Demokrasi, Pilkada tidak langsung : Perjalanan Panjang Sakit Hati
Masih hangat di ingatan bangsa ini, betapa menakjubkan dan sengitnya pertempuran menuju kursi RI 1 dan 2, berbagai dinamika politik terjadi, apa yang belum pernah terjadi, di pilpres tahun ini telah menjadi sejarah baru bagi bangsa kita. Demokrasi kita menjadi salah satu yang terbesar di dunia, hingga membuat banyak negara kagum dan belajar dari Indonesia. Demokrasi yang luar biasa ini lahir dari 2 tokoh yang tak akan terlupakan oleh waktu bahkan sejarah telah mencatatnya yaitu Jokowi dan Prabowo. Sang presiden terpilih dan rival sejatinya. Keduanya bagaikan langit dan bumi, air dan api, sejarah dan jalan hidup mereka berbeda.
Bagi saya, Jokowi adalah simbol demokrasi Indonesia, kita bisa telisik dari catatan hidupnya yang mencerminkan wajah demokrasi sesungguhnya. Ketika jadi Walikota Solo, beliau menghidupi nilai demokrasi sesungguhnya. Contohnya saja tindakan beliau yang paling fenomenal yaitu memindahkan PKL di Solo dengan cara musyawarah, mendengarkan, berbagi dan pastinya menyelesaikan, begitu juga ketika menjadi Gubernur DKI, berbagai program dilakukan dengan nilai demokrasi, pemindahan warga di sekitar sungai jakarta, normalisasi waduk dan sebagainya. Semuannya beliau lakukan dengan berpegang pada nilai demokrasi. Bahkan ketika beliau mencalonkan diri sebagai presiden, demokrasilah yang bicara, rakyatlah yang menginginkannya. Saya masih ingat sejarah yang dibuat oleh konser 2 jari, campaign ala Jokowi. Konser tersebut menunjukkan demokrasi sesungguhnya, suara rakyat yang sesungguhnya, bukan untuk menghujat menghalangi pemimpin seperti tahun 1998 tetapi menciptakan pemimpin. Jangan tanya alasannya kenapa? Renungkan saja baik-baik. Begitu juga ketika terpilih, dan dugugat oleh rivalnya, Jokowi tetap memegang nilai demokrasi sesungguhnya, beliau tidak “grasak-grusuk”, melainkan mendengarkan dan mempersilahkan. Bagi saya demokrasi adalah mendengarkan dan menyelesaikan, pemimpin adalah orang yang mendengarkan dan menyelesaikan masalah. Jadi kenapa demokrasi untuk memilih pemimpin, karena keduanya identik.
Sedangkan rivalnya Prabowo, bagi saya adalah simbol sakit hati yang tak terobati. Prabowo tidak bersalah, hanya masa lalulah yang membuat dia seperti itu. Saya percaya dan yakin bahwa there is always story behind the scene, everything happen for a reason. Sikap dan perbuatan seseorang dibentuk oleh proses hidup dan masa lalunya. Kenapa saya katakan simbol sakit hari ?. Kita lihat lagi dari perjalanan hidupnya. Prabowo hidup di dalam keluarga yang berbeda keyakinan, bahkan bangsa, benar atau tidak itu akan menimbulkan efek tersendiri bagi sikap dan perilakunya. Setelah itu, prabowo mengalami masa kelam di zaman Soeharto, beliau dituduh sebagai tokoh penculikan aktivis di era tersebut. Wajarkah jika beliau sakit hati?, ya wajar saja, apalagi jika ia benar-benar tidak bersalah, itu hal yang manusiawi bukan?.
