GAGASAN PILKADA MELALUI DPRD ADALAH LANGKAH MUNDUR YANG SANGAT MUNGKIN BERTUJUAN MELAKUKAN KUDETA MERANGKAK DAN ANTI NKRI
Rancangan Undang-Undang Pemilukada (RUU Pilkada) yang sedang ramai dibicarakan para politisi dan pengamat serta akademisi, layak kita cermati. Kenapa, karena pasca kekalahan yang dialami dalam pemilu presiden 2014, partai-partai yang tergabung didalam Koalisi Merah Putih lalu melakukan manuver lain, melakukan ‘perlawanan’ terhadap kekuatan pemerintah pusat, yang mulai tanggal 20 Oktober 2014 akan dipimpin oleh presiden dan wakil presiden baru, Jokowi dan Jusuf Kalla. Perlawanan dari daerah yang akan dilakukan adalah dengan merebut kursi kepala daerah, baik propinsi maupun kabupaten/kota. Apabila masih menggunakan aturan saat ini, maka Koalisi Merah Putih yang terdiri dari Partai Gerindra, Golkar, PKS, PAN, PPP, PBB dan Demokrat, dan menyebutnya sebagai koalisi permanen, walaupun mendominasi kursi DPRD Propinsi dan Kabupaten/Kota, masih sangat mungkin dapat dikalahkan karena pelaksanaan pemilihan langsung oleh masyarakat dalam banyak kasus seringkali diametral dengan kekuatan politik dewan. Untuk itulah, kemudian digagas cara lawas nan usang, yang bahkan sejak lama sebelumnya mereka gagas sendiri untuk diubah, yaitu tatacara pemilihan kepala daerah lewat DPRD, dan sebagai pintu pembuka maka UU Pilkada mereka rasakan perlu untuk dikembalikan seperti sebelumnya untuk melicinkan strategi tersebut.
Sebuah Langkah Mundur
Kenapa dikatakan sebagai sebuah langkah mundur? Karena hamper mayoritas orang-orang dan partai-partai yang saat ini sedang ngotot habis-habisan mengembalikan tatacara pemilihan lewat DPRD tersebut adalah orang-orang dan partai-partai yang juga ngotot untuk mengubah tatacara pemilihan langsung tahun 2004-2005 lalu. Dengan berbagai argumentasi, kala itu mereka menyatakan perlunya rakyat di daerah menentukan sendiri pemimpinnya. Hari ini, sikap mereka berubah 180 derajat. Mereka tiba-tiba memperkarakan tatacara pemilihan langsung karena dianggap boros biaya, memperluas praktik politik uang serta rawan konflik horizontal. Alasan yang terlalu dicari-cari karena ketiganya tetap dapat terjadi dalam system pemilihan perwakilan lewat DPRD.
Pemilihan lewat DPRD juga memiliki resiko politik uang, politik biaya tinggi serta rawan konflik horizontal. Dan semua hal itu dapat dibuktikan secara empirik. Politik uang dalam pilkada di DPRD juga marak politik uang. Bukan rahasia lagi bahwa dalam pilkada lewat DPRD, para calon kepala daerah juga menyetorkan sejumlah uang untuk rekomendasi dan dukungan partai, lalu yang lebih mengerikan terjadi distribusi uang yang juga tidak sedikit dari kandidat-kandidat ke para anggota dewan agar memberikan suaranya dalam pemilihan. Politik biaya tinggi juga tidak bisa dijadikan sebuah dasar argumen. Sudah sejak 9-10 tahun para politisi dan partai-partai di KMP juga terlibat aktif dalam praktik tersebut di pilkada-pilkada. Dan harus diingat bahwa hampir di semua pilkada, setidaknya setahun sebelum peristiwa pilkada di suatu daerah, putaran uang menjadi begitu tinggi dan akibat positifnya adalah tinggi pula daya beli masyarakat. Dan sekali lagi, para politisi dari partai-partai koalisi KMP terlibat langsung dalam peristiwa tersebut. Lalu soal konflik horizontal, taka da jaminan yang pasti bahwa pemilihan lewat DPRD tidak menciptakan konflik serius. Karena terpilihnya orang yang justru tidak diinginkan rakyat selalu memberi kemungkinan terjadinya perlawanan.
Menilik hal tersebut maka sebenarnya tidak ada yang perlu dibela dari tatacara lama pilkada itu. Bahkan, kita sama saja mengembalikan praktik politik uang ketangan para oligarki politik di dewan. Mereka menyantap habis distribusi dana pilkada dari hulu ke hilir tanpa memberi sedikitpun “tetesam” kepada rakyat. Mereka secara tidak langsung akan merampok kembali kedaulatan rakyat didaerahnya agar bisa mereka dominasi sendiri.
