Jero Wacik Bukti Menteri ATM Partai Politik
Pertama saya sangat prihatin, Jero Wacik, Menteri ESDM dijadikan tersangka korupsi, walaupun saya kenal Jero Wacik hanya melalui pemberitaan di media, tetapi sekali lagi saya prihatin dia dijadikan tersangka korupsi di kementerian yang dipimpinnya.
Setidaknya ada 3 (tiga) alasan yang membuat saya prihatin. Pertama, dia petinggi Partai Demokrat yang sedang berkuasa dan akan segera lengser dari kekuasaan. Pertanyaannya, mengapa terseret dalam korupsi? Apakah karena dia serakah (corruption by greed) atau karena harus menjadi ATM Partai Demokrat, yang dapat disebut corruption by political interest untuk mencari dana bagi partai yang menaunginya.
Kedua, semakin banyak menteri yang diseret ke meja hijau dalam kasus korupsi dan seolah tidak ada yang jera untuk korupsi. Pertanyaannya, Mengapa tidak ada efek jera berbuat korupsi, pada hal penangkapan dan pemenjaraan para koruptor sangat masif dilakukan KPK?
Ketiga, saya melihat dari kejauhan, Jero Wacik orangnya baik, tetapi orang baik mudah menjadi alat untuk kepentingan dari kekuasaan. Pertanyaannya, Jero Wacik diperalat atau dijadikan alat untuk meraup dana di kementerian yang dipimpinnya untuk kepentingan politik dari partainya.
Sumber Masalah
Dalam buku saya “Korupsi di Era Demokrasi” (2013) saya kemukakan bahwa sumber masalah adalah partai politik. Partai politik telah menjadi seperti industri atau perusahaan besar yang mempunyai banyak karyawan dan kantor cabang di provinsi, kabupatena dan kota di seluruh Indonesia.
Akan tetapi, partai politik yang telah menjadi industri atau perusahaan besar tidak menghasilkan profit (keuntungan) untuk mendanai atau menggaji karyawan yang bekerja di partai politik. Kalau mereka yang menjadi anggota parlemen (anggota DPRD atau DPR RI) tidak jadi masalah, tetapi staf harus digaji sebab mereka bukan malaikat.
Begitu pula biaya operasional kantor untuk membayar listrik, kebersihan dan lain sebagainya, serta biaya komunikasi dan operasional partai politik, dari mana sumber dananya.
Selain itu, yang memerlukan dana besar ialah kampanye pemilu legislatif yang harus diikuti partai politik, dari mana mengambil dana untuk membiayai semua yang dikemukakan diatas.
Dari iuran anggota parlemen jelas tidak cukup, begitu pula iuran anggota partai politik belum berjalan, sehingga satu-satunya jalan mendapatkan dana untuk membiayai semua kegiatan partai politik ialah dari kader-kader partai politik yang duduk di parlemen dan eksekutif (pemerintahan).
Jadi, Jero Wacik menjadi tersangka korupsi, saya tidak percaya karena motif serakah memperkaya diri sendiri, sebab dia dari latar belakang pengusaha, kalau dia dikatakan hidup bermewah-mewah, wajar saja seperti layaknya para pengusaha, tetapi saya menduga keras Jero Wacik melakukan pemerasan di kementeriannya seperti diberitakan media, bukan untuk kepentingan dia sendiri, tetapi karena menjadi ATM partai politik yang menaunginya.
Sebaiknya kasus Jero Wacik menjadi starting point untuk memikirkan sumber dana partai politik yang halal, misalnya negara menyediakan anggaran dari APBN dan APBD untuk biaya parpol misalnya 10 % bagi partai politik yang mendapat dukungan suara dalam pemilu di DPRD dan DPR RI, supaya para kader parpol tidak lagi menjadi ATM partainya dan berurusan dengan KPK.
Wallahu a’lam bisshawab
Sumber : http://ift.tt/1lAwNcQ
Setidaknya ada 3 (tiga) alasan yang membuat saya prihatin. Pertama, dia petinggi Partai Demokrat yang sedang berkuasa dan akan segera lengser dari kekuasaan. Pertanyaannya, mengapa terseret dalam korupsi? Apakah karena dia serakah (corruption by greed) atau karena harus menjadi ATM Partai Demokrat, yang dapat disebut corruption by political interest untuk mencari dana bagi partai yang menaunginya.
Kedua, semakin banyak menteri yang diseret ke meja hijau dalam kasus korupsi dan seolah tidak ada yang jera untuk korupsi. Pertanyaannya, Mengapa tidak ada efek jera berbuat korupsi, pada hal penangkapan dan pemenjaraan para koruptor sangat masif dilakukan KPK?
Ketiga, saya melihat dari kejauhan, Jero Wacik orangnya baik, tetapi orang baik mudah menjadi alat untuk kepentingan dari kekuasaan. Pertanyaannya, Jero Wacik diperalat atau dijadikan alat untuk meraup dana di kementerian yang dipimpinnya untuk kepentingan politik dari partainya.
Sumber Masalah
Dalam buku saya “Korupsi di Era Demokrasi” (2013) saya kemukakan bahwa sumber masalah adalah partai politik. Partai politik telah menjadi seperti industri atau perusahaan besar yang mempunyai banyak karyawan dan kantor cabang di provinsi, kabupatena dan kota di seluruh Indonesia.
Akan tetapi, partai politik yang telah menjadi industri atau perusahaan besar tidak menghasilkan profit (keuntungan) untuk mendanai atau menggaji karyawan yang bekerja di partai politik. Kalau mereka yang menjadi anggota parlemen (anggota DPRD atau DPR RI) tidak jadi masalah, tetapi staf harus digaji sebab mereka bukan malaikat.
Begitu pula biaya operasional kantor untuk membayar listrik, kebersihan dan lain sebagainya, serta biaya komunikasi dan operasional partai politik, dari mana sumber dananya.
Selain itu, yang memerlukan dana besar ialah kampanye pemilu legislatif yang harus diikuti partai politik, dari mana mengambil dana untuk membiayai semua yang dikemukakan diatas.
Dari iuran anggota parlemen jelas tidak cukup, begitu pula iuran anggota partai politik belum berjalan, sehingga satu-satunya jalan mendapatkan dana untuk membiayai semua kegiatan partai politik ialah dari kader-kader partai politik yang duduk di parlemen dan eksekutif (pemerintahan).
Jadi, Jero Wacik menjadi tersangka korupsi, saya tidak percaya karena motif serakah memperkaya diri sendiri, sebab dia dari latar belakang pengusaha, kalau dia dikatakan hidup bermewah-mewah, wajar saja seperti layaknya para pengusaha, tetapi saya menduga keras Jero Wacik melakukan pemerasan di kementeriannya seperti diberitakan media, bukan untuk kepentingan dia sendiri, tetapi karena menjadi ATM partai politik yang menaunginya.
Sebaiknya kasus Jero Wacik menjadi starting point untuk memikirkan sumber dana partai politik yang halal, misalnya negara menyediakan anggaran dari APBN dan APBD untuk biaya parpol misalnya 10 % bagi partai politik yang mendapat dukungan suara dalam pemilu di DPRD dan DPR RI, supaya para kader parpol tidak lagi menjadi ATM partainya dan berurusan dengan KPK.
Wallahu a’lam bisshawab
Sumber : http://ift.tt/1lAwNcQ