Koalisi Merah-Putih Semoga Beri Kebaikan Indonesia
Ir. H. Joko Widodo, Presiden terpilih Indonesia mengatakan bahwa koalisi merah-putih bagaikan batu krikil, tergantung bagaimana mengelolanya (Kompas.com, 29/9/2014).
Diteras rumah saya, ada bagian yang ditaburi batu-batu krikil halus. Jika ada waktu, setelah menyopir kendaraan, saya berjalan diatas batu-batu krikil dengan penuh hati-hati dan konsentrasi. Berjalan diatas batu-batu krikil ternyata menyehatkan saraf dan badan.
Pengandaian yang diberikan Presiden terpilih Indonesia terhadap koalisi merah-putih yang bagaikan batu krikil, memberi perspektif yang lebih positif dari yang dipahami publik yang amat negatif terhadap koalisi merah-putih terutama setelah voting RUU Pilikada dalam sidang paripurna DPR RI yang dimenangkan koalisi merah-putih yang pro Pilkada melalui DPRD.
Belajar dari Sejarah
Indonesia masih sangat mudah dalam berdemokrasi. Di masa Presiden Soekarno, bangsa Indonesia pernah mengamalkan demokrasi liberal yang ditandai dengan jatuh bangunnya kabinet.
Pada masa Presiden Soeharto yang berkuasa selama 32 tahun lamanya, demokrasi dapat dikatakan tidak ada karena diamalkan mobilized participation dalam pemilu yang dilakukan melalui tiga jalur yaitu jalur A (ABRI/TNI), jalur B (Birokrasi) dan jalur G (Golkar), sehingga hasil pemilu sudah diketahui sebelum dilaksanakan.
Akibatnya DPR/MPR yang biasa disebut parlemen nasional dikuasai secara mutlak oleh Golkar yang sepenuh dikendalikan oleh Presiden Soeharto dengan operator tiga jalur seperti disebutkan diatas.
Dampak lebih jauh, pemilihan kepala daerah, yang dipilih oleh anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) di semua tingkatan, calon kepala daerah yang ditetapkan oleh Presiden Soeharto selaku ketua dewan pembina Golkar, kemudian secara formalitas dipilih oleh para anggota DPRD.
Reformasi tahun 1998 telah merubah sistem dan peta politik di tingkat nasional dan daerah. Semua pemimpin politik di tingkat nasional dan daerah dipilih langsung oleh rakyat sebagai pemilik kedaulatan. Sistem yang diamalkan di masa Orde Baru dirubah total termasuk dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada) dari melalui DPRD menjadi langsung oleh rakyat.
Saya termasuk yang tidak setuju perubahan sistem pilkada dari langsung menjadi tidak langsung seperti yang banyak disuarakan publik Indonesia melalui sosial media.
Akan tetapi, realitas politik dari pertarungan pemilu Presiden 9 Juli 2014 menyebabkan terbentuk dua kekuatan besar dalam politik di Indonesia yaitu yang menamakan diri koalisi merah-putih dan koalisi Jokowi-JK.
Berakhirnya pemilu Presiden yang dimenangkan Jokowi-JK, koalisi merah-putih yang kalah dalam pemilu Presiden, tidak membubarkan koalisinya, justru membuat permanen koalisinya dengan membuat Presidium sebagai penyeimbang pemerintahan Jokowi-JK.
Realitas politik sekarang, mereka mayoritas di parlemen, sehingga bisa mendikte berbagai keputusan DPR. Presiden SBY sejatinya dapat menjadi pengontrol koalisi merah-putih, tetapi kepemimpinannya sangat lemah sehingga larut dalam arus kekuatan besar yang dimainkan koalisi merah-putih.
Kalau Jokowi-JK sudah dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden, mungkin situasinya akan berbeda, apalagi kalau sukses memilih para menteri yang tidak hanya profesional, tetapi mempunyai jaringan dan pertemanan yang luas dengan para pemimpin di koalisi merah-putih serta para anggota parlemen. Mungkin itu yang dimaksud Presiden terpilih Jokowi bagaimana mengelola koalisi merah-putih.
