Suara Warga

PREMAN JADI BUPATI, MUNGKINKAH?

Artikel terkait : PREMAN JADI BUPATI, MUNGKINKAH?

Ngomong-ngomong, mengenai kisruh pengesahan RUU Pemilu yang menuai kontroversial baru-baru ini, saya punya pandangan tersendiri tentang hal ini. Izinkan saya memaparkan pandangan saya secara pribadi dalam ranah intelektualisme, dan bukan atas dasar tendensi politik manapun.

Bagi saya pribadi melihat kedua sistem itu masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan. Saya bukan termasuk orang yang sangat pro maupun kontra mengenai masalah ini. Namun, saya hanya ingin mengupas fakta sekaligus mengkritisi sistem PILKADA LANGSUNG yang telah kita jalankan dari sebuah pencapaian Reformasi selama ini.

Saya ingin mengambil contoh terkecil dari sistem PILKADA Langsung di daerah. Saya teringat tulisan Dr. Syafio Antonio di buku “Muhammad Super Leader Super Manager” yang saya baca sekitar 3 tahun lalu. Secara kritis beliau mencermati kasus Pemilihan Kepala Daerah yang menurut beliau telah banyak menghamburkan-hamburkan dana “mubazir”.

Sebagai contohnya di beberapa daerah di Tanah air. Sudah menjadi rahasia umum, faktanya rata-rata seorang calon Bupati atau Walikota harus mengeluarkan dana sekitar 5 hingga 30 miliar untuk biaya kampanye Pemilihan Langsung. Nah, jika kita analisis lebih kritis lagi, maka pertanyaan yang muncul dari mana seorang Bupati bisa memperoleh dana sebanyak itu?

Kita sama-sama tahu bahwa gaji pokok seorang Bupati hanya sekitar 6 juta Rupiah saja. Jika dikalikan selama setahun, maka gaji yang diterima seorang Bupati hanya sekitar Rp. 72 Juta. Dan jika rata-rata gaji seorang Bupati dikalikan selama 5 tahun dalam 1 periode kepemimpinan, maka penghasilannya hanya Rp. 360 Juta saja.

Taruhlah jika seorang Bupati memperoleh tunjangan profesi dan lain-lainnya dua kali lipat dari gaji pokok secara sah, maka diprediksikan dia hanya menerima sekitar Rp. 720 juta selama kepemimpinannya satu periode. Maka pertanyaan sekali lagi, darimana sang Bupati mampu mengumpulkan dana kekurangan lainnya?

Dalam pengertian yang lebih sederhana, jika seorang Bupati benar-benar hanya mengandalkan gaji dan tunjangan profesi, maka penghasilan yang ia terima sebagai seorang abdi negara, tak akan lebih dari Rp. 1 Milyar, meskipun bekerja selama 5 tahun lamanya. Dari mana ‘nombokin’ hingga milyaran rupiah untuk biaya kampanye puluhan milyaran itu?

Ya, tentu saja seorang calon Kepala Daerah harus berpikir keras mencari ‘dana talangan’ dari donator maupun perusahaan ‘basah’, seperti perusahaan Tambang atau Perusahaan asing yang berimplikasi pada kompensasi pelegalan izin pertambangan dan ekplorasi serta “penjarahan” sumber alam secara besar-besaran. Hal tersebut sudah menjadi semacam ‘tumbal’ dalam kontrak politik sebagai “Politik Balas Budi”

Atau bisa jadi bagi yang akan menjabat kedua kalinya akan melakukan praktek “Pungutan Liar” dengan kedok kebijakan Perda, baik dalam bentuk komisi, pajak atau pun upeti. Kemungkinan terbesar dan paling aman seperti itu. Jika tidak menyelewengkan dana APBD. Karena pilihan terakhir sangat riskan dan selalu diintai CCTV KPK, hehe…

***

Kelemahan lainnya PILKADA Langsung menjadikan banyak dana yang terhambur percuma begitu saja demi sebuah pesta bernama “Pesta Demokrasi”. Padahal ada banyak kemaslahatan lainnya yang lebih tepat guna dan tepat sasaran.

Contohnya, di Kabupaten saya sendiri, di Kabupaten Tabalong terdapat 218.954 jiwa. Jika melalui Pemilihan Langsung, seorang Bupati yang mampu ‘membeli’ suara Rp. 100.000/orang saja, maka dia harus menyediakan uang sebanyak 21 Milyar lebih. Wow jumlah yang sangat fantastis bagi seorang Bupati jika hanya menukarkan dengan jabatan yang senilai 360 juta saja.

