Suara Warga

Ramalan Jayabaya, Letusan Slamet, Akhir SBY, UU Pilkada dan Syarat Jadi Presiden

Artikel terkait : Ramalan Jayabaya, Letusan Slamet, Akhir SBY, UU Pilkada dan Syarat Jadi Presiden

Letusan Gunung Slamet membawa dampak luar biasa. Salah satunya ditandai oleh faktor berkumpulnya koalisi permanen yang tampak bergerak melawan kehendak rakyat. Terkait Gunung Slamet ini, tak hanya dunia mistis, bahkan Jayabaya pun telah meramalkan kejadian terkait keberadaan gunung Slamet yang pentin dalam dunia mistis kekuasaan dan kesejahteraan di Jawa. Bahkan letusan Gunung Slamet adalah tanda kemarahan dunia mistis di Jawa, yang pada akhirnya terkait dengan dan menjadi tanda crash landing SBY sebagai presiden.

Ramalan Jayabaya yang diuraikan oleh Ki Sabdopanditoratu terkait dengan letusan gunung Slamet benar-benar memengaruhi kehidupan penguasa Indonesia. Bahwa letusan gunung Slamet - dinamai gunung Slamet karena G Slamet adalah penjaga semua gunung yakni Merbabu, Merapi, Sindoro dan Sumbing. Keselamatan gunung-gunung itu dijaga oleh Gunung Slamet. Kini Gunung Slamat meradang dan meletus: keluarlah Romo Bebek.

Romo Bebek keluar ditandai dengan wujud dentuman keras, asap melingkar dengan ekor bebek. Keluarnya Romo Bebek telah disebutkan oleh Jayabaya dan dipercayai oleh rakyat bahwa akan ada goro-goro yakni berkumpulnya kelompok manusia hitam yang aluamah dan golongan putih yang berjuang untuk rakyat.

Menurut Ki Sabdopanditoratu, Jayabaya telah menggariskan bahwa jika Romo Bebek sebagai penguasa Gunung Slamet karena menjadi klangenan atau peliharaan Kyai Slamet, maka itu tanda agar rakyat dan penguasa saling asah-asih dan asuh. Jika Romo Bebek sudah keluar dan ancaman terbelahnya pulau Jawa yang dimaknai perpecahan politik yang mengutup antara koalisi permanen dan pemerintahan Jokowi-JK, maka itu pertanda bahwa rakyat harus bersatu menghentikan kehendak golongan hitam.

Maka secara kebetulan, Gunung Slamet mengeluarkan asap dan Romo Bebek, dan koalisi permanen mengeluarkan UU MD3 dan UU Pilkada. UU Pilkada pun disikapi oleh SBY untuk bergabung dengan kelompok hitam yang dikuasai oleh para penguasa hitam dan mafia seperti (Jero Wacik mafia migas, Suryadharma Ali mafia haji, Zulkarnaen Djabbar mafia Al Qur’an, partai Luthfi Hasan Ishaaq mafia daging, Hatta Rajasa terkait mafia kereta bekas dan mafia migas).

Dukungan SBY untuk koalisi permanen terkait UU Pilkada ini menggenapi tanda atau jangka atau ramalan Jayabaya terkait Gunung Slamet. Mau tak mau pengaruh mistis kuat itu memengaruhi secara mistis kecenderungan SBY untuk mendukung koalisi permanen baik disadari maupun tak disadari: itu keniscayaan mistis.

Lebih jauh lagi, keluarnya asap Romo Bebek dan keluarnya UU MD3 dan UU Pilkada mau tak mau akan membuat sejarah terulang: crash landing presiden RI yakni SBY. Dengan demikian hampir tak akan pernah ada presiden yang smooth and safe landing. Bahkan seorang Megawati pun sebenarnya mengalami crash landing karena ketika Megawati mundur ditandai dengan tidak ada serah terima jabatan presiden dari Mega ke SBY. Terdapat luka di jiwa Mega dan SBY yang menganga dan bertahan sampai sekarang. Kini, setelah berkuasa sampai 10 tahun SBY tampak sekali akan mengalami crash landing ketika lengser. Apa yang kurang dalam diri presiden dan cara mengatasi agar di kemudian hari lengsernya seorang presiden bisa safe landing?

Semua persyaratan sesuai dengan UUD sangat gampang dipenuhi. Namun melihat gelagat pilpres 2014 yanng meloloskan Prabowo maka para partai dan KPU di kemudian hari harus menyeleksi dengan teliti para calon presiden RI.

Harapan sesungguhnya dari seorang presiden RI adalah sehat tubuh, sehat jiwa dan sehat secara sosial agar mampu memimpin Indonesia. Indonesia membutuhkan seorang presiden yang mau berkorban dan berjuang untuk bangsa dan negara di atas kepentingan keluarga, golongan, partai dan kroni. Untuk itu maka diperlukan pemeriksaan menyeluruh terkait semua hal yang berhubungan dengan calon presiden.

Menurut kepercayaan Jawa, seorang pemimpin harus memiliki persyaratan khusus. Dalam khasanah budaya Jawa, seorang lelaki sebagai pemimpin harus memiliki (1) garwo alias istri, (2) karyo yakni pekerjaan, (3) wismo artinya rumah, (4) kukilo maknanya hewan peliharaan, (5) turanggo artinya kuda atau kendaraan, (6) kamulyo berarti kemuliaan, dan (7) budoyo artinya berbudaya dan sopan santun.

