Korupsi, Sebuah Kejahatan Kemanusiaan Multi-Effect
Seperti mendapatkan air di panasnya gurun pasir, dunia peradilan negeri ini mendapatkan secercah mimpi dan harapan menuju terwujudnya Indonesia bebas korupsi. Yaa… masih menggema harusnya telinga kita pasca vonis atas terdakwa kasus korupsi suap impor daging sapi dan pencucian uang atas terdakwa Luthfi Hasan Ishaaq (mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera) di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta (9/12/2013) yang menjatuhkan ganjaran 16 tahun penjara serta denda Rp 1 miliar subsidair satu tahun kurungan. Vonis ini 2 tahun lebih ringan dari apa yang menjadi tuntutan jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menuntut 18 tahun penjara dan pencabutan hak politik atas mantan sang Presiden PKS ini. Tak terima dengan vonis ini, Luthfi Hasan Ishaaq (LHI) pun mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Tanggal 16 April 2014, putusan banding diketok oleh majelis. Malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih. Pengadilan Tinggi DKI Jakarta justru menguatkan putusan Pengadilan Tipikor yang mengganjarnya 16 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar. Belum berhenti di sini. Kasasi pada tingkat Mahkamah Agung pun diajukan. Sayang beribu sayang, permohonan kasasi dari terdakwa Luthfi Hasan Ishaaq. Sebaliknya, majelis hakim Mahkamah Agung atas perkara kasasi No.1195 K/Pid.Sus/2014 ini mengabulkan permohonan kasasi dari jaksa penuntut umum. Dalam putusan kasasi tertanggal 15 September 2014, majelis hakim yang diketuai Dr. H. Artidjo Alkostar , SH., LLM ini justru memperberat vonis yang diterima mantan Presiden PKS itu pada pengadilan sebelumnya.
Putusan kasasi ini pun memperbaiki putusan Pengadilan Negeri/Pengadilan Tinggi sebelumnya. Terdakwa LHI pun diganjar kurungan 18 (delapan belas) tahun plus denda Rp 1 miliar, dengan catatan apabila tidak dibayar maka LHI dijatuhi pidana kurungan selama 6 bulan. Tak berhenti di situ, putusan kasasi di tingkat MA ini memperberat hukuman atas mantan Presiden PKS ini. LHI diganjar tambahan dengan pencabutan hak politik untuk dipilih dalam jabatan public. Itu artinya Luthfi tidak dapat menempati posisi pejabat publik maupun terlibat kegiatan partai politik setelah bebas dari masa hukuman pidananya nanti. Berikut petikan putusan kasasi dan pertimbangan hukum yang dijatuhkan secara bulat tanpa dissenting opinion ini seperti dikutip dari Harian Kompas , 16 September 2014.
“Perkara kasasi No.1195 K/Pid.Sus/2014. Atas nama Terdakwa: Luthfi Hasan Ishaaq Anggota DPR RI fraksi PKS Di PN____terbukti Korupsi dn Pencucian Uang__pidka 16 tahun, denda Rp1 miliar jika tidak dibayar dijatuhi pidana kurungan selama 1 (satu) tahun. Di PT___memperbaiki putusab PN sekadar lamanya subsider denda menjadi denda Rp1 miliar jika tidak dibayar dipidana kurungan selama 6 bulan. Pemohon kasasi I___Jaksa /Penuntut Umum KPK Pemohon Kasasi II___terdakwa. Putusan Mahkamah Agung tgl 15-9-2014. Artidjo Alkostar___Ketua Majelis M.Askin ___Anggota MS.Lumme ___Anggota Putusan MA: I. Menolak kasasi Terdakwa. II. Mengabulkan kasasi Jaks/Penuntut Umum.”
Adapun pertimbangan hukum yang diambil Majelis Hakim Agung sebagai berikut:
1. Judex Facti kurang dalam pertimbangan hukumnya (onvoldoende gemotiveerd ), karena kurang memperimbangkan hal-hal yang memberatkan sebagaimana disyaratkan dalam pasal 197 ayat (1)f KUHAP. Perbutan terdakwa selaku anggota DPR RI yang melakukan hubungan transaksional dengan mempergunakan kekuasaan elektoral demi untuk mendapatkan imbalan/fee dari pengusaha daging sapi.
2. Perbuatan terdakwa selaku anggota DPR RI yang melakukan hubungan transaksional telah mencederai kepercayaan rakyat banyak, khususnya masyarakat pemilih yang telah memilih terdakwa menjadi anggota DPR RI.
3. Perbuatan terdakwa menjadi ironi demokrasi, karena tidak melindungi dan tidak memperjuangkan nasib petani peternak sapi nasional.
4. Hubungan transaksional antara terdakwa yang anggota badan kekuasaan legislatif dengan pengusaha daging sapi Maria Elizabeth Liman merupakan korupsi politik, karena dilakukan terdakwa yang berada dalam posisi memegang kekuasaan politik. Sehingga merupakan kejahatan yang serius (serious crimes ).
5. Terdakwa telah menerima janji pemberian uang Rp40.000.000.000,- yang sebagian daripadanya yaitu sebesar Rp1.300.000.000 telah diterima melalui saksi Ahmad Fatanah. Saksi Maria Elizabeth Liman tidak akan memberikan uang tersebut tanpa keterlibatan terdakwa untuk membantunya.
