KORUPSI DAN PILKADA, Sebuah Komplemen untuk Tulisan Oce Madril ‘DPRD dan Korupsi’
Tulisan Oce Madril, Direktur Advokasi PUKAT UGM, berjudul ‘DPRD dan Korupsi’ yang dimuat Harian Kompas, 13 September 2014, menarik dicermati.
Oce Madril memulai tulisannya tentang anggota DPRD Sumbar 2014-2019 yang digelandang oleh kejaksaan ke ruang tahanan tak lama setelah ia dilantik. Ia pun kemudian menggambarkan tentang data Kemendagri yang menyatakan 3169 anggota DPRD terlibat kasus korupsi dan menjelaskan pola korupsi yang dilakukan DPRD.
Oce Madril membangun sintesa bahwa korupsi anggota DPRD itu diakibatkan pilkada oleh DPRD di tahun 1999-2004. Menurut Oce, untuk memutus mata rantai korupsi DPRD tersebut, maka diberlakukanlah pilkada langsung.
Tulisan berjudul ‘DPRD dan Korupsi’ ternyata bukan hanya menggambarkan mata rantai korupsi DPRD, tapi lebih tampak sebagai basis rasionalitas dukungan kepada pilkada langsung dengan cara mendiskreditkan pilkada via DPRD yang dianggap sebagai biang keladi 3169 korupsi yang dilakukan anggota DPRD.
Oce Madril secara tak langsung masuk pusaran konflik elit politik tentang RUU Pilkada yang sekarang sedang berdebat di DPR RI tentang pilkada langsung VS pilkada oleh DPRD. Saya mengapresiasi keterusterangan dan keberpihakan Oce Madril sebagai seorang akademisi yang independen dan menggunakan pendekatan ilmiah,. Hanya saja, saya menemukan kerancuan data dan logika berpikir yang irrelevan dalam tulisan tersebut dan berdampak fatal.
Faktanya, data-data yang diungkap Oce Madril dalam tulisan ‘DPRD dan Korupsi’ tidak ada sama sekali yang khusus terkait dengan data korupsi 1999-2004 ketika pilkada via DPRD yang beliau soroti. Kejadian anggota DPRD Sumbar itu jelas-jelas jauh dari tahun 1999-2004. Data tentang 3169 anggota DPRD yang korupsi pun ternyata menurut Kemendagri sendiri bukan korupsi tahun 1999-2004 saat pilkada via DPRD.
Pihak Kemendagri tidak pernah menyatakan bahwa korupsi 3169 DPRD disebabkan pilkada via DPRD tahun 1999-2004. Hasil kajian yang dilakukan Kemendagri menunjukan mahalnya biaya pemilihan cenderung membuat anggota DPRD maupun kepala daerah berbuat korupsi. Dan kita mengetahui bahwa mahalnya biaya pemilihan DPRD terutama sejak sistem proporsional terbuka dengan suara terbanyak, dan mahalnya pemilihan kepala daerah sejak pilkada langsung. Keduanya setelah tahun 2004, di saat pilkada via DPRD sudah dihapus.
Direktur Jenderal Otonomi Daerah (Dirjen Otda) Kemendagri, Djohermansyah Djohan, tidak hanya mengungkap data 3169 anggota DPRD yang korupsi. Beliau juga mengungkap data 318 kepala daerah yang korupsi. Dan khusus kepala daerah, pihak Kemendagri menyoroti pilkada langsung yang berbiaya mahal sehingga membuat kepala daerah cenderung korupsi. Sedangkan untuk DPRD, pihak Kemendagri menyoroti pemilihan anggota legislatif yang berbiaya mahal juga, beliau tidak mengaitkannya dengan pilkada via DPRD.
Anehnya, tulisan ‘DPRD dan Korupsi’ menyebut relasi korupsi DPRD dengan kepala daerah, tapi tidak secara fair mengungkap data 318 kepala daerah hasil pilkada langsung yang korupsi. Framing di tulisan ‘DPRD dan Korupsi’ memang mendiskreditkan pilkada via DPRD dan mendukung pilkada langsung. Sayangnya pemaparan data dan analisis datanya kurang fair. Data korupsi di masa pilkada langsung digunakan untuk menilai korupsi saat pilkada via DPRD. Hasil kajian Kemendagri yang menyoroti sistem pemilihan legislatif digunakan untuk menilai pilkada via DPRD. Itulah yang saya sebut kerancuan data dan logika yang irrelevan.