Maka dalam persyaratan calon presiden perly Curriculum Vitae, aneka surat dan berbagai daftar diisi mulai nama, status sipil, nama istri, nama orang tua, nama anak, agama, kewarganegaraan, kesenangan atau hobi, email, dst yang semuanya memiliki makna.

Dari nama, para dokter - kalau perlu menyewa ahli primbon atau paranormal - harus memahami arti nama seorang calon presiden, agar diketahui akibat dan sebab nama itu melekat. Nama menimbulkan ‘impuls’ positif dan negative secara kejiwaan. Misalnya nama Bowo dengan Pramuka jelas sekali bedanya. Bowo berarti gagah berkarakter, Pramuka bermakna sebelum muka alias tidak memiliki muka. Maka istilah Praja Muda Karana yang disingkat pramuka menjadi organisasi kehilangan muka dan tenggelam menjadi organisasi yang tak menari. Seharusnya agar popular dan muda serta segar akronim pramuka adalah pradara artinya gadis muda. He he he.

Status sipil misalnya menikah, belum menikah, bercerai, pisah ranjang, tidak menikah, duda, janda, gadis, juga tentu akan memengaruhi sikap dan tingkah laku. Misalnya seorang duda atau janda tentu memiliki akibat yang berbeda secara kejiwaan.

Status sebagai seorang janda atau duda jelas memiliki kehidupan sosial dan pergaulan yang berbeda dengan pria atau wanita yang menikah. Seorang duda atau janda akan gampang keluyuran ke Thailand dan bahkan memiliki pacar di mana-mana. Ini jelas akan berpengaruh kepada kepribadiannya.

Status memiliki anak misalnya. Nah, dalam hal anak pun, seorang ayah atau ibu akan terpengaruh oleh anak-anaknya. Seorang ayah atau ibu yang memiliki anak tidak sehat secara jiwa, raga, atau kesehatan seksual, akan sangat memengaruhi orang tua dan bisa berakibat baik dan buruk tergantung kekuatan mental dan sehatnya jiwa. Maka kesehatan jiwa menjadi penting.

Demikian pula garwo alias istri atau suami pun akan memengaruhi emosi seseorang. Seorang yang bermasalah dengan istri atau suami, menurut Ki Sabdopanditoratu, jelas akan menampakkan sikap yang tidak stabil dan akan membahayakan bangsa dan negara ketika memimpin. Contoh ini muncul dalam diri Prabowo misalnya yang sampai detik ini masih tidak mengakui kemenangan Jokowi sebagai presiden terpilih. Istilah anak muda tidak mau move on. Kenapa? Yak arena kestabilan emosi yang tak dimiliki oleh Prabowo terkait dirinya yang sorangan wae. Apalagi rujuknya dengan Titiek tak terjadi.

Terkait pemenuhan syarat sebagai capres, KPU dengan ratusan dokter, gagal menentukan kondisi kejiwaan Prabowo. Mereka gagal mengenali dan mengidentifikasi karakter, sikap, sifat dan kecenderungan emosi dan kejiwaan Prabowo. Karakter Prabowo yang meledak-ledak bukanlah karakter orang biasa yang emosional seperti misalnya karakter Hugo Chavez, atau semangat orasi Bung Karno, atau karakter tegas Bung Tomo, atau bahkan yang kekinian Ahok.

Karakter emosional Prabowo adalah karakter tentang kejiwaan yang mirip dimiliki oleh Rachmawati Sukarnoputri. Juga karakter yang ditampilkan oleh Muhammad Taufik, Fadli Zon, Haji Lulung, Tantowi Yahya, dan yang tak kalah hebohnya adalah Nurul Arifin.

Terkait letusan Gunung Slamet, ternyata terkait dengan ramalan Jayabaya yang diterjemahkan dan diuraikan oleh Ki Sabdopanditoratu. Bahwa keluarnya Romo Bebek sebagai peliharaan Kyai Slamet yang menjaga Gunung Slamet atas perintah Nyi Roro Kidul, maka itu menjadi pertanda lahirnya kelompok hitam dan putih yang diwakili oleh koalisi permanen dan golongan putih yang diwakili kelompok Jokowi-JK.

Maka, tanda letusan Gunung Slamet pun menjadi pertanda dan memaksa penguasa yang akan lengser yakni SBY untuk memihak antara koalisi permanen yang anti demokrasi atau kelompok pro-demokrasi. Karena pengaruh mistis kutukan Jayabaya terkait Gunung Slamet, maka tanpa sadar SBY dipastikan akan memilhak koalisi permanen yang mendukung lahirnya UU Pilkada.

Jadi letusan Gunung Slamet, lengsernya SBY, kegagalan Prabowo menjadi presiden, kegagalan KPU dan dokter memeriksa perilaku kejiwaan Prabowo, terbentuknya koalisi permanen, kemenangan Jokowi, lahirnya UU MD3 dan UU Pilkada merupakan rangkaian penggenapan ramalan Jayabaya seperti diungkapkan oleh Ki Sabdopandirtoratu. Ke depannya, Indonesia dan KPU harus menyeleksi capres yang memiliki kesehatan mental, jiwa, dan emosi agar Indonesia memiliki presiden yang benar baik secara mistis atau berdasarkan UUD dan UU - kalau perlu menyewa paranormal atau ahli nujum dan ahli primbon…hehehhe.

Salam bahagia ala saya.




Sumber : http://ift.tt/XfnB2v

Artikel Kompasiana Lainnya :

Copyright © 2015 Kompasiana | Design by Bamz