Bagaimana Seharusnya Menangani FPI: Sebuah Dialog Rekaan
*Segenap unsur dalam dialog di bawah ini hanya rekaan saja. Ditulis dalam rangka menanggapi aksi demo FPI yang menolak pengangkatan Basuki Tjahaja Purnama sebagai Gubernur DKI Jakarta, di mana FPI menggunakan kekerasan dan senjata, dan akhirnya polisi melakukan pengejaran dan penangkapan, termasuk ke markas FPI di Petamburan. Isi dialog adalah opini pribadi penulis perihal bagaimana seharusnya menangani FPI.
Keterangan: X = Pimpinan Eksekutif; C = Komisaris Polisi; N = Kepala Intelijen
Lokasi: instalasi pemerintah yang tidak diketahui umum
***
X: Saya dengar FPI membuat kerusuhan lagi?
C: Betul pak. Mereka demo menolak pemimpin yang bukan Muslim.
X: Saya minta jawaban konsisten. Demo atau kerusuhan?
C: Awalnya demo pak, tapi kemudian rusuh.
X: Ini sudah yang ke berapa kali?
N: (melihat catatan di iPad) Sudah lebih dari 150 pak. Untuk yang anti-non muslim kira-kira hampir sepertiganya. Termasuk penolakan pembangunan rumah ibadah. Sisanya demo anti maksiat, anti Amerika/Israel, sweeping bulan Ramadhan…
X: Cukup. Total kerugian?
N: Lebih dari 1 trilyun pak. Korban ada lebih dari 2200 luka-luka, tapi yang tewas baru ada 10. Yang kerusuhan kemarin di pihak kita ada 40 yang luka-luka, total kerugian material 1,7 milyar.
-hening sejenak-
X: (menatap C dengan tajam) Jadi…?
C: (berusaha tenang) Kita sudah melakukan tindakan pak, termasuk penahanan beberapa oknum terkait. Kita mengedepankan dialog dan proses lainnya yang bersifat persuasif, untuk menghindari gesekan antar elemen masyarakat…
X: Itu yang saya dengar anda lakukan sejak dulu, dan warga sipil tak berdosa dipukuli, bisnis mereka dihancurkan, etnis dan agama minoritas dilecehkan dan dianiaya, anggaran negara habis untuk memperbaiki infrastruktur yang rusak. Saat anda mengadakan dialog berikutnya dengan pimpinannya, anak buahnya mungkin sedang memenggal kepala seseorang untuk di-upload di YouTube.
C: Untuk yang kemarin, karena aksi mereka sudah menjurus anarkis, sudah kami tindak tegas di lapangan pak.
X: Ya, ya… masih “menjurus” anarkis. Besoknya anda ke markas besar mereka di Petamburan, bawa pasukan dan mobil lapis baja, petentang-petenteng, lalu berdialog lagi dari pagi sampai malam.
C: Ya pak, kami sudah menetapkan beberapa tersangka, termasuk jajaran pimpinan FPI…
X: (tajam) Seharian itu berapa jam yang anda habiskan hanya untuk permisi mau lewat???
C: (menelan ludah) Kondisinya tidak memungkinkan untuk penggerebekan pak. Cukup banyak warga sipil…
X: (membentak) Sekarang anda baru bicara warga sipil!!! Waktu mereka dipukuli dan dibunuh anda ke mana saja???
C: …
-hening sejenak-
X: (menoleh ke N) Berapa tingkat risiko FPI menurut perhitungan anda?
N: Menengah ke tinggi pak.
X: Kenapa bukan tinggi?
N: (melirik ke iPad) Hmm, pertama: mereka tidak pernah membawa senjata api, bahkan senjata tajam juga tidak selalu. Kedua, penyerbuan mereka, walaupun ada struktur komando, tetapi di lapangan relatif sporadis dan cenderung kacau. Ketiga, korban jiwa hanya 10 orang, ada di dua kasus: yang pertama hanya “collateral damage”, yang kedua memang disengaja.
X: Yang penyerbuan masjid Ahmadiyah itu kan?
C: (menyela) Untuk yang kasus Ahmadiyah dari investigasi kami belum dapat dipastikan apakah ada keterlibatan langsung FPI pak…
X: (mengabaikan C, tetap fokus pada N) Laporan anda?
N: Positif FPI pak, walaupun tidak sendirian. Ada afiliasi seperti FUI, FUUI, Komando Jihad… seperti biasanya lah.