Kalau mau fair, bandingkanlah jumlah kasus korupsi dengan jumlah orang yang menduduki posisi tersebut. Misalkan 318 korupsi kepala daerah berbanding 1060 kepala daerah di Indonesia yang terdiri dari 34 kursi Gubernur, 34 kursi Wakil Gubernur, 496 kursi Bupati/Walikota dan 496 kursi Wabup/Walikota. Dari data tersebut prosentase kepala daerah hasil pilkada langsung yang terjerat korupsi adalah 30%.
Perbandingan anggota DPRD yang korupsi adalah 3169 kasus dari 17748 kursi anggota DPRD yang terdiri 1998 kursi DPRD Provinsi dan 15.750 kursi DPRD Kab/Kota. Prosentase korupsi anggota DPRD adalah 17,85%.
Dari perhitungan sederhana di atas, kepala daerah yang korupsi 30% dari total jumlah kepala daerah di Indonesia. Sedangkan untuk anggota DPRD yang korupsi 17,85% dari total anggota DPRD di Indonesia. Korupsi kepala daerah hasil pilkada langsung jauh lebih besar prosentasenya dibandingkan korupsi anggota DPRD. Ini fakta yang belum diungkap dalam tulisan ‘DPRD dan Korupsi’.
Uniknya lagi, Oce Madril menyatakan kegagalan pilkada via DPRD karena menyebabkan korupsi berjamaah anggota DPRD sehingga solusinya adalah pilkada langsung. Padahal kajian saya terhadap UU No 32 tahun 2004 yang menjadi landasan pilkada langsung tidak menemukan alasan korupsi DPRD sebagai pertimbangan. Yang tercantum sebagai pertimbangan dalam Undang-Undang tersebut adalah penyelenggaraan pemerintah daerah berdasar UUD 1945 menurut asas otonomi dan pembantuan, efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan pemerintah daerah, dan UU No 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah yang sudah tidak sesuai keadaan.
Bahkan, kalaupun logika korupsi DPRD yang sebabkan diubah jadi pilkada langsung itu benar, maka logika yang sama pula harusnya digunakan untuk membatalkan pilkada langsung karena ternyata 30% kepala daerah hasil pilkada langsung terjerat korupsi.
Tentu saja siapapun yang melakukan, berapapun prosentasenya dan berapapun besarnya, korupsi tetaplah korupsi yang harus dibasmi. Maka dibandingkan terjebak dalam konflik pilkada langsung VS pilkada DPRD, lebih baik mencari solusi sistem pemilhan yang mengurangi biaya mahal seperti yang sekarang kita jalani. Sistem itulah yang akan mengurangi potensi korupsi kepala daerah dan anggota DPRD.
Pemilu Serentak
Tidak ada metode dan sistem pemilihan kepala daerah yang paling benar. Yang mungkin adalah metode dan sistem pemilihan kepala daerah yang paling tepat untuk tempat tertentu dan waktu tertentu. Kita perlu bersama mendiskusikan metode dan sistem yang paling tepat dengan kekinian dan kedisinian. Metode dan sistem yang berbiaya murah, efektif, efisien dan mampu mengurangi potensi korupsi di negeri ini.
Di antara wacana yang mengemuka untuk mengurangi biaya mahal pilkada langsung adalah pilkada serentak se-Indonesia. Usulan ini menarik, hanya saja jika hanya pilkada serentak, secara biaya dari APBD dan APBN relatif sama dengan yang terjadi selama ini. Hanya saja pengeluarannya sekaligus bersamaan.
Saya mengusulkan pemilu serentak. Pemilihan Presiden, Pemilihan Gubernur, Pemilihan Bupati/wakil bupati dan pemilihan walikota / wakil walikota secara serentak bersamaan dengan pemilihan Anggota DPR, pemilihan anggota DPD, pemilihan anggota DPRD tingkat I dan pemilihan anggota DPRD tingkat II.
