Debat Ilusi Pilkada Tak Langsung Oleh Orang ‘Netral’
Di kompasiana beberapa waktu yang lalu, ada orang ‘netral’ yang ndableg mempertahankan pemilu tidak langsung melalui tulisannya. Meskipun dia ‘netral’, tapi stancenya, sangat tidak netral sekali bukan? Dan lebih memihak koalisi ’sana’, hihihihi. Anyhoo, saya melihat tulisan ini di toa-eslam.com yang as always, mengutip dari kompasiana agar terlihat ’sedikit pintar’ dalam mempertahankan argumennya. Seberapa ‘pintar’ mereka, saya sebagai ‘troll’ akan menyelak orang ‘netral tersebut!’, selamat menikmati :
Pendukung Jokowi : Pilkada oleh DPRD adalah balas dendam sakit hati Prabowo ambisius gagal move on.
Orang netral : Pembahasan pilkada oleh DPRD dalam RUU Pilkada sudah dilakukan sejak tahun 2012 oleh pemerintah, akademisi dan berbagai kalangan. Tidak ada hubungan dengan Prabowo Subianto.
Troll : Meskipun ini agak ad hominem, bukankah koalisi merah putih, mayoritas menolak RUU Pilkada tak langsung itu? Menurut Mahfud MD dan sumber berita saya, PKS, Gerindra, dan koalisi lainnya menolak. Pada waktu itu yang setuju pemilihan tidak langsung hanya Demokrat dan PKB, PKB pun setuju pemilihan Gubernur secara langsung pada waktu itu. Mengapa Golkar, PAN, PKS, dan Gerindra dulu setuju-setuju saja, dan berubah pada saat mereka membentuk Koalisi Merah Putih? Jelas ada hubungannya dengan Prabowo, karena Gerindra, partainya Prabowo sendiri melakukan anomali ini.
Orang Netral : Lha, mas, orang kan bisa aja berubah pikiran, bukan, siapa tahu mereka sadar plus minusnya Pilkada langsung?
Troll : Wah, mas, pilkada langsung itu paling nggak udah terjadi sejak 7 tahun lalu lho! Gerindra, PKS, Demokrat, PKB, PAN, dan partai lain kecuali PPP mendukung penuh itu pemilihan Gubernur di tempat saya pas Adang Daradjatun PKS melawan Foke dari Demokrat. Kok baru 7 tahun baru nyadar, sebelumnya kok Go with the flow begitu? Dan kok kebetulan sekali ya, pas terbentuk ‘koalisi permanen’, baru menolak? Kalo konsisten, harusnya mereka tolak dari dahulu bukan?
Pendukung Jokowi : Pilkada oleh DPRD adalah taktik busuk Koalisi Merah Putih yang gila kekuasaan.
Orang netral : Mayoritas pilkada langsung oleh rakyat periode 2004-2014 justru dimenangkan oleh parpol yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih. Silahkan telusuri parpol pengusung gubernur, bupati, walikota yang menang pilkada langsung di Indonesia pasti didominasi partai dalam Koalisi Merah Putih. Jadi Koalisi Merah Putih sudah berkuasa dengan pilkada langsung dan tak ada gunanya pilkada oleh DPRD. Justru Koalisi Merah Putih berkorban mendukung pilkada oleh DPRD belum tentu menang. Bisa saja partai koalisi Jokowi menang pilkada oleh DPRD kalau pintar menggalang dukungan.