Insya Allah Baik untuk Indonesia
Bangsa Indonesia sudah pengalaman di masa Presiden Soekarno, Presiden Soeharto dan terakhir ini di masa Presiden SBY yang membentuk koalisi besar untuk mendukung pemerintahannya. Hasilnya belum membawa terwujudnya tujuan Indonesia merdeka yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945.
Di era Presiden Soeharto yang berkuasa 32 tahun lamanya, parlemen dikuasai Golkar, ada kemajuan dalam pembangunan, tetapi tidak sebanding dengan besarnya utang dan merajalelanya korupsi, hanya tidak diusut karena bisa merusak citra pemerintah Orde Baru.
Pada era Presiden SBY yang berkuasa 10 tahun lamanya, pemerintahannya ditopang oleh koalisi besar di parlemen. Partai-partai politik yang menjadi anggota koalisi diberikan berbagai jabatan penting seperti menteri, duta besar, dan jabatan-jabatan penting di pemerintahan, tetapi pembangunan tidak seimbang dengan besarnya utang yang dilakukan rezim SBY, korupsi meralajela dilakukan para kader dari partai-partai politik yang menjadi anggota koalisi, korupsi di eksekutif, legislatif dan yudikatif, dan para kepala daerah, serta tingkat kesejahteraan rakyat merosot.
Adanya koalisi merah-putih yang menguasai parlemen nasional, dengan hussuzzan (prasangka baik) semoga memberikan kebaikan kepada rakyat, bangsa dan negara Republik Indonesia.
Jokowi-Jokowi dan pemerintahannya akan dikontrol koalisi besar di parlemen sehingga bekerja lebih keras dengan penuh kesederhanaan dan pemihakan total kepada kepentingan rakyat banyak dan tidak korupsi. Sebaliknya Jokowi-JK dan pemerintahannya akan mengontrol anggota parlemen supaya bekerja baik untuk rakyat dan tidak korupsi.
Begitu juga pemerintahan di daerah jika diberlakukan pemilihan kepala daerah melalui DPRD yang bakal banyak berkuasa adalah dari koalisi merah-putih akan dikontrol penuh pemerintah pusat, sehingga korupsi tidak terjadi, dan juga tidak terjadi kongkalingkong antara eksekutif dan legislatif di pusat dan daerah yang merugikan rakyat, bangsa dan negera.
Allahu a’lam bisshawab
Sumber : http://ift.tt/1vmgmCX
Diteras rumah saya, ada bagian yang ditaburi batu-batu krikil halus. Jika ada waktu, setelah menyopir kendaraan, saya berjalan diatas batu-batu krikil dengan penuh hati-hati dan konsentrasi. Berjalan diatas batu-batu krikil ternyata menyehatkan saraf dan badan.
Pengandaian yang diberikan Presiden terpilih Indonesia terhadap koalisi merah-putih yang bagaikan batu krikil, memberi perspektif yang lebih positif dari yang dipahami publik yang amat negatif terhadap koalisi merah-putih terutama setelah voting RUU Pilikada dalam sidang paripurna DPR RI yang dimenangkan koalisi merah-putih yang pro Pilkada melalui DPRD.
Belajar dari Sejarah
Indonesia masih sangat mudah dalam berdemokrasi. Di masa Presiden Soekarno, bangsa Indonesia pernah mengamalkan demokrasi liberal yang ditandai dengan jatuh bangunnya kabinet.
Pada masa Presiden Soeharto yang berkuasa selama 32 tahun lamanya, demokrasi dapat dikatakan tidak ada karena diamalkan mobilized participation dalam pemilu yang dilakukan melalui tiga jalur yaitu jalur A (ABRI/TNI), jalur B (Birokrasi) dan jalur G (Golkar), sehingga hasil pemilu sudah diketahui sebelum dilaksanakan.
Akibatnya DPR/MPR yang biasa disebut parlemen nasional dikuasai secara mutlak oleh Golkar yang sepenuh dikendalikan oleh Presiden Soeharto dengan operator tiga jalur seperti disebutkan diatas.
Dampak lebih jauh, pemilihan kepala daerah, yang dipilih oleh anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) di semua tingkatan, calon kepala daerah yang ditetapkan oleh Presiden Soeharto selaku ketua dewan pembina Golkar, kemudian secara formalitas dipilih oleh para anggota DPRD.