Kemudian di tahun 2009, beliau mencalonkan diri sebagai wakil presiden dan kalah. Mungkinkan beliau sakit hati? mungkin saja. Tahun 2014 ia dikhianati “katanya” oleh Megawati, dengan munculnya pesaing terberat nya Jokowi. Mungkinkah beliau sakit hati ? mungkin saja, kenapa tidak !. Bukan hanya Prabowo saja yang memiliki sakit hati tersebut, tetapi orang yang mendukungnya di pilpres di 2014 juga sakit hati , oleh karena itu saya menyebut koalisainya dengan koalisi “sakit hati”. Lihat saja sang ketua pemenangannya Mahfud MD, beliau terang-terangan mengatkan bahwa tidak bisa tidur karena sakit hati. Oh My God !. Adalagi sang ketum Golkar, Aburizal Bakrie yang ditolak oleh PDI-P karena menyodorkan terlalu banyak menteri, dan masih banyak nama lain seperti Rustriningsih, Rhoma Irama, Amien Rais dan lainnya. Kemudian koalisi ini kalah dalam pertarungan sengit tersebut, dan mennggugat KPU, apaboleh dikata hasilnya nihil juga. Namun ternyata sakit hati mereka tak berujung, mereka mulai membuat strategi baru yaitu dengan menguasai legislatif dengan UU MD3, yang secara tidak langsung ingin menjegal kekuasaan koalisis Jokowi di legislatif dan dapat melemahkan keberadaan eksekutif nantinya, serta yang hangat saat ini yaitu Pilkada tidak langsung, dengan tujuan ingin menguasai 31 provinsi beserta daerah di dalamnya. Bagi saya semuanya terlihat sebagai hasil “sakit hati”, tidak ada sikap legowo dan mementingkan rakyat di dalam setiap kebijakan yang mereka ambil.
Masyarakat saya rasa pintar untuk menilai yang benar dan salah, baik dan tidak baik. Tahun ini pelajaran demokrasi terbaik bagi saya. Memperlihatkan apa itu demokrasi sesungguhnya. Demokrasi lahir dari kesadaran akan kepentingan bersama, dengan fokus kepada orang lain bukan diri sendiri maupun golongan. Dimana ketika nilai ini ada, pastilah demokrasi menjadi alat untuk kemajuan bangsa. Namun jika demokrasi hanya lahir dari sakit hati dan kepentingan pribadi dan golongan, dengan fokus pada diri sendiri/keakuan, maka hasilnya hanyalah gugat-menggugat, penyanderaan, dan pastinya kemunduran bagi bangsa Indonesia.
Level kebahagiaan terendah adalah bahagia untuk diri sendiri, yang tertinggi adalah kebahagiaan untuk orang banyak
-@MalindoAndhi-
Sumber : http://ift.tt/1tJSDgJ
Bagi saya, Jokowi adalah simbol demokrasi Indonesia, kita bisa telisik dari catatan hidupnya yang mencerminkan wajah demokrasi sesungguhnya. Ketika jadi Walikota Solo, beliau menghidupi nilai demokrasi sesungguhnya. Contohnya saja tindakan beliau yang paling fenomenal yaitu memindahkan PKL di Solo dengan cara musyawarah, mendengarkan, berbagi dan pastinya menyelesaikan, begitu juga ketika menjadi Gubernur DKI, berbagai program dilakukan dengan nilai demokrasi, pemindahan warga di sekitar sungai jakarta, normalisasi waduk dan sebagainya. Semuannya beliau lakukan dengan berpegang pada nilai demokrasi. Bahkan ketika beliau mencalonkan diri sebagai presiden, demokrasilah yang bicara, rakyatlah yang menginginkannya. Saya masih ingat sejarah yang dibuat oleh konser 2 jari, campaign ala Jokowi. Konser tersebut menunjukkan demokrasi sesungguhnya, suara rakyat yang sesungguhnya, bukan untuk menghujat menghalangi pemimpin seperti tahun 1998 tetapi menciptakan pemimpin. Jangan tanya alasannya kenapa? Renungkan saja baik-baik. Begitu juga ketika terpilih, dan dugugat oleh rivalnya, Jokowi tetap memegang nilai demokrasi sesungguhnya, beliau tidak “grasak-grusuk”, melainkan mendengarkan dan mempersilahkan. Bagi saya demokrasi adalah mendengarkan dan menyelesaikan, pemimpin adalah orang yang mendengarkan dan menyelesaikan masalah. Jadi kenapa demokrasi untuk memilih pemimpin, karena keduanya identik.