Belum lagi apabila ada kandidat dari unsur independen. Dimana muara bagi mereka agar dapat terpilih apabila mereka tidak memiliki ‘kaki’ di dewan setempat. Padahal dalam banyak peristiwa pilkada, calon independen banyak juga yang kemudian terpilih karena dianggap lebih layak oleh rakyat didaerahnya.
Melihat hal-hal tersebut maka adalah sangat mengada-ada apabila politisi dan partai dalam KMP kemudian bersikap justru ingin mengembalikan tatacara pemilihan kepala daerah lama yang justru tidak lebih baik dari tatacara yang sudah dijalankan saat ini. Mereka dapat disimpulkan hanya berpijak kepada kepentingan politik sepihak yang lebih disandarkan kepada sebuah strategi anti-thesis pasca kekalahan mereka dalam pilpres 2014.
Kudeta Merangkak yang Anti Negara Kesatuan Republik Indonesia
Kekalahan di tingkat pusat dalam pilpres 2014, membuat Koalisi Merah Putih (KMP) lalu mengubah haluan orientasi penguasaan kepemimpinan koalisi mereka ke daerah, baik propinsi dan kabupaten/kota. Tetapi resiko tetap sangat besar apabila pemilihan dilaksanakan secara langsung, karena bukan tidak mungkin jago-jago mereka akan gagal terpilih, senasib dengan jago mereka di pilpres. Harus diakui oleh KMP bahwa kekalahan dalam pilpres 2014 kemarin masih menyisakan faktor traumatik, karena kemudian tanpa mereka duga rakyat Indonesia justru memenangkan calon dari kubu lainnya. Mereka menjadi tidak percaya diri, takut peristiwa tersebut terulang kembali di pilkada. Dan sebagai ‘jalan keluar’ mereka kemudian menggunakan skenario primitif dan kadaluwarsa, yaitu mengubah UU pilkada menjadi seperti sebelumnya, pemilihan lewat DPRD setempat.
Sangat mudah ditebak bahwa apabila praktik itu terjadi maka KMP akan menguasai hampir seluruh propinsi dan kabupaten/kota di seluruh Indonesia. Mereka akan menguasai pos gubernur, bupati dan walikota, sekaligus “mengamankannya” lewat kekuatan politik di DPRD. Bayangkan saja bagaimana oligarki politik yang di disain KMP tersebut apabila benar-benar terealisasi. Akan ada kekuatan politik luar biasa besar di daerah-daerah yang sangat mungkin mengganggu stabilitas kebijakan politik pemerintah pusat yang bukan berasal dari kelompok yang berbeda faksi poltik dengan KMP. Belum lagi mereka dapat dipastikan ‘membungkam’ kekuatan politik yang berbeda dan berseberangan di tiap daerah. Dan sangat mungkin terjadi upaya politik yang dapat memutus garis kordinasi kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah pusat didaerahnya.
Praktik dari disain ini apabila benar terjadi dapat kita kategorikan sebagai upaya melakukan KUDETA MERANGKAK dengan cara melemahkan kekuasaan pusat lewat penguasaan politik di daerah-daerah. Terbayangkan apabila kemudian terjadi penolakan dan pembangkangan dari kepala-kepala daerah kepada pemerintah pusat. Dan jangan pernah katakan hal ini tidak mungkin karena para kepala-kepala daerah tersebut sudah dapat dipastikan dikendalikan oleh elit-elit partai koalisi mereka di Jakarta, yang sampai hari ini, mengucapkan selamat atas terpilihnya presiden dan wakil presiden baru saja enggan dan gengsi.
Selain itu, praktik penguasaan politik daerah oleh kekuatan non-pemerintah seperti yang dilakukan KMP ini hanya bisa dilakukan di negara-negara yang menganut sistem federal. Dalam konteks ini, harus dipahami bahwa dalam sistem kekuasaan pemerintahan dalam negara kesatuan kekuasaan politik daerah, sekalipun berseberangan faksi politiknya dengan kekuasaan pusat, tetapi tidak memiliki kendali menentang kebijakan politik di pusat. Undang-undang Otonomi daerah juga secara tegas memberi koridor-koridor baku tentang hal ini. Tetapi skenario penguasaan kekuasaan politik daerah lewat perubahan undang-undang seperti yang sedang dijalankan oleh KMP adalah bukan sebuah rencana sederhana. Skenario ini pasti telah dibuat sangat matang dan komprehensif, bukan sekedar menang pilkada, tetapi membentuk poros politik baru dari seluruh daerah sebagai kekuatan politik yang sangat dapat mengganggu kekuasaan politik di pusat. Hal mana yang sangat diharamkan dalam praktik bernegara dalam NKRI. Dan kalau saja hal-hal seperti ini dibiarkan terjadi maka bukan tidak mungkin praktik politik sistem pemerintahan federal akan terjadi di negeri kita, dan itu berarti sama senilai dengan menghianati Pancasila dan UUD 1945. Apabila kemudian praktik federalisasi daerah-daerah di Indonesia terjadi, maka hanya ada satu alas an yang paling mungkin dalam agenda apapun yang dapat menjerumuskan NKRI tersebut, yaitu adanya kekuatan asing yang pro-federalisme dibelakang skenario ini. Maka, sangatlah wajib hukumnya kita terus mengamati peristiwa ini secara lengkap dan cermat, sebagai bagian dari tanggung jawab kita sebagai rakyat yang telah sejak awal berkhidmat menjadi sebuah kesatuan Negara bangsa yang utuh.