Demikian drama sebuah kasus korupsi suap daging sapi. Berakhir? Tampaknya belum. Luthfi Hasan Ishaaq bersama tim kuasa hukumnya telah berpikir untuk mengajukan Peninjauan Kembali (PK). Tak ketinggalan, Partai Keadilan Sejahtera tempat bernaungnya LHI juga mengharapkan LHI ini mengajukan PK. Tentu seperti sebelumnya, yakni pasca vonis di pengadilan tipikor dan PT, vonis kasasi ini disambut ungkapan nglanturbeberapa elite Partai Keadilan Sejahtera. “Keputusan kasasi itu ngawur , cari popularitas saja,” ujar Mahfudz Siddiq (Wasekjen PKS) di gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa, 16 September 2014. Apapun nantinya, apakah drama korupsi sapi ini cukup sampai di sini ataukah berlanjut pada tahap PK, seharusnya sudah sepantasnya semua menghormati hukum. Kasus korupsi yang menjerat LHI adalah segelintir dari sekian kasus korupsi yang ada di negeri ini. Kita tentu ingat akan vonis kasasi Angelina Sondakh yang bernasib sama dengan LHI, yakni justru mendapatkan vonis yang jauh lebih berat dari 4 tahun 6 bulan penjara menjadi 12 tahun penjara. Atau kasus korupsi yang menjerat Rahudman Harahap (Walikota Medan non aktif) dari vonis bebas di tingkat pengadilan Tipikor Medan berujung di kasasi dengan vonis sebaliknya, yakni 5 tahun penjara. Atau korupsi atas Djoko Susilo (mantan Kakorplantas) yang diperberat vonisnya dengan pencabutan hak politiknya. Jadi tak perlu sampai mengatakan vonis Mahkamah Agung “ngawur” atau apalah itu. Kita harusnya sependapat bahwasanya kasus korupsi bukan sebuah kasus tindak pidana biasa. Oleh karenanya ia (korupsi) dalam peradilan dimasukkan dalam tindak pidana khusus. Segenap masyarakat tentunya menginginkan korupsi “lenyap” dari negeri ini. Boleh dan sah-sah saja kita berbeda pendapat atas jatuhnya vonis atas koruptor, mengingat kita juga sama-sama tahu bahwa perbedaan pendapat di negeri ini sudah lazim. Yang tak lazim adalah ketika kita tak sependapat mengenai sebuah impian kian kita akan masa depan depan negeri ini untuk bebas dari tindak pidana korupsi. Perihal banyaknya opini negatif yang diungkapkan elite Partai Keadilan Sejahtera (PKS) maupun simpatisannya yang berkembang pasca keluarnya putusan kasasi atas LHI ini tentu mebuat kita miris. Mengatakan putusan MA ini permainan lah, ngawurlah, atau fitnah keji lah… tak sepantasnya diungkapkan. Semua diberi kedudukan yang sama di depan hukum. Bukti, saksi, serta pembelaan-pembelaan tidaklah hanya diberikan kesempatan kepada penuntut umum saja, tapi juga kepada seorang terdakwa. Namun masih saja terdengar sebuah komentar “ngawur” alias “keblinger” yang mengarah pada pembelaan buta tak berdasar. Lebih miris lagi, saat dalil-dalil agama dipergunakan untuk melakukan pembelaan atas terdakwa korupsi yang dijatuhkan vonis terbukti bersalah. Agama itu suci. Tak pada tempatnya jikalau dipergunakan untuk “membenarkan” sebuah tindakan kejahatan bernama korupsi. Terlalu bodoh dan sempit pikirannya rasanya jika mengatakan korupsi itu hanya merupakan satu keburukan. Jangankan 1 keburukan atau 70 keburukan, korupsi adalah sebuah tindak kejahatan kemanusiaan. Ia merampas impian masa depan lebih dari 270 juta manusia negeri ini. Membuat suram masa depan bangsa ini dengan perilaku pidana korupsi tentu pantas diganjar hukuman setimpal yang dapat membuat efek jera. Mengatakan sebuah tindakan korupsi sebagai satu keburukan bagai mengatakan bahwa maling di tempat A, kemudian maling di tempat B, maling di tempat C, dan seterusnya sebagai satu keburukan saja. Kalaulah demikian, pastilah kita hanya menjumpai di negara-negara Islam yang menggunakan hukum qishash, seorang maling harta melebihi nisab, yang maling sini, di kemudian hari maling lagi sana hanya cukup dipotong tangannya satu saja. Sayangnya tak demikian adanya. Maling sekali, potong tangan kanan (sebatas pergelangan). Maling lagi, potong kaki kirinya, dan seterusnya. Artinya apa, dengan alas an apapun, harusnya tak ada toleransi bagi para karuptor yang berusaha merenggut impian sekian juta rakyat Indonesia untuk menuju kesejahteraan . Yaa..zero tolerance bagi para koruptor. Perihal dijatuhkannya pencabutan hak politik terhadap para koruptos tentu harus diapresiasi sebagai sebuah hukuman yang semoga dapat membuat efek jera. Ini sebuah konsekuensi, jika seorang koruptor ternyata adalah mereka yang sebelumnya mendapat mandat rakyat, misalnya koruptor dari kalangan anggota dewan DPR seperti Luthfi hasan Ishaaq, Angelina Sondakh, serta M. Nazaruddin. Yaa..pantas bagi mereka untuk diganjar setimpal atas perbuatannya. Yaa… Pada saat ini, sebuah kondisi klimaks sedang kita rasakan. Senang melihat koruptor susah, sedih melihat koruptor senang. Namun lebih dari itu, memang masih jauh kalaulah dikatakan negeri ini akan bebas dari korupsi, tapi setidaknya tertaruh sebuah optimisme di hati rakyat negeri ini dalam segenap upaya “perang” melawan korupsi.
#Menuju_Indonesia_Bebas_Korupsi
Sumber : http://ift.tt/1u65WIK