Jika terdapat 5 pasangan calon Bupati yang melakukan hal yang sama, maka jika dikalikan akan ada biaya 109 Milyar uang yang beredar dalam pertarungan Pesta Demokrasi tersebut. Ini baru tingkat Kabupaten/Kota. Sedangkan kita memiliki sekitar 514 Kabupaten Kota dan 34 Provinsi. Berapa uang yang harus dikeluarkan untuk Pilkada Langsung? Jumlahnya jelas lebih dari triliuyanan rupiah.

Sekiranya uang milyaran hingga triliunan rupiah itu dipergunakan untuk pendidikan, kesehatan, bantuan sosial, pinjaman modal kemandirian bagi industri kreatif, hemat saya hal itu jauh lebih berpengaruh sigfinikan dalam membangun kemajuan bagi pendidikan, kesehatan dan ekonomi kerakyatan di derahnya masing-masing, bukan?

Bayangkan ada banyak Rumah Sakit atau pengobatan gratis yang sejatinya tidak membutuhkan lagi program “Kartu Sehat”, lantaran sistem politiknya sudah relatif sehat, hehe..

Dan ada pula beasiswa atau sekolah-sekolah ungggulan dengan fasilitas buku perpustakaan yang up to date judulnya dilengkapi ruang labrotorium yang lengkap fasilitas dan teknologinya, tentunya akan ada banyak anak daerah yang cerdas. Dan tentunya Kepala Daerahnya tidak membutuhkan lagi “Kartu Cerdas”, karena sistem demokrasinya sudah lebih cedas, hehe..

Ya, memang tidak semua rakyat bisa dibeli hak suaranya dengan uang, tapi fakta di lapangan telah membuktikan hal itu. Kita tidak bisa serta merta menuding bahwa masyarakat kita belum dewasa secara politik, hanya lantaran sistem PILKADA tetap menerapkan sistem ‘beli suara’ dengan PILKADA Langsung.

Ironisnya, jelas-jelas ada beberapa daerah yang berkenan menerima pesanan suara dengan logo besar, “Menerima Serangan Fajar! Jelas hal ini menodai cita-cita reformasi dan demokrasi yang ingin kita bangun dan capai selama ini, bukan?! Apakah rakyat belum dewasa atau memang terus menerus dijadikan tak pernah dewasa?!

Pengesahan UU Pilkada juga tidak bisa dikatakan ‘mengebiri’ hak politik rakyat dalam proses berdemokrasi, karena di negara-negara Inggris dan Amerika yang merupakan dedengkot negara Demokrasi sekalipun masih menerapkan pemilihan melalui senat atau dewan perwakilan Partai.

Justru menurut hemat saya, PILKADA Langsung sangat berpotensi membuka celah korupsi. Logikanya sederhana, seorang calon Kepala Daerah yang sudah berinvestasi ’sesuatu’ kepada rakyatnya dengan menghabiskan dana milyaran rupiah, tentu hal itu membuat dia berpikir ulang untuk mengembalikan modal dalam periode kepemimpinannya.

Fakta yang tidak bisa dipungkiri semenjak 2012-2014 ada sekitar 3.000 orang anggota Dewan yang terjerat kasus Korupsi. Dan ada sekitar 200 lebih Kepala Daerah yang juga terangkut kasus Korupsi dan telah mendekam di penjara.

Apakah ada sistem yang salah ataukah budaya bangsa kita sudah seperti ini? Tentu sepertinya ada sistem yang salah dan harus segera dibenahi. Jika sistem ini tidak segera dibenahi, maka resikonya akan menjadi budaya baru “Neo-Pramagmatisme” di dalam pola berdemokrasi masyarakat kita.

Sudah menjadi rahasia umum, bahwa motivasi utama kasus korupsi yang dilakukan oleh Kepala Daerah didasari oleh tuntutan “Hutang Kampanye” dalam rangka mengembalikan modal kampanye yang telah dikeluarkan. Istilahnya MMKBM “Mumpung Menjabat Kesempatan Balik Modal”. Tentunya kita tidak akan bisa memerangi korupsi, sedangkan kita tetap berpeluang membuka sistem yang berpotensi menimbulkan peluang orang untuk korupsi, bukan?

***

Bagaimana jika yang memilih hanya DPRD saja, apakah menjamin tidak adanya potensi korupsi? Ya, paling tidak hal itu bisa meminimalisir. Dengan jumlah DPRD yang terbatas, maka akan lebih mudah untuk memantau dan mengawal proses demokrasi. Taruhlah, jika memang tetap ada proses KKN, maka KPK hanya tinggal menciduk anggota DPRD itu saja.

