Suara Warga

Penghapusan Pilkada Langsung Adalah Kebodohan dan Kebohongan Permanen

Artikel terkait : Penghapusan Pilkada Langsung Adalah Kebodohan dan Kebohongan Permanen

14104258501259737198

Setelah kekalahan Prabowo-Hatta yang dijagokan oleh Koalisi Merah-Putih dalam Pemilihan Presiden, prilaku para elite yang tergabung didalamnya semakin tidak bisa dinalar dengan akal sehat. Hal yang terbaru adalah usulan dari Partai Politik yang tergabung dalam Koalisi Merah-Putih untuk Pilkada tidak lagi dilipih langsung oleh rakyat, melainkan mengembalikan ke zaman otoritarian Orde Baru yakni melalui DPRD.

Dua alasan utama yang sering di dengungkan dan diulang-ulang seperti kaset rusak adalah biaya yang mahal, konon anggaran selama ini yang dipakai untuk pelaksanaan Pilkada mencapai 41 Triliun, hingga alasan bahwa Pilkada langsung kerap kali memancing kerusuhan sosial antar pendukung.

Jika hanya dipahami tekstual dari pernyataan alasan tersebut diatas, hal itu sangat mengerikan. Namun jika di telaah lebih jauh, alasan yang di gunakan oleh para elite politik yang tergabung dalam Koalisi Merah-Putih ini menunjukan suatu pembodohan dan pembohongan bagi masyarakat Indonesia.

Lha kok bisa?!?, mari kita coba kupas mengapa artikel ini menyatakan pembodohan dan pembohongan publik yang sistematis.

Pilkada langsung menghabiskan anggaran negara sebesar 41 triliun rupih.

Jika kita menggunakan mentode pilkada langsung seperti sekarang ini, jelas hal itu wajar jika negara menghabiskan anggaran sebesar 41 triliun rupiah. Bagimana tidak menghabiskan anggaran sebesar itu, lha jika dihitung-hitung negara ini hampir setiap satu minggu melaksanakan pilkada.

Bahkan berdasar fakta dan data KPU sepanjang tahun 2010 terdapat 227 pilkada di seluruh Indonesia, ini berarti hampir setiap hari ada pemilihan daerah.

Namun jika di cermati, besarnya anggaran pilkada selama ini yang mencapai puluhan triliun rupiah harusnya bukanlah menjadi alasan strategis bagi para elite untuk menghapus pilkada langsung. Besaran biaya tersebut disebabkan tidak dilangsungkanya pilkada serentak, sehingga memunculkan biaya tinggi.

Padahal hal ini bisa dirubah dengan menerapkan atau mengeluarkan regulasi pilkada Gubernur/Bupati/Walikota dilaksanakan serentak, sehingga dapat meminimalisir biaya tinggi. Berapa besaran biaya yang dibutuhkan jika pilkada serentak dilaksanakan?, jika hal itu ditanyakan yang bisa menjawab adalah KPU dan Kementerian Keuangan RI. Tapi yang jelas tidak akan menghabiskan anggaran sebesar 41 Triliun rupiah.

Jadi, alasan yang dipergunakan kaum politisi sakit hati bahwa penghapusan pilkada langsung agar bisa memperkecil besaran anggaran biaya merupakan alasan bodoh dan penuh kemunafikan yang ditujukan kepada masyarakat Indonesia, karena telah memberangus hak warga negara untuk menentukan pemimpinnya sesuai dengan kebutuhan mereka.

Pilkada Langsung Memicu Kerusuhan sosial

Selain alasan besarnya biaya yang dikeluarkan untuk pelaksanaan Pilkada selama ini, alasan yang lebih mengerikan dari pernyataan para politisi sakit hati ini adalah “Pilkada langsung rentan akan konflik sosial antar para pendukung.”

Benarkah alasan tersebut merupakan potret masyarakat Indonesia yang seolah-olah memiliki sifat menang sendiri, tidak mau kalah, dan “pokoke menang-kalah tetap tawur”?.

Pertanyaan diatas ternyata terbantahkan, karena adanya kerusuhan disebabkan oleh provokasi para elite politik yang kalah dalam pemilihan namun tidak bisa menerima kekalahan meski semua jalur hukum sudah ditempuh.

Sehingga jika ada yang mengatakan bahwa Pilkada langsung rentan akan kerusuhan sosial, adalah tidak benar. Yang benar adalah kerusuhan sosial yang terjadi setelah Pilkada langsung pemicunya adalah elite politik yang sakit hati sekaligus sudah mengeluarkan biaya banyak untuk ambisi menjadi Kepala Daerah dan sekaligus alasan kerusuhan sosial merupakan hal yang merendahkan, membodohi dan membohongi rakyat Indonesia

Oleh karenanya, apapun alasan para politisi sakit hati yang kukuh mengusulkan Kepala Daerah dipilih oleh DPRD dan tidak lagi dipilih oleh rakyat, pada dasarnya alasan utama mereka adalah nafsu kekuasaan belaka tanpa berpikir untuk kepentingan rakyat dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sehingga para politisi sakit hati ini pun rela melakukan pembodohan dan pembohongan kepada rakyat Indonesia.

Salam

@wilfun_a




Sumber : http://ift.tt/1sqgAbc

Artikel Kompasiana Lainnya :

Copyright © 2015 Kompasiana | Design by Bamz