Mahkamah Konstitusi sudah memutuskan tahun 2019 pemilihan presiden bersamaan dengan pemilihan legislatif. Keputusan itu mengamanahkan pemilihan eksekutif dan legislatif bersamaan. Mengapa tidak dilaksanakan serentak dengan pemilihan kepala daerah?
Pemilu serentak eksekutif dan legislatif tingkat pusat, provinsi dan kota/kabupaten memiliki banyak keuntungan, di antaranya :
Pertama, Biaya APBN dan APBD akan lebih hemat. Kebutuhan logistik pemilu, pembiayaan penyelenggara pemilu, dan lain sebagainya hanya sekali dalam lima tahun.
Kedua, Biaya kampanye kandidat semakin murah karena ditanggung bersama oleh capres / cawapres, cagub / cawagub, cawalkot/ cawawalkot, cabup / cawabup Caleg DPRI, caleg DPRD tingkat I dan caleg DPRD tingkat II. Dengan biaya kampanye gotong royong seperti ini meminimalisir masuknya cukong-cukong politik.
Ketiga, Penguatan partai politik sebagai instrument demokrasi di Indonesia. Partai akan menjadi basis rekrutmen kepemimpinan nasional dan lokal. Setiap partai akan berlomba merekrut dan menampilkan kader terbaik. Tokoh-tokoh terbaik pun akan bergabung dengan partai-partai yang terbaik pula.
Keempat, Meminimalisasi koalisi dagang sapi. Setiap partai yang lolos jadi peserta pemilu punya hak mengajukan capres / cawapres, cagub / cawagub, cawalkot/ cawawalkot, cabup / cawabup tanpa koalisi. Kecuali apabila masuk putaran kedua. Tapi di putaran ke dua pun tidak harus kampanye lagi sehingga secara biaya politik tidak lebih besar dibandingkan sejak awal koalisi.
Pemilu serentak ini mungkin dilaksanakan tahun 2019 seiring pelaksanaan pilpres dan pileg serentak sesuai keputusan Mahkamah Konstitusi. Yang perlu dipikirkan adalah pemilihan kepala daerah di masa transisi sampai ke pelaksanaan pemilu serentak tahun 2019.
Faktanya kepala daerah ada yang berakhir tahun 2014, 2015, 2016, 2017, 2018 dan 2019. Namun mereka punya kesamaan bahwa sampai pemilu 2019 umumnya tidak ada yang menjabat lebih dari 5 tahun. Oleh karena itu Saya lebih cenderung selama masa transisi ini kepala daerah dipilih oleh DPRD.
Dengan pemilihan oleh DPRD selama masa transisi, semangat penghematan biaya pilkada sudah dimulai. Tapi ingat, pemilihan oleh DPRD hanya di masa transisi yang masa jabatan kepala daerahnya kurang dari lima tahun sampai ke pemilu serentak 2019.
Bahkan, untuk yang pergantian kepala daerah di tahun 2019 sebelum pelaksanaan pemilu serentak 2019 yang hanya menjabat beberapa bulan, menurut hemat saya, cukup dengan penunjukan plt Gubernur / wagub, plt walikota/wawalkot, dan plt bupati/wabup oleh Kemendagri.
Pilkada langsung dan pilkada via DPRD hakikatnya rakyat yang memilih. Yang membedakan langsung dan representative (perwakilan). Keduanya memiliki dasar konstitusional di negeri ini. Fakta pula sebenarnya Indonesia pun sekarang menggunakan kedua sistem pemilihan tersebut. Untuk pemilihan kepala daerah yang menjabat 5 tahun saat ini menggunakan sistem pilkada langsung, tapi jika ada salah satu yang berhalangan, baik kepala daerah atau wakil kepala daerah, maka pemilihan wakil kepala daerah nya dilakukan oleh DPRD.
Jadi usulan saya pemilu serentak eksekutif dan legislatif untuk tingkat pusat, provinsi dan kota/kabupaten di tahun 2019. Rakyat memilih langsung di pemilu serentak tersebut. Untuk masa transisi, saya pribadi lebih cenderung pemilihan via DPRD untuk penghematan biaya pemilu. Kalaupun masih dipilih langsung, konsekuensinya biaya mahal, tapi tetap dengan kesepakatan menjabat sampai 2019 untuk diganti melalui mekanisme pemilu serentak.