-hening sejenak-
X: (membelakangi keduanya, memandang peta Indonesia di dinding) Kalau risiko tinggi itu teroris kan?
N: Betul pak. Teroris dan separatis bersenjata.
X: Secara akumulatif, apakah kerugian akibat FPI dapat disamakan dengan teroris?
N: Betul pak.
X: Apakah ada potensi peningkatan risiko?
N: Mengingat afiliasi dan penyandang dana mereka, sangat mungkin.
-hening sejenak-
X: (memandang keduanya) Saya berpendapat kita perlu melakukan tindakan pencegahan yang sifatnya permanen.
(C dan N saling berpandangan)
C: (hati-hati) Maaf pak, tetapi apakah tidak terlalu berisiko? Dampaknya akan cukup besar di masyarakat, belum lagi mereka sudah terhubung dengan media sosial…
X: Saya tidak peduli dengan opini publik jika harganya adalah nyawa warga negara kita!
N: Saya perlu mengingatkan bahwa hal itu bukannya tidak berbahaya pak. Saya sependapat dengan bapak, tetapi perlu ada strategi khusus…
X: (memotong) Yang sudah saya pikirkan! Jika kita akan mengambil tindakan untuk FPI yang efeknya permanen, maka kita perlu memposisikan FPI sebagai ancaman berisiko tinggi.
C: Maaf pak, apakah tepat kalau saya menyimpulkan, kita tidak akan menunggu sampai FPI berevolusi menjadi teroris?
X: Saya akan mempermudah ini untuk kalian: Yang ingin saya dengar adalah FPI melakukan perlawanan bersenjata yang terstruktur, sistematis dan masif, dan karenanya harus dinetralisir. Kamu mengerti maksud saya kan?
C: Saya…
X: “Terstruktur” maksudnya Habib Rizieq dan konco-konconya yang bersorban tidak bisa lagi lepas tangan karena terbukti secara aktif memerintahkan kroco-kroconya yang berkopiah untuk membunuh. “Sistematis” artinya mereka memang melakukan penyerangan dan pembunuhan berencana. “Masif” artinya tersebar di berbagai wilayah di Indonesia, tidak hanya satu-dua kota saja. Kalau “netralisir” saya tidak perlu kasih tahu lagi kan???
C: …
N: (menoleh ke C) Maksudnya bapak adalah: water cannon, gas air mata, pentungan dan peluru karet sudah tidak cukup lagi.
-hening sejenak-
C: (lirih) Sejauh ini mereka hanya bersenjata batu, pentungan, paling banter juga golok pak…
X: Kamu tahu, saudara-saudaranya si Rizieq di Arab sana awalnya juga cuma pakai batu, kemudian naik tingkat ke bom molotov, lalu ke AK-47, lalu RPG, dan akhirnya sampai bisa punya pesawat tempur curian. Di sini orang-orang kampung di dekat hutan rimba sana juga bisa bikin senjata api rakitan. Cuma modal batu sama pentungan mereka bikin negara rugi 1 trilyun. Tindakan yang dilakukan negara lain untuk saudara-saudaranya Rizieq di sana sudah tepat. Kita tidak bisa menunggu mereka beli senjata api sendiri lalu negara hancur dan anak-anak terlantar merengek-rengek bertanya di mana orang tua mereka, lalu kita cuma mengangkat bahu. Mengerti kamu???
C: Siap pak!!!
N: (mendehem) Bagaimanapun juga pak, kita perlu justifikasi. Misalnya saja, FPI ini cuma berkoar-koar mau jihad dari Myanmar sampai ke Palestina. Nyatanya, ke Bali saja mereka malah ikutan dugem. Jujur saja, mereka sendiri perlu “motivasi lebih” untuk melakukan perlawanan bersenjata secara aktif.
X: Saya mengerti yang kamu maksud. Tapi itu bisa diatur kan?
N: Tentu saja pak. Kalau soal persenjataan mereka, sebetulnya senjata mematikan apapun yang mereka gunakan sudah cukup menjadi justifikasi.
X: Tinggal bagaimana mereka melaksanakannya kan?
N: Betul pak. Ya itu tadi: terstruktur, sistematis dan masif. Nah, itu yang perlu kita atur. Tapi untuk eskalasi senjata, ya kita bisa atur juga.
X: Baiklah. Setelah itu?
N: Setelah itu, tinggal membersihkan sisa-sisanya. Saya jamin jika masih ada kemunculan di sana-sini, apapun tindakan yang kita ambil atas mereka dapat dibenarkan oleh masyarakat.
