Mengkorupsi Jatah Korupsi Rakyat
Dalam berbagai hiruk pikuk politik, terutama yang berhubungan dengan pemilihan kepala daerah atau anggota legislative, saya sering menjumpai peristiwa-peristiwa yang menurut saya sudah pada level memprihatinkan.
Sangat sulit untuk dipungkiri bahwa praktek politik uang sudah sangat lumrah terjadi ditengah-tengah masyarakat. Para calon wakil rakyat, calon kepala daerah hingga seorang calon kepala desa berebut simpati rakyat dengan menggunakan uang.
Saya sendiri tidak pernah sampai ditawari atau diberi uang secara langsung oleh para calon atau tim suksesnya, akan tetapi dalam obrolan-obrolan di warung-warung kopi dan berbagai tempat berkumpul lainnya menggambarkan bahwa perilaku bagi-bagi duit ini terjadi dengan sangat terbuka.
Semakin seringnya ini terjadi hingga membuat perilaku kotor dalam demokrasi ini kemudian menjadi lumrah. Kegiatan yang sejatinya mencoreng demokrasi ini kemudian dikategorikan lazim oleh sebagian besar orang.
Secara pengetahuan agama saya termasuk kategori fakir ilmu, meski begitu saya sulit mengatakan bahwa menerima dan menggunakan uang dari calon pemimpin tersebut termasuk halal. Tetapi yang terjadi dimasyarakat, perilaku ini dicarikan pembenaran-pembenaran untuk bisa ‘menenangkan’ hati mereka bahwa uang yang mereka terima itu tidak haram untuk dibelanjakan.
Ada beberapa ungkapan yang mereka berikan untuk kemudian menjadikan permainan money politic ini bukan hal buruk. Beberapa kali saya mendengar istilah “sangu” (uang saku) untuk pemberian calon kepala desa kepada calon pemilihnya. “Ini bukan suap, Mas. Ini kan sangu dari calon agar kita mau pergi ke TPS,” begitu kira-kira kalimat yang pernah saya dengan dari seorang warga.
Beberapa alasan lain juga sering diungkapkan sebagai pembenaran. “Kalo saya tidak terima uang, mending saya kerja, Mas. Ini kan sebagai pengganti sehari saya gak kerja” begitu kalimat yang pernah diutarakan kepada saya oleh seorang buruh tani di desa.
Kadang juga ada yang menggunakan pendekatan bahwa para calon itu ketika jadi sudah pasti akan melupakan rakyat, sehingga mumpung mereka butuh rakyat, kita peras habis mereka. Ada Caleg yang kemudian harus memperbaiki jalan desa, gapura dan beberapa fasilitas umum di sebuah desa sebagai bentuk “perjanjian” bahwa nanti penduduk di desa itu mayoritas akan memilih Caleg tersebut.
“kontrak-kontrak” politik semacam itu saat ini lazim terjadi di desa-desa dan juga perkotaan. Praktek money politic ini sudah begitu sering terjadi sehingga masuk dalam kategori wajar, bahwa ada yang mengkategorikan harus seperti itu jika ingin dipilih oleh rakyat.
Saya termasuk seseorang yang tak berdaya yang mungkin juga tidak bersedia untuk berbuat apapun untuk merubah ini semua. Saya meyakini bahwa ini adalah salah, saya percaya pahwa perbuatan ini bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi dan juga menyeleweng dalam tata nilai keagamaan. Jika memang ini sebuah peristiwa pembusukan demokrasi dan sebuah keruntuhan nilai-nilai kehidupan, maka saya termasuk yang punya dosa besar karena tidak mampu serta tidak mau berusaha untuk merubahnya.
Akan tetapi, saya bersyukur bahwa akhir-akhir ini ada wacana bahwa sebagian dari kekacauan ini akan berakhir karena pemilihan kepala daerah akan dipilih oleh anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Sepertinya anggota DPRD tidak mau peritiwa yang mungkin masuk dalam kategori dosa ini menjalar ke masyarakat, sebagai bentuk penyelamatan mereka terhadap akhlak rakyat, mereka bersedia menanggung dosanya dengan jalan pemilihan itu diwakilkan kepada mereka saja. Atau malah ini juga bisa dipandang sebagai bentuk korupsi level super, dimana mereka pun sekarang mencoba mengkorupsi jatah yang seharusnya “dikorupsi” rakyat kecil?