Dalam rentang lima tahun, di Indonesia ada 84710 kursi diperebutkan dari tingkat pusat sampai desa, yang terdiri dari kursi presiden, wakil presiden, 560 kursi DPR, 132 kursi DPD, 1998 kursi DPRD Provinsi, 15.750 kursi DPRD Kab/Kota, 34 kursi Gubernur, 34 kursi Wakil Gubernur, 496 kursi Bupati/Walikota dan 496 kursi Wa Bupati/Walikota dan 65260 kursi Kepala Desa.
Ada 534 pemilihan umum di Indonesia dalam rentang waktu 5 tahun, atau 108 pemilu setiap tahun. Sekitar 9 pemilu setiap bulan. Lebih dari 2 pemilu setiap minggu. Jika Pilkades ikut dihitung, maka ada 36 pemilu setiap hari. Dengan demikian seorang warga negara Indonesia bisa 8-11 kali mencoblos/mencontreng dalam 5 tahun hidupnya.
Dengan pemilu serentak, setidaknya untuk tingkat pusat, provinsi dan kota/kabupaten rakyat Indonesia memilih hanya sekali dalam lima tahun. Dan di antara rentang tersebut rakyat Indonesia terbebas dari hiruk pikuk politik dan konflik horizontal yang sering mewarnai perhelatan politik, selain itu bangsa Indonesia pun terbebas dari biaya mahal pesta demokrasi.
Kita pun akan menyaksikan korupsi akan semakin tersisih karena para pejabat di negeri ini mendapatkan amanah jabatan dengan biaya yang jauh lebih murah dibandingkan masa-masa sebelumnya.
Semoga mereka semakin fokus melayani masyarakat dibandingkan memperkaya diri dan mengembalikan modal kampanye.
Semoga…
Indra Kusumah,
@INDRAKU_TRUSTCO on Twitter
Pegiat PSIKOPOLITIKA dan Ketua IKA UNPAD Bidang Kebijakan Publik
Dimuat tanggal 15 September 2014 di http://ift.tt/1oPSOAw
Sumber : http://ift.tt/1oPSOAy
Oce Madril memulai tulisannya tentang anggota DPRD Sumbar 2014-2019 yang digelandang oleh kejaksaan ke ruang tahanan tak lama setelah ia dilantik. Ia pun kemudian menggambarkan tentang data Kemendagri yang menyatakan 3169 anggota DPRD terlibat kasus korupsi dan menjelaskan pola korupsi yang dilakukan DPRD.
Oce Madril membangun sintesa bahwa korupsi anggota DPRD itu diakibatkan pilkada oleh DPRD di tahun 1999-2004. Menurut Oce, untuk memutus mata rantai korupsi DPRD tersebut, maka diberlakukanlah pilkada langsung.
Tulisan berjudul ‘DPRD dan Korupsi’ ternyata bukan hanya menggambarkan mata rantai korupsi DPRD, tapi lebih tampak sebagai basis rasionalitas dukungan kepada pilkada langsung dengan cara mendiskreditkan pilkada via DPRD yang dianggap sebagai biang keladi 3169 korupsi yang dilakukan anggota DPRD.
Oce Madril secara tak langsung masuk pusaran konflik elit politik tentang RUU Pilkada yang sekarang sedang berdebat di DPR RI tentang pilkada langsung VS pilkada oleh DPRD. Saya mengapresiasi keterusterangan dan keberpihakan Oce Madril sebagai seorang akademisi yang independen dan menggunakan pendekatan ilmiah,. Hanya saja, saya menemukan kerancuan data dan logika berpikir yang irrelevan dalam tulisan tersebut dan berdampak fatal.
Faktanya, data-data yang diungkap Oce Madril dalam tulisan ‘DPRD dan Korupsi’ tidak ada sama sekali yang khusus terkait dengan data korupsi 1999-2004 ketika pilkada via DPRD yang beliau soroti. Kejadian anggota DPRD Sumbar itu jelas-jelas jauh dari tahun 1999-2004. Data tentang 3169 anggota DPRD yang korupsi pun ternyata menurut Kemendagri sendiri bukan korupsi tahun 1999-2004 saat pilkada via DPRD.