Sedangkan rivalnya Prabowo, bagi saya adalah simbol sakit hati yang tak terobati. Prabowo tidak bersalah, hanya masa lalulah yang membuat dia seperti itu. Saya percaya dan yakin bahwa there is always story behind the scene, everything happen for a reason. Sikap dan perbuatan seseorang dibentuk oleh proses hidup dan masa lalunya. Kenapa saya katakan simbol sakit hari ?. Kita lihat lagi dari perjalanan hidupnya. Prabowo hidup di dalam keluarga yang berbeda keyakinan, bahkan bangsa, benar atau tidak itu akan menimbulkan efek tersendiri bagi sikap dan perilakunya. Setelah itu, prabowo mengalami masa kelam di zaman Soeharto, beliau dituduh sebagai tokoh penculikan aktivis di era tersebut. Wajarkah jika beliau sakit hati?, ya wajar saja, apalagi jika ia benar-benar tidak bersalah, itu hal yang manusiawi bukan?.
Kemudian di tahun 2009, beliau mencalonkan diri sebagai wakil presiden dan kalah. Mungkinkan beliau sakit hati? mungkin saja. Tahun 2014 ia dikhianati “katanya” oleh Megawati, dengan munculnya pesaing terberat nya Jokowi. Mungkinkah beliau sakit hati ? mungkin saja, kenapa tidak !. Bukan hanya Prabowo saja yang memiliki sakit hati tersebut, tetapi orang yang mendukungnya di pilpres di 2014 juga sakit hati , oleh karena itu saya menyebut koalisainya dengan koalisi “sakit hati”. Lihat saja sang ketua pemenangannya Mahfud MD, beliau terang-terangan mengatkan bahwa tidak bisa tidur karena sakit hati. Oh My God !. Adalagi sang ketum Golkar, Aburizal Bakrie yang ditolak oleh PDI-P karena menyodorkan terlalu banyak menteri, dan masih banyak nama lain seperti Rustriningsih, Rhoma Irama, Amien Rais dan lainnya. Kemudian koalisi ini kalah dalam pertarungan sengit tersebut, dan mennggugat KPU, apaboleh dikata hasilnya nihil juga. Namun ternyata sakit hati mereka tak berujung, mereka mulai membuat strategi baru yaitu dengan menguasai legislatif dengan UU MD3, yang secara tidak langsung ingin menjegal kekuasaan koalisis Jokowi di legislatif dan dapat melemahkan keberadaan eksekutif nantinya, serta yang hangat saat ini yaitu Pilkada tidak langsung, dengan tujuan ingin menguasai 31 provinsi beserta daerah di dalamnya. Bagi saya semuanya terlihat sebagai hasil “sakit hati”, tidak ada sikap legowo dan mementingkan rakyat di dalam setiap kebijakan yang mereka ambil.
Masyarakat saya rasa pintar untuk menilai yang benar dan salah, baik dan tidak baik. Tahun ini pelajaran demokrasi terbaik bagi saya. Memperlihatkan apa itu demokrasi sesungguhnya. Demokrasi lahir dari kesadaran akan kepentingan bersama, dengan fokus kepada orang lain bukan diri sendiri maupun golongan. Dimana ketika nilai ini ada, pastilah demokrasi menjadi alat untuk kemajuan bangsa. Namun jika demokrasi hanya lahir dari sakit hati dan kepentingan pribadi dan golongan, dengan fokus pada diri sendiri/keakuan, maka hasilnya hanyalah gugat-menggugat, penyanderaan, dan pastinya kemunduran bagi bangsa Indonesia.
Level kebahagiaan terendah adalah bahagia untuk diri sendiri, yang tertinggi adalah kebahagiaan untuk orang banyak
-@MalindoAndhi-
Sumber : http://ift.tt/1tJSDgJ