apakah, agar transformasi sosial, ekonomi dan politik itu bisa sesuai dengan keinginan dan harapan kita semua? Bukankah rezim telah enam kali berganti, namun alasan yang sama masih sarter kita dengar dalam setiap masa transisi peralihan kekuasaan?.
Beberapa hari yang lalu, rakyat indonesia disuguhkan oleh tontonan RUU Pilkada yang menuai pro dan kontra. Di satu sisi, sistem “pilkada melalui DPRD” yang pancasilais yang diusung koalisi Merah Putih (KMP) dianggap sebagai pertanda “kemunduran demokrasi” bagi para pancasilais dan koalisi yang berhasil memenangkan Jokowi melalui sistem liberal “pilkada langsung”. Namun disisi lain, kemenangan seorang pancasilais Jokowi sebagai presiden ketujuh RI, secara otomatis juga merupakan kemunduran kita sebagai sebuah bangsa dari sistem demokrasi liberal yang telah direpresentasikan (dengan opsi 10 perbaikan sistem demokrasi “pilkada langsung,” sebagai salah satu diantaranya bahwa Indonesia masih menuju tingkat kematangan?).
Tidakkah hal ini semacam schizo-space zaman kekinian, dimana loyalitas lama (koalisi “Indonesia Hebat” yang berkomitmen dengan “pilkada langsung” sebagai lanjutan rezim sebelumnya, dengan ideologi “sampai titik darah penghabisan”) “bercampur aduk” dengan loyalitas baru (koalisi “Merah Putih” dengan pilkada melalui DPRD sebagai ideologi pancasila). Yang menurut Friedric Jameson: “tidak ada seorangpun yang meyakini, landasan macam apa yang sedang mereka perjuangkan.! Tujuan apa yang hendak mereka raih. Dalam keadaan semacam ini, ia menyatakan bahwa: “subjek telah mati”.
Kematian yang menurut hemat penulis juga patut dipertanyakan sebagai “schizo-space”, (sebagai salah satu kendala demokrasi Indonesia yang multi bangsa?). Kematian seperti apakah yang rakyat Indonesia inginkan? Atau hanya bagi sebagian tertentu saja subjek itu telah mati? Atau jangan-jangan kematian itu hanyalah seremonial untuk “Dunia Pertama”, sekedar representasi semu sebagai “Dunia Ketiga” seperti yang telah disebut diatas, menjelang masa bergantinya pemerintahan yang baru? Kita tidak benar-benar mati, alias sekedar mati suri misalnya?
Maka inilah Indonesia. Tanah air tercinta yang selalu sanggup mengatasi masalahnya dengan elegan sebagai manusia Indonesia, bahkan terkadang melebihi jamannya.
Pamekasan, 29, September, 2014
Sumber : http://ift.tt/1pDDmb0