Pihak Kemendagri tidak pernah menyatakan bahwa korupsi 3169 DPRD disebabkan pilkada via DPRD tahun 1999-2004. Hasil kajian yang dilakukan Kemendagri menunjukan mahalnya biaya pemilihan cenderung membuat anggota DPRD maupun kepala daerah berbuat korupsi. Dan kita mengetahui bahwa mahalnya biaya pemilihan DPRD terutama sejak sistem proporsional terbuka dengan suara terbanyak, dan mahalnya pemilihan kepala daerah sejak pilkada langsung. Keduanya setelah tahun 2004, di saat pilkada via DPRD sudah dihapus.
Direktur Jenderal Otonomi Daerah (Dirjen Otda) Kemendagri, Djohermansyah Djohan, tidak hanya mengungkap data 3169 anggota DPRD yang korupsi. Beliau juga mengungkap data 318 kepala daerah yang korupsi. Dan khusus kepala daerah, pihak Kemendagri menyoroti pilkada langsung yang berbiaya mahal sehingga membuat kepala daerah cenderung korupsi. Sedangkan untuk DPRD, pihak Kemendagri menyoroti pemilihan anggota legislatif yang berbiaya mahal juga, beliau tidak mengaitkannya dengan pilkada via DPRD.
Anehnya, tulisan ‘DPRD dan Korupsi’ menyebut relasi korupsi DPRD dengan kepala daerah, tapi tidak secara fair mengungkap data 318 kepala daerah hasil pilkada langsung yang korupsi. Framing di tulisan ‘DPRD dan Korupsi’ memang mendiskreditkan pilkada via DPRD dan mendukung pilkada langsung. Sayangnya pemaparan data dan analisis datanya kurang fair. Data korupsi di masa pilkada langsung digunakan untuk menilai korupsi saat pilkada via DPRD. Hasil kajian Kemendagri yang menyoroti sistem pemilihan legislatif digunakan untuk menilai pilkada via DPRD. Itulah yang saya sebut kerancuan data dan logika yang irrelevan.
Kalau mau fair, bandingkanlah jumlah kasus korupsi dengan jumlah orang yang menduduki posisi tersebut. Misalkan 318 korupsi kepala daerah berbanding 1060 kepala daerah di Indonesia yang terdiri dari 34 kursi Gubernur, 34 kursi Wakil Gubernur, 496 kursi Bupati/Walikota dan 496 kursi Wabup/Walikota. Dari data tersebut prosentase kepala daerah hasil pilkada langsung yang terjerat korupsi adalah 30%.
Perbandingan anggota DPRD yang korupsi adalah 3169 kasus dari 17748 kursi anggota DPRD yang terdiri 1998 kursi DPRD Provinsi dan 15.750 kursi DPRD Kab/Kota. Prosentase korupsi anggota DPRD adalah 17,85%.
Dari perhitungan sederhana di atas, kepala daerah yang korupsi 30% dari total jumlah kepala daerah di Indonesia. Sedangkan untuk anggota DPRD yang korupsi 17,85% dari total anggota DPRD di Indonesia. Korupsi kepala daerah hasil pilkada langsung jauh lebih besar prosentasenya dibandingkan korupsi anggota DPRD. Ini fakta yang belum diungkap dalam tulisan ‘DPRD dan Korupsi’.
Uniknya lagi, Oce Madril menyatakan kegagalan pilkada via DPRD karena menyebabkan korupsi berjamaah anggota DPRD sehingga solusinya adalah pilkada langsung. Padahal kajian saya terhadap UU No 32 tahun 2004 yang menjadi landasan pilkada langsung tidak menemukan alasan korupsi DPRD sebagai pertimbangan. Yang tercantum sebagai pertimbangan dalam Undang-Undang tersebut adalah penyelenggaraan pemerintah daerah berdasar UUD 1945 menurut asas otonomi dan pembantuan, efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan pemerintah daerah, dan UU No 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah yang sudah tidak sesuai keadaan.
