Suara Warga

OPM Sayap Militer Dalam Paradoks Si Vis Pacem, Para Bellum

Artikel terkait : OPM Sayap Militer Dalam Paradoks Si Vis Pacem, Para Bellum



14104187711897107247 Ilustrasi (Sumber : http://ift.tt/WYfbMy)



Si Vis Pacem, Para Bellum mungkin merupakan salah satu adegium peperangan yang paling terkenal. Adegium berbahasa latin yang berarti “If you want peace, prepare for war” ini dipopulerkan oleh penulis militer asal Romawi, Publius Flavius Vegetius Renatus. Adegium ini terlihat begitu paradoks, bagaimana mungkin perang bisa menjamin terjadinya kedamaian?

Inti dari adegium Si Vis Pacem, Para Bellum adalah Balance Of Power diantara pihak-pihak yang berkonflik. Selama pihak-pihak yang berkonflik memiliki kekuatan yang berimbang atau “terlihat” memiliki kekuatan yang berimbang, maka peperangan tidak akan terjadi. Contoh yang paling mudah untuk menjelaskan kalimat diatas adalah pada masa sebelum perang dunia II. Jerman, sebagai pihak yang kalah dalam perang dunia I, dibebani hutang untuk membayar semua kerugian akibat perang dunia I, selain itu angkatan perang Jerman juga hanya dibatasi kurang dari 500.000 personil saja. Kebijakan yang sangat merugikan Jerman ini disebut sebagai kebijakan appeasement (penenangan) yang diambil oleh Perdana Menteri Inggris ketika itu, Neville Chamberlain, dengan maksud menurunkan ketegangan di Eropa setelah Perang dunia I berakhir serta melemahkan Jerman sehingga tidak lagi memiliki hasrat untuk menguasai Eropa.

Merasa tidak diperlakukan secara adil oleh negara-negara Eropa lain, terutama oleh Prancis dan Inggris sebagai pihak yang pemenang perang, Jerman pun meningkatkan teknologinya dalam hal persenjataan perang. Paham Nazi yang dibawa oleh Hitler dan keinginan rakyat Jerman untuk membalaskan dendam atas perilaku negara-negara Eropa terhadap negaranya yang tidak adil tersebut membuat akselerasi peningkatan kekuatan teknologi militer Jerman semakin cepat. Neville Chamberlain gagal mengidentifikasikan bahwa peningkatan kekuatan Jerman tersebut dapat mengganggu Balance Of Power di Eropa. Peningkatan kekuatan militer Jerman mestinya harus diimbangi oleh peningkatan kekuatan militer negara-negara besar lain di Eropa, sehingga Jerman bisa “berpikir dua kali” untuk memulai peperangan. Di sinilah adegium Si Vis Pacem, Para Bellum yang berarti If you want peace, prepare for war bisa dijelaskan.

Sisi Paradoks Dari Adegium Si Vis Pacem, Para Bellum

Seperti yang dijelaskan di atas bahwa inti dari adegium ini adalah usaha yang offensive untuk menuju Balance Of Power, sehingga pihak yang berkonflik tidak menyerang pihak lainnya karena berfikir serangan dalam bentuk apapun akan mengalami kerugian yang besar dari kedua pihak karena kedua pihak memiliki kekuatan yang seimbang.

Pihak yang berkonflik, tidak selalu merebutkan wilayah seperti kasus pra perang dunia II yang saya sebutkan di atas, tetapi juga bisa juga hal yang diperebutkan adalah pengaruh. Bila yang diperebutkan adalah pengaruh, maka pasti akan melibatkan pihak lain di luar pihak yang berkonflik. Contoh yang paling mudah untuk menjelaskan hal ini adalah peristiwa Cold War yang terjadi setelah perang dunia II selesai. Perang perebutan pengaruh antara Uni Sovyet dengan Komunisnya dan Amerika Serikat dengan Kapitalis-Liberalisme ini diwarnai oleh perlombaan teknologi nuklir diantara kedua pihak. Perlombaan itu diakhiri oleh jatuhnya Uni Sovyet tanpa harus berperang nuklir.

Kedua pihak yang bertikai, baik itu Uni Sovyet maupun Amerika Serikat berlomba untuk mempersiapkan nuklirnya untuk mencapai Balance Of Power bukan hanya untuk menyerang tapi untuk Psy War pada pihak lawan bahwa bila ada salah satu dari mereka yang menyerang maka pihak lain memiliki kemampuan yang sama untuk menyerang sehingga kehancuran dan kerugian yang besar akan ditanggung kedua pihak. Hal inilah yang menjadi salah satu alasan, kenapa perang nuklir tidak pernah terjadi pada masa itu, Si Vis Pacem, Para Bellum .

Selain itu, yang unik dari perebutan pengaruh tersebut adalah pihak ketiga. Memang tidak ada perang nuklir antara Uni Sovyet dan Amerika Serikat, tapi kerugian dan kerusakan terjadi di wilayah-wilayah tempat perebutan pengaruh sebut saja Perang di Vietnam, Perang di Korea, Perang di Afghanistan (pada perang dingin) dan perang lainnya. Dalam hal ini disimpulkan bahwa pihak ketiga menderita kerugian dari konflik perebutan pengaruh, dalam usaha Uni Sovyet dan Amerika Serikat mencapai titik Balance Of Power.

