Suara Warga

Koalisi Merah Putih Tak Punya Malu

Artikel terkait : Koalisi Merah Putih Tak Punya Malu

Jajak pendapat yang dibuat oleh Litbang Kompas menunjukkan, lebih dari 80% responden menginginkan agar pilkada dipilih secara langsung. Hanya kisaran 12% responden yang menginginkan atau menyetujui Pilkada melalui DPRD. Entahlah, saya belum mendengar bagaimana repon koalisi merah putih membaca jajak pendapat ini. Mungkin mereka memiliki hasil survei yang berbeda.

1410750568734102226 gambar dari www.satuharapan.com



Tentu kita bisa memaklumi seandainya mereka punya versi sendiri. Tapi, hampir tidak ada dukungan dari masyarakat yang menginginkan adanya pilkada tidak langsung sebagaimana yang mereka usung. Di mana-mana yang terjadi adalah demonstrasi penolakan terhadap pemilihan umum yang akan diwakili oleh DPRD. Sungguh, jika para politisi ini mengabaikan penolakan masyarakat ini, mereka telah kehilangan urat malu. Nyatanya, hampir tidak ada (kecuali mungkin karena tidak terekspose) ormas independen yang mendukung untuk kembali ke sistem pemilihan era orde baru ini. Kalau begitu yang bisa ditanyakan adalah mereka ini wakil rakyat atau pengkhianat rakyat.

Kalau saya selesaikan tulisan ini sampai di situ, mungkin akan lebih tegas jawabannya. Sayangnya saya ga rela kalau memposting tulisan hanya 2 paragraf. Hehehehee…. pilihan politisi di koalisi merah putih akhirnya hanya ada dua: loyal terhadap elite partai atau mendengar aspirasi masyarakat. Masing-masing tentu punya konsekwensi. Untuk mereka yang loyal praktis harus bisa menjelaskan kepada rakyat yang diwakilinya bahwa pilihan mereka secara logis tepat. Meskipun untuk mereka yang tidak bisa menerima penjelasan itu akan mengatakan bahwa suara dan kepercayaan mereka telah dikhianati.

Sementara bagi mereka yang akhirnya memilih berseberangan dengan partainya, nasibnya akan seperti Ahok. Dalam etika politik, mengacu pada deontologismenya Imannuel Kant, kewajiban pertama-tama adalah mengemban amanat rakyat. Bukan hanya individu dalam arti politisi, bahkan partai pun harus memperjuangkan amanat rakyat yang mempercayai mereka ini.

Etika jauh melampaui toto kromo. Aneh, ketika Prabowo menyamakan etika dengan toto kromo. Prinsip dasar toto kromo hanya menyenangkan orang yang ditotokromoi. Sedangkan etika, sering kali bertentangan dengan prinsip menyenangkan kaum elite.

Adalah memalukan, ketika koalisi ini memperjuangkan sebuah rancangan undang-undang yang tidak muncul dari aspirasi masyarakat. Bukan hanya memalukan, naif sesungguhnya.




Sumber : http://ift.tt/1m7aLyM

Artikel Kompasiana Lainnya :

Copyright © 2015 Kompasiana | Design by Bamz