Oleh : Irwan Suhanto, SH
Penulis adalah Peneliti Senior di Lembaga Kajian Strategis Nasional
Pendiri Indonesia Movement Study and Analysis Center (IMOSAC)
Sumber : http://ift.tt/1CIqMQL
Sebuah Langkah Mundur
Kenapa dikatakan sebagai sebuah langkah mundur? Karena hamper mayoritas orang-orang dan partai-partai yang saat ini sedang ngotot habis-habisan mengembalikan tatacara pemilihan lewat DPRD tersebut adalah orang-orang dan partai-partai yang juga ngotot untuk mengubah tatacara pemilihan langsung tahun 2004-2005 lalu. Dengan berbagai argumentasi, kala itu mereka menyatakan perlunya rakyat di daerah menentukan sendiri pemimpinnya. Hari ini, sikap mereka berubah 180 derajat. Mereka tiba-tiba memperkarakan tatacara pemilihan langsung karena dianggap boros biaya, memperluas praktik politik uang serta rawan konflik horizontal. Alasan yang terlalu dicari-cari karena ketiganya tetap dapat terjadi dalam system pemilihan perwakilan lewat DPRD.
Pemilihan lewat DPRD juga memiliki resiko politik uang, politik biaya tinggi serta rawan konflik horizontal. Dan semua hal itu dapat dibuktikan secara empirik. Politik uang dalam pilkada di DPRD juga marak politik uang. Bukan rahasia lagi bahwa dalam pilkada lewat DPRD, para calon kepala daerah juga menyetorkan sejumlah uang untuk rekomendasi dan dukungan partai, lalu yang lebih mengerikan terjadi distribusi uang yang juga tidak sedikit dari kandidat-kandidat ke para anggota dewan agar memberikan suaranya dalam pemilihan. Politik biaya tinggi juga tidak bisa dijadikan sebuah dasar argumen. Sudah sejak 9-10 tahun para politisi dan partai-partai di KMP juga terlibat aktif dalam praktik tersebut di pilkada-pilkada. Dan harus diingat bahwa hampir di semua pilkada, setidaknya setahun sebelum peristiwa pilkada di suatu daerah, putaran uang menjadi begitu tinggi dan akibat positifnya adalah tinggi pula daya beli masyarakat. Dan sekali lagi, para politisi dari partai-partai koalisi KMP terlibat langsung dalam peristiwa tersebut. Lalu soal konflik horizontal, taka da jaminan yang pasti bahwa pemilihan lewat DPRD tidak menciptakan konflik serius. Karena terpilihnya orang yang justru tidak diinginkan rakyat selalu memberi kemungkinan terjadinya perlawanan.
Menilik hal tersebut maka sebenarnya tidak ada yang perlu dibela dari tatacara lama pilkada itu. Bahkan, kita sama saja mengembalikan praktik politik uang ketangan para oligarki politik di dewan. Mereka menyantap habis distribusi dana pilkada dari hulu ke hilir tanpa memberi sedikitpun “tetesam” kepada rakyat. Mereka secara tidak langsung akan merampok kembali kedaulatan rakyat didaerahnya agar bisa mereka dominasi sendiri.
Belum lagi apabila ada kandidat dari unsur independen. Dimana muara bagi mereka agar dapat terpilih apabila mereka tidak memiliki ‘kaki’ di dewan setempat. Padahal dalam banyak peristiwa pilkada, calon independen banyak juga yang kemudian terpilih karena dianggap lebih layak oleh rakyat didaerahnya.
Melihat hal-hal tersebut maka adalah sangat mengada-ada apabila politisi dan partai dalam KMP kemudian bersikap justru ingin mengembalikan tatacara pemilihan kepala daerah lama yang justru tidak lebih baik dari tatacara yang sudah dijalankan saat ini. Mereka dapat disimpulkan hanya berpijak kepada kepentingan politik sepihak yang lebih disandarkan kepada sebuah strategi anti-thesis pasca kekalahan mereka dalam pilpres 2014.