Sumber : http://ift.tt/1sqgBMe
Sangat sulit untuk dipungkiri bahwa praktek politik uang sudah sangat lumrah terjadi ditengah-tengah masyarakat. Para calon wakil rakyat, calon kepala daerah hingga seorang calon kepala desa berebut simpati rakyat dengan menggunakan uang.
Saya sendiri tidak pernah sampai ditawari atau diberi uang secara langsung oleh para calon atau tim suksesnya, akan tetapi dalam obrolan-obrolan di warung-warung kopi dan berbagai tempat berkumpul lainnya menggambarkan bahwa perilaku bagi-bagi duit ini terjadi dengan sangat terbuka.
Semakin seringnya ini terjadi hingga membuat perilaku kotor dalam demokrasi ini kemudian menjadi lumrah. Kegiatan yang sejatinya mencoreng demokrasi ini kemudian dikategorikan lazim oleh sebagian besar orang.
Secara pengetahuan agama saya termasuk kategori fakir ilmu, meski begitu saya sulit mengatakan bahwa menerima dan menggunakan uang dari calon pemimpin tersebut termasuk halal. Tetapi yang terjadi dimasyarakat, perilaku ini dicarikan pembenaran-pembenaran untuk bisa ‘menenangkan’ hati mereka bahwa uang yang mereka terima itu tidak haram untuk dibelanjakan.
Ada beberapa ungkapan yang mereka berikan untuk kemudian menjadikan permainan money politic ini bukan hal buruk. Beberapa kali saya mendengar istilah “sangu” (uang saku) untuk pemberian calon kepala desa kepada calon pemilihnya. “Ini bukan suap, Mas. Ini kan sangu dari calon agar kita mau pergi ke TPS,” begitu kira-kira kalimat yang pernah saya dengan dari seorang warga.
Beberapa alasan lain juga sering diungkapkan sebagai pembenaran. “Kalo saya tidak terima uang, mending saya kerja, Mas. Ini kan sebagai pengganti sehari saya gak kerja” begitu kalimat yang pernah diutarakan kepada saya oleh seorang buruh tani di desa.
Kadang juga ada yang menggunakan pendekatan bahwa para calon itu ketika jadi sudah pasti akan melupakan rakyat, sehingga mumpung mereka butuh rakyat, kita peras habis mereka. Ada Caleg yang kemudian harus memperbaiki jalan desa, gapura dan beberapa fasilitas umum di sebuah desa sebagai bentuk “perjanjian” bahwa nanti penduduk di desa itu mayoritas akan memilih Caleg tersebut.
“kontrak-kontrak” politik semacam itu saat ini lazim terjadi di desa-desa dan juga perkotaan. Praktek money politic ini sudah begitu sering terjadi sehingga masuk dalam kategori wajar, bahwa ada yang mengkategorikan harus seperti itu jika ingin dipilih oleh rakyat.
Saya termasuk seseorang yang tak berdaya yang mungkin juga tidak bersedia untuk berbuat apapun untuk merubah ini semua. Saya meyakini bahwa ini adalah salah, saya percaya pahwa perbuatan ini bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi dan juga menyeleweng dalam tata nilai keagamaan. Jika memang ini sebuah peristiwa pembusukan demokrasi dan sebuah keruntuhan nilai-nilai kehidupan, maka saya termasuk yang punya dosa besar karena tidak mampu serta tidak mau berusaha untuk merubahnya.
Akan tetapi, saya bersyukur bahwa akhir-akhir ini ada wacana bahwa sebagian dari kekacauan ini akan berakhir karena pemilihan kepala daerah akan dipilih oleh anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Sepertinya anggota DPRD tidak mau peritiwa yang mungkin masuk dalam kategori dosa ini menjalar ke masyarakat, sebagai bentuk penyelamatan mereka terhadap akhlak rakyat, mereka bersedia menanggung dosanya dengan jalan pemilihan itu diwakilkan kepada mereka saja. Atau malah ini juga bisa dipandang sebagai bentuk korupsi level super, dimana mereka pun sekarang mencoba mengkorupsi jatah yang seharusnya “dikorupsi” rakyat kecil?
Sumber : http://ift.tt/1sqgBMe