X: Baik, laksanakan.
C & N: Siap pak!!!
***
- Ditulis di Jakarta, antara 4 dan 5 Oktober 2014-
Sumber : http://ift.tt/1pShlUV
Keterangan: X = Pimpinan Eksekutif; C = Komisaris Polisi; N = Kepala Intelijen
Lokasi: instalasi pemerintah yang tidak diketahui umum
***
X: Saya dengar FPI membuat kerusuhan lagi?
C: Betul pak. Mereka demo menolak pemimpin yang bukan Muslim.
X: Saya minta jawaban konsisten. Demo atau kerusuhan?
C: Awalnya demo pak, tapi kemudian rusuh.
X: Ini sudah yang ke berapa kali?
N: (melihat catatan di iPad) Sudah lebih dari 150 pak. Untuk yang anti-non muslim kira-kira hampir sepertiganya. Termasuk penolakan pembangunan rumah ibadah. Sisanya demo anti maksiat, anti Amerika/Israel, sweeping bulan Ramadhan…
X: Cukup. Total kerugian?
N: Lebih dari 1 trilyun pak. Korban ada lebih dari 2200 luka-luka, tapi yang tewas baru ada 10. Yang kerusuhan kemarin di pihak kita ada 40 yang luka-luka, total kerugian material 1,7 milyar.
-hening sejenak-
X: (menatap C dengan tajam) Jadi…?
C: (berusaha tenang) Kita sudah melakukan tindakan pak, termasuk penahanan beberapa oknum terkait. Kita mengedepankan dialog dan proses lainnya yang bersifat persuasif, untuk menghindari gesekan antar elemen masyarakat…
X: Itu yang saya dengar anda lakukan sejak dulu, dan warga sipil tak berdosa dipukuli, bisnis mereka dihancurkan, etnis dan agama minoritas dilecehkan dan dianiaya, anggaran negara habis untuk memperbaiki infrastruktur yang rusak. Saat anda mengadakan dialog berikutnya dengan pimpinannya, anak buahnya mungkin sedang memenggal kepala seseorang untuk di-upload di YouTube.
C: Untuk yang kemarin, karena aksi mereka sudah menjurus anarkis, sudah kami tindak tegas di lapangan pak.
X: Ya, ya… masih “menjurus” anarkis. Besoknya anda ke markas besar mereka di Petamburan, bawa pasukan dan mobil lapis baja, petentang-petenteng, lalu berdialog lagi dari pagi sampai malam.
C: Ya pak, kami sudah menetapkan beberapa tersangka, termasuk jajaran pimpinan FPI…
X: (tajam) Seharian itu berapa jam yang anda habiskan hanya untuk permisi mau lewat???
C: (menelan ludah) Kondisinya tidak memungkinkan untuk penggerebekan pak. Cukup banyak warga sipil…
X: (membentak) Sekarang anda baru bicara warga sipil!!! Waktu mereka dipukuli dan dibunuh anda ke mana saja???
C: …
-hening sejenak-
X: (menoleh ke N) Berapa tingkat risiko FPI menurut perhitungan anda?
N: Menengah ke tinggi pak.
X: Kenapa bukan tinggi?
N: (melirik ke iPad) Hmm, pertama: mereka tidak pernah membawa senjata api, bahkan senjata tajam juga tidak selalu. Kedua, penyerbuan mereka, walaupun ada struktur komando, tetapi di lapangan relatif sporadis dan cenderung kacau. Ketiga, korban jiwa hanya 10 orang, ada di dua kasus: yang pertama hanya “collateral damage”, yang kedua memang disengaja.
X: Yang penyerbuan masjid Ahmadiyah itu kan?
C: (menyela) Untuk yang kasus Ahmadiyah dari investigasi kami belum dapat dipastikan apakah ada keterlibatan langsung FPI pak…
X: (mengabaikan C, tetap fokus pada N) Laporan anda?
N: Positif FPI pak, walaupun tidak sendirian. Ada afiliasi seperti FUI, FUUI, Komando Jihad… seperti biasanya lah.
-hening sejenak-
X: (membelakangi keduanya, memandang peta Indonesia di dinding) Kalau risiko tinggi itu teroris kan?
N: Betul pak. Teroris dan separatis bersenjata.
X: Secara akumulatif, apakah kerugian akibat FPI dapat disamakan dengan teroris?
