Suara Warga

Politik Bagaikan Sinetron di Indonesia

Artikel terkait : Politik Bagaikan Sinetron di Indonesia

141078769198843966Salam jurnalis !

Ajang politik kian berguling semakin panas, hujat – menghujat, lempar tuduhan, pencitraan, bagaikan sebuah tayangan sinetron yang telah dirancang matang. Apa sebenarnya fungsi yang hakiki dari politik itu sendiri ? akankah politik melemah bahkan hancur seiring dengan hilang nya hukum di negeri ini ? Para elit politik pun pura – pura buta, pura – pura tuli, dan seolah tak tahu apa yang terjadi di bumi pertiwi ini, lantas sampai kapan kah negeri ini akan bertahan, menahan semua gejolak yang terus mengikis ketahan negera ini atau akan ada lagi sebuah peperangan politik yang dimana manusia tak menggunakan akal sehat nya lagi, dimana pemimpin yang diidam – idam kan rakyat Indonesia, adakah sosok yang mampu memebawa Indonesia menjadi Negara yang gemah ripah loh jinawi ? waktu yang akan menjawab nya.

Politik di Negara kita yang semakin carut – marut bagaikan peperangan saudara antara bawang merah dan bawang putih, seolah – olah mereka memasang wajah bersahaja, rupawan namun mememiliki perangai busuk bagaikan aroma Bungan bangkai di tanah kematian. Yang benar pun dianggap salah begitu juga yang salah dibela menjadi benar, sinetron perpolitikan Indonesia masih berlanjut episode, entah sampai kapan sandiwara di Panggung demokrasi ini akan usai. Contoh kongkrit dari saling lempar bola panas, terjadi saat pilpres 2014, pencitraan, fitnah, sogok – menyogok, janji palsu, sekan merupakan budaya politik yang tak boleh ditinggalkan, pertanyaan yang sederhana, apakah keputusan hasil pilpres 2014 ini murni kehendak rakyat yang hakiki ? Paradigma masyarakat pun penuh dengan kebimbangan, kebingungan yang berujung pasrah dengan semua permainan elit politik yang berwenang.

Lepas dari permasalahan itu, penyakit yang permanen di Negara kita adalah korupsi, dimana korupsi itu sendiri dianggap sebagai sebuah manifestasi yang sarat akan kepentingan dan kebutuhan para tikus berdasi Negara ini. Dari kalangan atas sebagai hakim tertinggi pun, tergoda dengan bujukan syetan yang terus menggerogoti urat fikiran, sehingga lupa akan semua mandat yang diberikan rakyat. Begitu juga dengan mentri agama yang mutlak tahu mana yang benar dan keji, ikut terjelembab dalam lubang korupsi yang penuh dengan kenistaan, seolah pemain dalam negeri ini berperan segai sosok protagonis namun dibalik layar panggung mereka bersikap bagaikan antagonis yang penuh dengan kebengisan.

Lantas munculah stigma atau cara, bagaimana memberantas penyakit korupsi itu sendiri, “mentri yang ditukar” itu lah salah satu metode yang digagas dan diterapkan presiden SBY, namun bagaimana hasilnya ? sebuah hasil yang percumah dilakukan, karena dengan cara itu pula korupsi bukannya berkurang malah kian menjadi – jadi bagaikan kanker ganas yang terus menggerogoti dan menghancurkan Negara ini. Ketua umum partai demokrat sekalipun yang mengusung SBY terlibat dalam skandal korupsi.

Siapakah yang mampu memimpin negeri ini dengan tegas ? yang mampu menghentikan sandiwara sinetron perpolitikan di Indonesia ? sosok “Ratu Adil” pun menjadi perbincangan dikalangan masyarakat, sang peramal “Jaya Baya” yang dianggap selalu benar akan ramalannya menyebutkan bahwa suatu saat nanti Indonesia akan dipimpin oleh seorang pemimpin yang adil, tegas yang akan membawa Indonesia menjadi bangsa yang sejahtera, aman, tentram, dan jaya dikala zaman keemasannya.

Namun itu semua kembali pada kepercayaan kita masing – masing akan keberadaan sosok Ratu Adil tersebut. Sosok Jokowi pun disebut – sebut sebagai Ratu Adil yang dipercayai akan menyelamatkan Indonesia dari keterpurukan yang terjadi selama ini, apakah pemikiran itu benar dan akan terwujud ? Tuhan lah yang mengetahui semua itu.

Norma hukum yang melemah di Negara kita seakan hukum bisa dibeli, bisa dinegosiasi yang merupakan cacat nya moral suatu bangsa dengan hukum yang tidak ada harganya. Beberapa waktu lalu terjadi pelecehan seksual yang terjadi di ZIS yang seakan - akan para pengacara bungkam akan kebenaran yang terjadi sebenarnya, mereka silau dengan tebalnya bayaran yang diterima, seolah - olah pengacara itu sendiri menjadi seorang pembantu bagi orang yang berduit. Kebakaran bukan terjadi di pulau riau, akan tetapi kebakaran moral yang terjadi di Negara kita dan anak – anak lah yang harus menjadi korban sasaran lblis terlaknat, seolah permainan silat lidah yang mampu memutar balikan fakta yang ada, sungguh ironis nya Negara ini penuh dengan lika – liku permainan yang sangat membingungkan, Presiden yang bertindak sebagai produser sebuah perfileman tak mampu mengatur dan melurus kan dari penyimpangan – penyimpangan yang terjadi dalam sinetron laga Indonesia ini.

Tentu hadirnya seorang pemimpin yang akan menguras habis kebusukan dinegeri ini menjadi harapan terbesar bagi rakyat Indonesia , yang mampu merubah derit tangis kemiskinan menjadi senyum sejahtera kebahagiaan !




Sumber : http://ift.tt/YLoelu

Artikel Kompasiana Lainnya :

Copyright © 2015 Kompasiana | Design by Bamz