Bahkan, kalaupun logika korupsi DPRD yang sebabkan diubah jadi pilkada langsung itu benar, maka logika yang sama pula harusnya digunakan untuk membatalkan pilkada langsung karena ternyata 30% kepala daerah hasil pilkada langsung terjerat korupsi.
Tentu saja siapapun yang melakukan, berapapun prosentasenya dan berapapun besarnya, korupsi tetaplah korupsi yang harus dibasmi. Maka dibandingkan terjebak dalam konflik pilkada langsung VS pilkada DPRD, lebih baik mencari solusi sistem pemilhan yang mengurangi biaya mahal seperti yang sekarang kita jalani. Sistem itulah yang akan mengurangi potensi korupsi kepala daerah dan anggota DPRD.
Pemilu Serentak
Tidak ada metode dan sistem pemilihan kepala daerah yang paling benar. Yang mungkin adalah metode dan sistem pemilihan kepala daerah yang paling tepat untuk tempat tertentu dan waktu tertentu. Kita perlu bersama mendiskusikan metode dan sistem yang paling tepat dengan kekinian dan kedisinian. Metode dan sistem yang berbiaya murah, efektif, efisien dan mampu mengurangi potensi korupsi di negeri ini.
Di antara wacana yang mengemuka untuk mengurangi biaya mahal pilkada langsung adalah pilkada serentak se-Indonesia. Usulan ini menarik, hanya saja jika hanya pilkada serentak, secara biaya dari APBD dan APBN relatif sama dengan yang terjadi selama ini. Hanya saja pengeluarannya sekaligus bersamaan.
Saya mengusulkan pemilu serentak. Pemilihan Presiden, Pemilihan Gubernur, Pemilihan Bupati/wakil bupati dan pemilihan walikota / wakil walikota secara serentak bersamaan dengan pemilihan Anggota DPR, pemilihan anggota DPD, pemilihan anggota DPRD tingkat I dan pemilihan anggota DPRD tingkat II.
Mahkamah Konstitusi sudah memutuskan tahun 2019 pemilihan presiden bersamaan dengan pemilihan legislatif. Keputusan itu mengamanahkan pemilihan eksekutif dan legislatif bersamaan. Mengapa tidak dilaksanakan serentak dengan pemilihan kepala daerah?
Pemilu serentak eksekutif dan legislatif tingkat pusat, provinsi dan kota/kabupaten memiliki banyak keuntungan, di antaranya :
Pertama, Biaya APBN dan APBD akan lebih hemat. Kebutuhan logistik pemilu, pembiayaan penyelenggara pemilu, dan lain sebagainya hanya sekali dalam lima tahun.
Kedua, Biaya kampanye kandidat semakin murah karena ditanggung bersama oleh capres / cawapres, cagub / cawagub, cawalkot/ cawawalkot, cabup / cawabup Caleg DPRI, caleg DPRD tingkat I dan caleg DPRD tingkat II. Dengan biaya kampanye gotong royong seperti ini meminimalisir masuknya cukong-cukong politik.
Ketiga, Penguatan partai politik sebagai instrument demokrasi di Indonesia. Partai akan menjadi basis rekrutmen kepemimpinan nasional dan lokal. Setiap partai akan berlomba merekrut dan menampilkan kader terbaik. Tokoh-tokoh terbaik pun akan bergabung dengan partai-partai yang terbaik pula.
Keempat, Meminimalisasi koalisi dagang sapi. Setiap partai yang lolos jadi peserta pemilu punya hak mengajukan capres / cawapres, cagub / cawagub, cawalkot/ cawawalkot, cabup / cawabup tanpa koalisi. Kecuali apabila masuk putaran kedua. Tapi di putaran ke dua pun tidak harus kampanye lagi sehingga secara biaya politik tidak lebih besar dibandingkan sejak awal koalisi.
Pemilu serentak ini mungkin dilaksanakan tahun 2019 seiring pelaksanaan pilpres dan pileg serentak sesuai keputusan Mahkamah Konstitusi. Yang perlu dipikirkan adalah pemilihan kepala daerah di masa transisi sampai ke pelaksanaan pemilu serentak tahun 2019.