OPM Sayap Militer VS OPM Sayap Politik dalam Adegium Si Vis Pacem, Para Bellum

Sudah bukan rahasia lagi, ada perang dingin antara OPM sayap militer dengan OPM sayap politik untuk memperebutkan pengaruh dan simpati dari rakyat Papua. OPM sayap politik, apapun organisasinya entah itu dari KNPB (Komite Nasional Papua Barat), WPNCL (West Papua National Coalition), WPNA (West Papua National Authority), NRFPB (Negara Republik Papua Barat) dan organisasi-organisasi turunan OPM lainnya yang concern pada aktivitas politik banyak mendapat dukungan di kota-kota besar. Sedangkan OPM sayap militer, entah itu dari kelompok Goliath Tabuni, Puron Wenda, dan kelompok OPM lainnya dari sayap militer banyak medapat dukungan di wilayah-wilayah terpencil di pegunungan.

Kedua pihak, baik dari sayap militer maupun sayap politik saling berlomba untuk menunjukan eksistensinya. Sayap politik dengan aksi unjuk rasa dan upaya diplomasi luar negeri, sayap militer dengan aksi penembakan dan penyerbuan terhadap pos-pos keamanan. Bila salah satu organisasi dari sayap politik membanggakan usaha organisasinya, maka kelompok lain akan menjelekan begitu pun sebaliknya. Sebagai contoh saja pertikaian antara sayap militer dan sayap politik OPM adalah sebagai berikut :


  • Dalam Kongres pembentukan WPNA, tanggal 15 Juli 2004 di Wewak, Papua New Guinea yang dihadiri oleh Jacob Rumbiak, Edison Waromi, Stepanus Paigy, Kaliele, Sonny Mosso, Theryanus Yoku, Herman Wanggai dan Jonah Wenda, Jacob Rumbiak menyampaikan bahwa ia ingin menghapus nama “OPM” karena OPM dianggap antiproduktif terhadap perjuangan Papua di luar negeri, karena beberapa aktivitas “OPM” melanggar Hak Asasi Manusia, sehingga rentan dianggap sebagai organisasi terror. Dalam perkembangannya, Selain itu, Goliath Tabuni menolak tegas atas pembentukan WPNCL dan WPNA dan meminta kepada tokoh-tokoh OPM yang aktif di WNPCL dan WPNA agar tidak meneruskan perjuangannya karena ia anggap tidak berguna.



  • Teryanus Sato, salah satu petinggi TPN-OPM yang mengklaim berpangkat Mayjend menyampaikan terkait kunjungan MSG ke Papua “kami tidak tahu untuk apa mereka datang, dan kami sejak awal tidak kenal apa itu WPNCL, karena representasi bangsa Papua yang sampai hari ini masih berjuang untuk pembebasan bangsa Papua hanya TPN/OPM, tidak ada itu nama WPNCL yang mengemis jadi anggota di MSG, sejak awal kami tiak setuju dengan diplomasi WPNCL itu, kami tetap berjuang dari hutan”.



  • Dalam pelaksanaan Pilpres di Papua, antara KNPB dan TPN-OPM sama-sama mengkampanyekan “Boikot Pilpres”. Pimpinan TPN-OPM wilayan Nabire-Paniai, Leo M Yogi mengklaim bahwa keterlambatan Pilpres di 9 distrik adalah hasil dari upaya represif TPN-OPM untuk memboikot pilpres. Kemudian KNPB menyuarakan Boikot Pilpres agar bermartabat dan menjunjung HAM, Viktor Yeimo meyampaikan bahwa rakyat Papua tidak boleh dipaksa untuk memilih juga tidak boleh dipaksa untuk golput.


Kesimpulan

Inti dari adegium Si Vis Pacem, Para Bellum adalah pihak-pihak yang berkonflik selalu mencari titik Balance Of Power dengan cara apapun, entah itu menguatkan pihak sendiri ataupun melemahkan pihak lawan. Sehingga konflik langsung antara pihak yang berkonflik tidak terjadi. Ketika yang diperebutkan dari kedua pihak yang berkonflik adalah pengaruh, maka kemungkinan besar pihak ketiga lah yang akan merasakan kerugian besar, seperti yang terjadi dalam Cold War.

Konflik antara sayap militer dan sayap politk OPM memang tidak pernah menyebabkan kedua pihak berhadapan satu sama lain secara langsung. Konflik ini adalah konflik perebutan pengaruh sehingga kemungkinan besar kerugian dari konflik ini akan paling dirasakan oleh pihak ketiga, dalam hal ini rakyat Papua sendiri. Dalam beberapa bulan terakhir, 3 organisasai dari sayap politik OPM sedang mempersiapkan symposium untuk konsolidasi di Vanuatu dan banyak menjadi perhatian dari rakyat Papua. Bila dilihat bahwa inti dari adegium Si Vis Pacem, Para Bellum adalah Balance Of Power maka sayap militer Papua akan berusaha mengimbangi penguatan pengaruh dari sayap politik OPM, dengan cara apapun. Hal yang paling mungkin bagi kelompok-kelompok sayap militer OPM untuk menunjukan eksistensinya adalah dengan melakukan penembakan dan penyerangan terhadap pos-pos keamanan.

Simposium dari ketiga organisasi dari sayap politik OPM yaitu NRFPB, KNPB dan WPNCL di Vanuatu akan dilaksanakan awal oktober nanti. Penulis memprediksi bahwa setelah atau sebelum symposium tersebut berlangsung akan ada penembakan atau penyerangan yang dilakukan oleh sayap militer OPM. Mari kita lihat, semoga saja tidak terjadi.

Bahan Bacaan:


  1. Morgenthau, Hans. Politics among Nations fourth edition. 1967. Alfred A. Knoff, INC: United States.

  2. Nye, Joseph S. Understanding Internastional Conflict ; An Introduction to Theory and History Seventh Edition. 2009. Harvad University; United States





Sumber : http://ift.tt/WYfbMJ

Artikel Kompasiana Lainnya :

Copyright © 2015 Kompasiana | Design by Bamz