Suara Warga

Pilkada Langsung Atau Tidak?? SAMA SAJA

Artikel terkait : Pilkada Langsung Atau Tidak?? SAMA SAJA

Isu yang menghangat akhir-akhir ini adalah mengenai pemilihan kepala daerah atau pilkada, apakah akan dilaksanakan secara langsung atau tidak langsung. Pemilihan secara langsung berarti langsung dipilih oleh rakyat, sedangkan tidak langsung berarti dipilih oleh DPRD (yang dianggap sebagai wakil rakyat, karena dipilih oleh rakyat). Hal ini disebabkan oleh keinginan pemerintahan SBY untuk mengubah RUU Pilkada yang sebelumnya Pilkada langsung menjadi tidak langsung. Ada dua kubu di parlemen yang menolak dan mendukung RUU baru tersebut. Kubu yang memilih menolak RUU Pilkada tidak langsung adalah kubu PDIP yang didukung oleh Hanura, Nasdem dan PKB. Sedangkan yang mendukung adalah kubu Demokrat, Gerindra, PKS, PPP, dan PAN yang notabene merupakan anggota dari koalisi merah putih (yang kemarin mendukung Prabowo dalam pilpres).

Ada beberapa hal sebenarnya yang menjadi perhatian tentang perlu dilakukannnya Pilkada langsung atau Pilkada tidak langsung. Pertama, sampai saat ini ada 321 kepala daerah yang terjerat kasus korupsi. 321 kepala daerah tersebut lebih dari 50% dari 524 kepala daerah yang ada di Indonesia yang merupakan produk dari pilkada langsung. Hal ini menunjukkan bahwa kepala daerah yang dipilih secara langsung oleh rakyat ternyata tidak melaksanakan tugasnya dengan baik bahkan melakukan tindakan korupsi. Hal ini patut diduga karena upaya kepala daerah tersebut untuk mengembalikan modal saat kampanye pemilihan kepala daerah sebelumnya. Ini tidak terlepas dari mahalnya biaya untuk mencalonkan diri menjadi kepala daerah.

Yang kedua, kepala daerah yang terpilih secara langsung seringkali tidak bisa berkordinasi dengan atasannya ataupun bawahannya. Hal ini disebabkan ego “saya dipilih oleh rakyat, kamu gak punya hak ngatur-ngatur saya” Sebagai contoh, seringkali kebijakan provinsi berbeda dengan kebijakan kabupaten atau kota. Masing-masing gubernur, bupati/ walikota seringkali tidak mau mengalah dan merasa kebijakannyalah yang paling benar. Kepala-kepala daerah ini menganggap mereka memilki back-up dari masyarakat (karena merasa terpilih langsung), sehingga seringkali proyek-proyek untuk kepentingan masyarakat sering tidak terealisasi, karena masing-masing mengira kebijakannya pro rakyat. Selain itu, ada kecenderungan antar kepala daerah saling menyalahkan kebijakan yang diambil (seperti Bupati menyalahkan gubernur ataupun sebaliknya).

Yang ketiga, Pemilukada yang dilakukan secara langsung seringkali berujung pada kericuhan antar pendukung calon pasangan kepala daerah. Hal ini karena kebanyakan calon kepala daerah hanya memiliki mental siap menang namun tidak siap kalah. Hal ini sangat berbahaya untuk perkembangan politik di Indonesia. Kisruh hozontal antar pendukung tidak baik bagi kondisi perekonomian dan juga aspek kehidupan lainnya. Hal ini bisa dicegah dengan Pilkada tidak langsung.

Karena tiga hal diatas itulah, saya mendukung Pilkada dilakukan secara tidak langsung alias dilakukan oleh DPRD. Mungkin banyak yang menganggap hal ini merupakan kemunduran bagi demokrasi, tapi saya menganggap bahwa DPRDpun sudah mewakili rakyat yang tentunya akan memilih pimpinan daerah yang akan menjalankan program-program yang pro rakyat. Tinggal pintar-pintarnya rakyat saja untuk memilih anggota DPRD yang bagus. Mengenai kemungkinan adanya kongkalikong di DPRD, kita hanya bisa berharap KPK akan lebih ganas dalam menghabisi tikus-tikus koruptor yang ada dalam DPRD. Karena ternyata kepala daerah yang dipilih rakyatpun ternyata banyak yang terkena kasus korupsi juga. mengenai apakah RUU tersebut jadi atau tidak, hal ini tidak akan terlalu berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat, karena pilkada langsung atau tidak itu sama saja.




Sumber : http://ift.tt/WGOTOG

Artikel Kompasiana Lainnya :

Copyright © 2015 Kompasiana | Design by Bamz