Reformasi tahun 1998 telah merubah sistem dan peta politik di tingkat nasional dan daerah. Semua pemimpin politik di tingkat nasional dan daerah dipilih langsung oleh rakyat sebagai pemilik kedaulatan. Sistem yang diamalkan di masa Orde Baru dirubah total termasuk dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada) dari melalui DPRD menjadi langsung oleh rakyat.
Saya termasuk yang tidak setuju perubahan sistem pilkada dari langsung menjadi tidak langsung seperti yang banyak disuarakan publik Indonesia melalui sosial media.
Akan tetapi, realitas politik dari pertarungan pemilu Presiden 9 Juli 2014 menyebabkan terbentuk dua kekuatan besar dalam politik di Indonesia yaitu yang menamakan diri koalisi merah-putih dan koalisi Jokowi-JK.
Berakhirnya pemilu Presiden yang dimenangkan Jokowi-JK, koalisi merah-putih yang kalah dalam pemilu Presiden, tidak membubarkan koalisinya, justru membuat permanen koalisinya dengan membuat Presidium sebagai penyeimbang pemerintahan Jokowi-JK.
Realitas politik sekarang, mereka mayoritas di parlemen, sehingga bisa mendikte berbagai keputusan DPR. Presiden SBY sejatinya dapat menjadi pengontrol koalisi merah-putih, tetapi kepemimpinannya sangat lemah sehingga larut dalam arus kekuatan besar yang dimainkan koalisi merah-putih.
Kalau Jokowi-JK sudah dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden, mungkin situasinya akan berbeda, apalagi kalau sukses memilih para menteri yang tidak hanya profesional, tetapi mempunyai jaringan dan pertemanan yang luas dengan para pemimpin di koalisi merah-putih serta para anggota parlemen. Mungkin itu yang dimaksud Presiden terpilih Jokowi bagaimana mengelola koalisi merah-putih.
Insya Allah Baik untuk Indonesia
Bangsa Indonesia sudah pengalaman di masa Presiden Soekarno, Presiden Soeharto dan terakhir ini di masa Presiden SBY yang membentuk koalisi besar untuk mendukung pemerintahannya. Hasilnya belum membawa terwujudnya tujuan Indonesia merdeka yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945.
Di era Presiden Soeharto yang berkuasa 32 tahun lamanya, parlemen dikuasai Golkar, ada kemajuan dalam pembangunan, tetapi tidak sebanding dengan besarnya utang dan merajalelanya korupsi, hanya tidak diusut karena bisa merusak citra pemerintah Orde Baru.
Pada era Presiden SBY yang berkuasa 10 tahun lamanya, pemerintahannya ditopang oleh koalisi besar di parlemen. Partai-partai politik yang menjadi anggota koalisi diberikan berbagai jabatan penting seperti menteri, duta besar, dan jabatan-jabatan penting di pemerintahan, tetapi pembangunan tidak seimbang dengan besarnya utang yang dilakukan rezim SBY, korupsi meralajela dilakukan para kader dari partai-partai politik yang menjadi anggota koalisi, korupsi di eksekutif, legislatif dan yudikatif, dan para kepala daerah, serta tingkat kesejahteraan rakyat merosot.
Adanya koalisi merah-putih yang menguasai parlemen nasional, dengan hussuzzan (prasangka baik) semoga memberikan kebaikan kepada rakyat, bangsa dan negara Republik Indonesia.
Jokowi-Jokowi dan pemerintahannya akan dikontrol koalisi besar di parlemen sehingga bekerja lebih keras dengan penuh kesederhanaan dan pemihakan total kepada kepentingan rakyat banyak dan tidak korupsi. Sebaliknya Jokowi-JK dan pemerintahannya akan mengontrol anggota parlemen supaya bekerja baik untuk rakyat dan tidak korupsi.
Begitu juga pemerintahan di daerah jika diberlakukan pemilihan kepala daerah melalui DPRD yang bakal banyak berkuasa adalah dari koalisi merah-putih akan dikontrol penuh pemerintah pusat, sehingga korupsi tidak terjadi, dan juga tidak terjadi kongkalingkong antara eksekutif dan legislatif di pusat dan daerah yang merugikan rakyat, bangsa dan negera.
Allahu a’lam bisshawab
Sumber : http://ift.tt/1vmgmCX