Faktanya kepala daerah ada yang berakhir tahun 2014, 2015, 2016, 2017, 2018 dan 2019. Namun mereka punya kesamaan bahwa sampai pemilu 2019 umumnya tidak ada yang menjabat lebih dari 5 tahun. Oleh karena itu Saya lebih cenderung selama masa transisi ini kepala daerah dipilih oleh DPRD.
Dengan pemilihan oleh DPRD selama masa transisi, semangat penghematan biaya pilkada sudah dimulai. Tapi ingat, pemilihan oleh DPRD hanya di masa transisi yang masa jabatan kepala daerahnya kurang dari lima tahun sampai ke pemilu serentak 2019.
Bahkan, untuk yang pergantian kepala daerah di tahun 2019 sebelum pelaksanaan pemilu serentak 2019 yang hanya menjabat beberapa bulan, menurut hemat saya, cukup dengan penunjukan plt Gubernur / wagub, plt walikota/wawalkot, dan plt bupati/wabup oleh Kemendagri.
Pilkada langsung dan pilkada via DPRD hakikatnya rakyat yang memilih. Yang membedakan langsung dan representative (perwakilan). Keduanya memiliki dasar konstitusional di negeri ini. Fakta pula sebenarnya Indonesia pun sekarang menggunakan kedua sistem pemilihan tersebut. Untuk pemilihan kepala daerah yang menjabat 5 tahun saat ini menggunakan sistem pilkada langsung, tapi jika ada salah satu yang berhalangan, baik kepala daerah atau wakil kepala daerah, maka pemilihan wakil kepala daerah nya dilakukan oleh DPRD.
Jadi usulan saya pemilu serentak eksekutif dan legislatif untuk tingkat pusat, provinsi dan kota/kabupaten di tahun 2019. Rakyat memilih langsung di pemilu serentak tersebut. Untuk masa transisi, saya pribadi lebih cenderung pemilihan via DPRD untuk penghematan biaya pemilu. Kalaupun masih dipilih langsung, konsekuensinya biaya mahal, tapi tetap dengan kesepakatan menjabat sampai 2019 untuk diganti melalui mekanisme pemilu serentak.
Dalam rentang lima tahun, di Indonesia ada 84710 kursi diperebutkan dari tingkat pusat sampai desa, yang terdiri dari kursi presiden, wakil presiden, 560 kursi DPR, 132 kursi DPD, 1998 kursi DPRD Provinsi, 15.750 kursi DPRD Kab/Kota, 34 kursi Gubernur, 34 kursi Wakil Gubernur, 496 kursi Bupati/Walikota dan 496 kursi Wa Bupati/Walikota dan 65260 kursi Kepala Desa.
Ada 534 pemilihan umum di Indonesia dalam rentang waktu 5 tahun, atau 108 pemilu setiap tahun. Sekitar 9 pemilu setiap bulan. Lebih dari 2 pemilu setiap minggu. Jika Pilkades ikut dihitung, maka ada 36 pemilu setiap hari. Dengan demikian seorang warga negara Indonesia bisa 8-11 kali mencoblos/mencontreng dalam 5 tahun hidupnya.
Dengan pemilu serentak, setidaknya untuk tingkat pusat, provinsi dan kota/kabupaten rakyat Indonesia memilih hanya sekali dalam lima tahun. Dan di antara rentang tersebut rakyat Indonesia terbebas dari hiruk pikuk politik dan konflik horizontal yang sering mewarnai perhelatan politik, selain itu bangsa Indonesia pun terbebas dari biaya mahal pesta demokrasi.
Kita pun akan menyaksikan korupsi akan semakin tersisih karena para pejabat di negeri ini mendapatkan amanah jabatan dengan biaya yang jauh lebih murah dibandingkan masa-masa sebelumnya.
Semoga mereka semakin fokus melayani masyarakat dibandingkan memperkaya diri dan mengembalikan modal kampanye.
Semoga…
Indra Kusumah,
@INDRAKU_TRUSTCO on Twitter
Pegiat PSIKOPOLITIKA dan Ketua IKA UNPAD Bidang Kebijakan Publik
Dimuat tanggal 15 September 2014 di http://ift.tt/1oPSOAw
Sumber : http://ift.tt/1oPSOAy