Kudeta Merangkak yang Anti Negara Kesatuan Republik Indonesia
Kekalahan di tingkat pusat dalam pilpres 2014, membuat Koalisi Merah Putih (KMP) lalu mengubah haluan orientasi penguasaan kepemimpinan koalisi mereka ke daerah, baik propinsi dan kabupaten/kota. Tetapi resiko tetap sangat besar apabila pemilihan dilaksanakan secara langsung, karena bukan tidak mungkin jago-jago mereka akan gagal terpilih, senasib dengan jago mereka di pilpres. Harus diakui oleh KMP bahwa kekalahan dalam pilpres 2014 kemarin masih menyisakan faktor traumatik, karena kemudian tanpa mereka duga rakyat Indonesia justru memenangkan calon dari kubu lainnya. Mereka menjadi tidak percaya diri, takut peristiwa tersebut terulang kembali di pilkada. Dan sebagai ‘jalan keluar’ mereka kemudian menggunakan skenario primitif dan kadaluwarsa, yaitu mengubah UU pilkada menjadi seperti sebelumnya, pemilihan lewat DPRD setempat.
Sangat mudah ditebak bahwa apabila praktik itu terjadi maka KMP akan menguasai hampir seluruh propinsi dan kabupaten/kota di seluruh Indonesia. Mereka akan menguasai pos gubernur, bupati dan walikota, sekaligus “mengamankannya” lewat kekuatan politik di DPRD. Bayangkan saja bagaimana oligarki politik yang di disain KMP tersebut apabila benar-benar terealisasi. Akan ada kekuatan politik luar biasa besar di daerah-daerah yang sangat mungkin mengganggu stabilitas kebijakan politik pemerintah pusat yang bukan berasal dari kelompok yang berbeda faksi poltik dengan KMP. Belum lagi mereka dapat dipastikan ‘membungkam’ kekuatan politik yang berbeda dan berseberangan di tiap daerah. Dan sangat mungkin terjadi upaya politik yang dapat memutus garis kordinasi kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah pusat didaerahnya.
Praktik dari disain ini apabila benar terjadi dapat kita kategorikan sebagai upaya melakukan KUDETA MERANGKAK dengan cara melemahkan kekuasaan pusat lewat penguasaan politik di daerah-daerah. Terbayangkan apabila kemudian terjadi penolakan dan pembangkangan dari kepala-kepala daerah kepada pemerintah pusat. Dan jangan pernah katakan hal ini tidak mungkin karena para kepala-kepala daerah tersebut sudah dapat dipastikan dikendalikan oleh elit-elit partai koalisi mereka di Jakarta, yang sampai hari ini, mengucapkan selamat atas terpilihnya presiden dan wakil presiden baru saja enggan dan gengsi.
Selain itu, praktik penguasaan politik daerah oleh kekuatan non-pemerintah seperti yang dilakukan KMP ini hanya bisa dilakukan di negara-negara yang menganut sistem federal. Dalam konteks ini, harus dipahami bahwa dalam sistem kekuasaan pemerintahan dalam negara kesatuan kekuasaan politik daerah, sekalipun berseberangan faksi politiknya dengan kekuasaan pusat, tetapi tidak memiliki kendali menentang kebijakan politik di pusat. Undang-undang Otonomi daerah juga secara tegas memberi koridor-koridor baku tentang hal ini. Tetapi skenario penguasaan kekuasaan politik daerah lewat perubahan undang-undang seperti yang sedang dijalankan oleh KMP adalah bukan sebuah rencana sederhana. Skenario ini pasti telah dibuat sangat matang dan komprehensif, bukan sekedar menang pilkada, tetapi membentuk poros politik baru dari seluruh daerah sebagai kekuatan politik yang sangat dapat mengganggu kekuasaan politik di pusat. Hal mana yang sangat diharamkan dalam praktik bernegara dalam NKRI. Dan kalau saja hal-hal seperti ini dibiarkan terjadi maka bukan tidak mungkin praktik politik sistem pemerintahan federal akan terjadi di negeri kita, dan itu berarti sama senilai dengan menghianati Pancasila dan UUD 1945. Apabila kemudian praktik federalisasi daerah-daerah di Indonesia terjadi, maka hanya ada satu alas an yang paling mungkin dalam agenda apapun yang dapat menjerumuskan NKRI tersebut, yaitu adanya kekuatan asing yang pro-federalisme dibelakang skenario ini. Maka, sangatlah wajib hukumnya kita terus mengamati peristiwa ini secara lengkap dan cermat, sebagai bagian dari tanggung jawab kita sebagai rakyat yang telah sejak awal berkhidmat menjadi sebuah kesatuan Negara bangsa yang utuh.
Oleh : Irwan Suhanto, SH
Penulis adalah Peneliti Senior di Lembaga Kajian Strategis Nasional
Pendiri Indonesia Movement Study and Analysis Center (IMOSAC)
Sumber : http://ift.tt/1CIqMQL