Tidak bisa dipungkiri bahwa sistem “Money Politic” juga banyak memberikan kesempatan bagi Kepala Daerah yang “Tidak Layak” untuk menjadi pemimpin daerah. Asal punya uang, siapa pun punya harapan besar maju dan bertarung sebagai pemimpin daerah. Meskipun dari segi kapabilitas dan kemampuan masih di bawah standar, bahkan tidak layak sama sekali.

Kasus yang pernah terjadi di salah satu Kabupaten di Kalimantan, ada seorang preman terminal yang berhasil menjadi seorang pemimpin daerah, padahal secara pendidikan Sekolah Dasar pun tidak tamat. Dia membeli ijazah dan memanipulasi data. Semuanya didapatkan secara instan dan dengan uang. Halalkah sistem demokrasi semacam ini?

Apa yang terjadi selanjutnya? Si Bupati justru menjadi mafia dan calo pertanahan rakyat kepada perusahan asing. Tentu kita tidak mengharapkan fenomena ini kembali terulang di Republik yang kita cintai ini. Semuanya karena semua atas dasar sistem pemilihan langsung yang berorientasi pada nilai materialistis belaka.

Sebenarnya tidak ada yang salah dari PILKADA langsung, sekiranya mekanisme dijalankan sesuai aturan. Namun, apakah bangsa Indonesia sudah siap menjalankan dengan kedewasaan demokrasi yang benar-benar kita harapkan?

Justru hal yang kita tidak harapkan pendewasaan demokrasi rakyat berujung pada pendidikan politik yang menjadikan rakyat menjadi Pragmatis, selalu bertendensi pada prinsip “Wani Piro”, bukan lagi pada visi dan misi yang diusung calon pemimpin demi kemajuan daerahnya.

***

Saya kira kembali ke pemilihan parlementer bukan berarti kita kembali ke Orba, melainkan kita kembali ke Sila ke 4 dari Pancasila yang sering kita baca bunyinya, “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan”. Di sana jelas termaktub kata “Perwakilan” yang merujuk pada parlementer yang pada mekanisme-nya diwakili oleh para wakil-wakil rakyat yang telah kita pilih bersama.

Seharusnya jika menginginkan menetapkan PILKADA langsung dari dulu, sila ke 4 dari Pancasila itu yang terlebih dahulu diamandemen, karena kontradiktif dengan sistem PILKADA langsung yang telah dijalankan. Adakah yang sanggup mengganti sila ke 4 dari Pancasila itu?

Oleh karena itulah pendiri Bangsa ini Bapak Presiden Soekarano pernah mengamandemen UU yang menunjuk pada pemilihan langsung ke pemilihan parlementer. Bisa jadi beliau mengerti beliau karakter bangsa kita.

Walhasil, fenomena ini masih menjadi perdebatan panjang dibalik sarat dengan kepentingan elit politik yang bermain di dalamnya. Kita sebagai rakyat yang peduli dengan nasib bangsa hanya bisa mencermati, mengkiritisi dan mengawal demokrasi ini ke arah yang lebih baik.

Merevisi atau kembali ke hukum dasar bukan berarti mundur ke belakang. Karena UU bukanlah sebuah teks suci. Toh dalam Ulum al-Qur’an saja ada yang kita kenal dengan istilah Nask dan Mansukh dalam hukum-hukum al-Qur’an, mengganti hukum yang baru atau merujuk pada yang lebih dahulu itu sesuatu yang wajar sebagai sebuah perbaikan dan pembenahan. Akhirnya merujuk pada kaidah ushul Fiqih, “Jika terdapat dua kemudharatan, maka ambillah yang paling ringan mudharatnya.”

Tulisan ini hanya sebagai pandangan pribadi saja yang sejatinya tidak perlu direspon dengan emosi. Karena perbedaan pendapat dan pandangan itu sesutu yang pasti dan harus ada dalam mencapai pencerdasan berdemokrasi. Bagaimana pun perbedaan itu, ada baiknya bisa kita sampaikan dengan santun. Dan hormatilah perbedaan itu untuk menjadikan kita lebih dewasa dalam berpolitik.

Wassalam..




Sumber : http://ift.tt/10ayp3G

Artikel Kompasiana Lainnya :

Copyright © 2015 Kompasiana | Design by Bamz