N: Betul pak.
X: Apakah ada potensi peningkatan risiko?
N: Mengingat afiliasi dan penyandang dana mereka, sangat mungkin.
-hening sejenak-
X: (memandang keduanya) Saya berpendapat kita perlu melakukan tindakan pencegahan yang sifatnya permanen.
(C dan N saling berpandangan)
C: (hati-hati) Maaf pak, tetapi apakah tidak terlalu berisiko? Dampaknya akan cukup besar di masyarakat, belum lagi mereka sudah terhubung dengan media sosial…
X: Saya tidak peduli dengan opini publik jika harganya adalah nyawa warga negara kita!
N: Saya perlu mengingatkan bahwa hal itu bukannya tidak berbahaya pak. Saya sependapat dengan bapak, tetapi perlu ada strategi khusus…
X: (memotong) Yang sudah saya pikirkan! Jika kita akan mengambil tindakan untuk FPI yang efeknya permanen, maka kita perlu memposisikan FPI sebagai ancaman berisiko tinggi.
C: Maaf pak, apakah tepat kalau saya menyimpulkan, kita tidak akan menunggu sampai FPI berevolusi menjadi teroris?
X: Saya akan mempermudah ini untuk kalian: Yang ingin saya dengar adalah FPI melakukan perlawanan bersenjata yang terstruktur, sistematis dan masif, dan karenanya harus dinetralisir. Kamu mengerti maksud saya kan?
C: Saya…
X: “Terstruktur” maksudnya Habib Rizieq dan konco-konconya yang bersorban tidak bisa lagi lepas tangan karena terbukti secara aktif memerintahkan kroco-kroconya yang berkopiah untuk membunuh. “Sistematis” artinya mereka memang melakukan penyerangan dan pembunuhan berencana. “Masif” artinya tersebar di berbagai wilayah di Indonesia, tidak hanya satu-dua kota saja. Kalau “netralisir” saya tidak perlu kasih tahu lagi kan???
C: …
N: (menoleh ke C) Maksudnya bapak adalah: water cannon, gas air mata, pentungan dan peluru karet sudah tidak cukup lagi.
-hening sejenak-
C: (lirih) Sejauh ini mereka hanya bersenjata batu, pentungan, paling banter juga golok pak…
X: Kamu tahu, saudara-saudaranya si Rizieq di Arab sana awalnya juga cuma pakai batu, kemudian naik tingkat ke bom molotov, lalu ke AK-47, lalu RPG, dan akhirnya sampai bisa punya pesawat tempur curian. Di sini orang-orang kampung di dekat hutan rimba sana juga bisa bikin senjata api rakitan. Cuma modal batu sama pentungan mereka bikin negara rugi 1 trilyun. Tindakan yang dilakukan negara lain untuk saudara-saudaranya Rizieq di sana sudah tepat. Kita tidak bisa menunggu mereka beli senjata api sendiri lalu negara hancur dan anak-anak terlantar merengek-rengek bertanya di mana orang tua mereka, lalu kita cuma mengangkat bahu. Mengerti kamu???
C: Siap pak!!!
N: (mendehem) Bagaimanapun juga pak, kita perlu justifikasi. Misalnya saja, FPI ini cuma berkoar-koar mau jihad dari Myanmar sampai ke Palestina. Nyatanya, ke Bali saja mereka malah ikutan dugem. Jujur saja, mereka sendiri perlu “motivasi lebih” untuk melakukan perlawanan bersenjata secara aktif.
X: Saya mengerti yang kamu maksud. Tapi itu bisa diatur kan?
N: Tentu saja pak. Kalau soal persenjataan mereka, sebetulnya senjata mematikan apapun yang mereka gunakan sudah cukup menjadi justifikasi.
X: Tinggal bagaimana mereka melaksanakannya kan?
N: Betul pak. Ya itu tadi: terstruktur, sistematis dan masif. Nah, itu yang perlu kita atur. Tapi untuk eskalasi senjata, ya kita bisa atur juga.
X: Baiklah. Setelah itu?
N: Setelah itu, tinggal membersihkan sisa-sisanya. Saya jamin jika masih ada kemunculan di sana-sini, apapun tindakan yang kita ambil atas mereka dapat dibenarkan oleh masyarakat.
X: Baik, laksanakan.
C & N: Siap pak!!!
***
- Ditulis di Jakarta, antara 4 dan 5 Oktober 2014-
Sumber : http://ift.tt/1pShlUV