Suara Warga

Sesat Pikir RUU Pilkada

Artikel terkait : Sesat Pikir RUU Pilkada



Mengikuti perkembangan pembahasan RUU Pilkada, benar-benar saya gagal paham. Bisa jadi pengetahuan saya tidak cukup untuk memahami argumentasi yang diajukan oleh banyak pihak. Penggunaan logika dan dalil pembenar yang lain, terasa janggal.

Setahu saya, topik yang sedang diperbincangkan oleh banyak pihak saat ini menyangkut pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU). DPR RI yang memiliki kewenangan (hak legislasi) membentuk undang-undang, tentulah harus bersandar pada ketentuan tata cara pembentukan undang-undang yang masuk dalam Prolegnas. Dalam kaitan tersebut, aspek hukum yang seharusnya dikedepankan. Bukan saja menjamin adanya suatu kepastian tetapi juga menempatkan hukum sebagai supreme diatas segalanya.

Namun argumentasi yang diajukan, sarat dengan alasan politik bahkan alasan ekonomis. Hanya sebagian kecil yang memberi argumentasi hukum dalam rangka pembentukan undang-undang. Inilah yang membuat saya gagal paham. Apakah memang negara ini sudah menjadikan politik sebagai panglima, dan pertimbangan ekonomi menjadi landasan pembentukan undang-undang dengan mengesampingkan supremasi hukum.

Salah satu satunya alasan Pilkada langsung yang berbiaya tinggi (pertimbangan ekonomis). Setahu saya, rumusan pertimbangan ekonomis tidak pernah ada dan masuk dalam naskah akademik sebagai dasar usulan perubahan undang-undang. Di semua usulan perubahan undang-undang hanya ada empat unsur yang menjadi pertimbangan, yakni unsur yuridis, filosofis, sosiologis dan psiko-politik. Dan kesemuanya tetap memegang pada hukum sebagai panglima, khususnya memperhatikan konstitusi sebagai ground norm .

Sepanjang konstitusi (baca: UUD NRI 1945) tidak memberi landasan norma, apapun alasan dan argumentasi yang diajukan harus dikesempingkan. Karena alasan dan argumentasi dapat dibuat sesuai selera, harapan, kepentingan subyektif masing-masing orang atau kelompok. Inilah konsekwensi dari negara berdasarkan hukum dan berlandaskan pada supremasi hukum. Jika tidak ada ground norm, maka pembentukan undang-undang dapat dibuat sesuka hati sesuai selera dan kepentingan masing-masing.

Apakah dalam penerapan undang-undang akan menimbulkan efek negatif, sepanjang konstitusi memberi landasan norma, suka atau tidak suka, tetap harus dijalankan. Sementara apa yang kita perhatikan dalam alasan dan argumentasi perubahan sistem dan mekanisme pemilihan kepala daerah, efek negatif yang dijadikan dalil, dalam tataran pelaksaan yang bersifat elementer. Sehingga revisi undang-undang pun dalam kerangka memperbaiki teknis pelaksanaan yang bersifat elementer. Bukan mengubah sistem yang mendapat justifikasi landasan norma konstitusi.

Pilkada langsung yang memakan biaya tinggi, maraknya praktek politik uang, banyaknya para kepala daerah yang korupsi, timbulnya konflik horizontal, dan lain sebagainya bukanlah alasan yuridis yang menjadi dasar usulan perubahan atau pembentukan undang-undang. Dimana perubahan undang-undang menyentuh pada sistem dan pelimpahan kewenangan hak fundamental rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi.

Sebagimana tulisan saya terdahulu Pilkada lewat DPRD, Inkonstitusional, usulan sebagian besar fraksi di DPR RI, telah melanggar norma konstitusi. Yakni, adanya pelimpahan kewenangan dari hak rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi, dialihkan kepada anggota DPRD. Pengalihan kewenangan ini dapat dibenarkan, jika UUD 1945 memberi landasan norma. Dengan kata lain, harus dilakukan terlebih dahulu amandemen UUD 1945 untuk memasukan pasal pelimpahan kewenangan hak rakyat kepada DPRD. Sehingga UU Pilkada yang baru memiliki dasar yuridis yang sah secara konstitusi.

Pelimpahan kewenangan hak fundamental rakyat (pasal 1 ayat 2 UUD NRI 1945), pernah terjadi. Saat Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh MPR. Sebagaimana terjadi pada masa pemerintahan Presiden Soeharto hingga Presiden Megawati Soekarnoputri. Kewenangan MPR ini sah menurut konstitusi (pasal 3 ayat (2) UUD 1945). Namun saat MPR melakukan amandemen ketiga pasal 3 ayat (2) dan mencabut pasal tersebut tersebut, maka tidak ada lagi kewenangan MPR untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden.



Pelimpahan kewenangan dari rakyat kepada DPRD untuk memilih kepala daerah, harus bersandar pada norma konstitusi. Sebagaimana disebutkan dalam pasal 1 ayat 2 UUD 1945 “ Kedaulatan di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar ”. Pelimpahan kewenangan ini tidak bisa hanya berdasarkan ketentuan undang-undang semata. Karena konstitusi sudah menegaskan bahwa pelaksaan kedaulatan rakyat harus berdasarkan undang-undang dasar.

Dasar hukum Pilkada langsung merujuk pada pasal 1 ayat 2 UUD NRI 1945, sebagai perwujudan kedaulatan tertinggi di tangan rakyat. Sebaliknya, mekanisme pemilihan kepala daerah oleh anggota DPRD, tidak ada norma konstitusi yang menyatakan secara eksplisit.

Lalu ada pula pihak yang menyertakan dalil sila ke 4 Pancasila. Sebagai dasar pembenar makna “perwakilan” dalam pengambilan keputusan. Semua orang yang pernah mendapat pelajaran ilmu hukum, pastilah mengenal Staatsfundamentalnorm , atau norma fundamental negara. Norma ini tidak merujuk pada satu peristiwa politik an sich, tetapi mencakup seluruh perikehidupan berbangsa bernegara. Menjadi aneh, jika esensi dari sila ke 4 Pancasila hanya diatributkan pada peristiwa Pilkada. Jika demikian, sila ke berapakah dari Pancasila untuk dijadikan dasar pelaksaaan peristiwa politik seperti Pilpres, pemilihan DPR, DPD, DPPRD sampai pemilihan Kepala Desa yang dipilih secara langsung tanpa melalui ”perwakilan”. Bisa jadi para ahli hukum seperti Notonagoro, Hans Kelsen dan Hans Nawiasky akan tertawa terbahak-bahak, membaca pernyataan ini. Dimana anggota DPR RI yang katanya hebat tidak bisa membedakan antara statsfundamentalnorm dengan ground norm .

Pada titik inilah saya menjadi gagal paham. Atau memang negara ini akan dikelola dengan sesuka hati.



Salam Kompasiana.




Sumber : http://ift.tt/YsoV3f

Artikel Kompasiana Lainnya :

Copyright © 2015 Kompasiana | Design by Bamz