Troll : Permasalahannya di sini, ‘mayoritas’ yang menang itu perlu di studikan lebih lanjut, contohnya Gubernur Irwan Prayitno dari PKS itu menang, padahal daerah itu bukan daerah PKS, daerah PKS hanya Jabar, sebagian Jatim, dan DKI. Di luar Jawa, mereka hampir tidak ada wilayah. Pokok permasalahannya bukan di Partai Pengusungnya, tapi kehendak rakyat yang ada. Dan tidak mustahil pula, PDIP dan PKS bergandengan tangan memenangkan salah satu kepala daerah, pernah ada Gerindra-PKS seperti Ridwan Kamil yang jadi Walikota Bandung. Kalau anda berargumen, harusnya anda gunakan konteks hubungan mereka (oposisi atau pemerintahan) pada saat itu, bukan pada saat ini. Daerah seperti Sumbar, Sumut itu bukan daerah PKS, tapi mereka bisa memenangkan pemilu. Juga Bali daerah PDI-P tetapi yang menang di situ calon dari Demokrat. Apa salah jika otak saya berfikir KMP mau ‘mensecure’ kemenangan mereka? Selama pilkada itu langsung, hasilnya bisa fluktuatif, seperti Pilkada Jakarta, dimana Koalisi gemuk (Demokrat, PKS, Golkar, Hanura,dsb) dikalahkan koalisi ramping seperti Gerindra dan PDI-P. Hubungan antar partai pun fluktuatif, mana bisa langsung disimpulkan, koalisi merah putih menang pilkada langsung seperti itu? Apa Ahok bisa menang tanpa Jokowi? Dan Jokowi jelas lebih sulit memenangkan itu, karena bias ke partai sendiri selalu ada. Logika analoginya, anda datang dulu ke arena silat, anda tanam jebakan di situ, baru lawannya melawan anda, itu fair tidak? Katanya koalisi agamis, kok curang sih? Koalisi Merah Putih entah Gila kekuasaan atau memang goblok nggak ketulungan dengan uraian di atas, entah mana yang benar.
Pendukung Jokowi : Pilkada oleh DPRD menyuburkan korupsi terutama Money politics anggota DPRD.
Orang netral : Selama ini hasil pilkada langsung oleh rakyat adalah 330 orang kepala daerah terlibat korupsi atau 60 persen kepala daerah. Karena pilkada langsung oleh rakyat membutuhkan dana kampanye lebih besar. Misalkan money politics untuk pilkada oleh DPRD adalah Rp 10 miliar yang bisa diatasi dengan pengawasan KPK dan PPATK. Tapi biaya kampanye untuk pilkada langsung bisa lebih dari Rp 50 miliar termasuk money politics untuk rakyat yang tidak bisa diawasi KPK dan PPATK. Kepala daerah terpilih oleh rakyat cenderung menebar anggaran populis untuk memikat rakyat sehingga APBD di semua daerah mengalami defisit besar alias bangkrut. APBD defisit bisa disahkan karena kepala daerah menyuap anggota DPRD. Sehingga dalam pilkada langsung oleh rakyat terjadi money politics ganda.
Troll : Anda benar soal double money politics, tapi kembali ke diri masing-masing, money politics adalah urusan moral. Dan pengusungan salah satu kandidat Bupati, Walkot, atau Gubernur juga sarat dengan uang. Dengan logika anda, bisa dong saya katakan pilkada tak langsung double money politics karena calon kadanya melakukan serangan fajar ke Partai? Ya, hal ini pun berlaku pada pilkada langsung, tapi itu bukan alasan yang cukup untuk membatalkan pilkada langsung. Seperti yang saya bilang, itu tergantung moral. Dan sebenarnya, kenetralan anda diragukan, 330 orang itu data dari manakah? Bukannya dari Fadli Zon(k), yang kubunya Prabowo? Berarti anda perlu diragukan netral atau tidak. Kalau anda netral, anda buat data sendiri dan kasih data2nya. Dan 330 orang itu, juga perlu dilihat dalam konteks, apa itu terjadi SETIAP TAHUN atau selama 10 TAHUN terjadi? Kalau terjadi selama 10 tahun, bisa dibilang itu angka yang moderat. Money politics DPRD dan DPR, kalau menurut konteks anda ‘serangan fajar’, sama dengan argument anda yang diatas kalau KPK/PPATK money politicsnya juga tidak dapat diawasi. Kalau money politics ini dalam suap antara Cakada dan DPR setempat, kenapa KPK tidak bisa menelusurinya, padahal suap itu metodenya 2 pihak? Intinya satu ketangkep, yang lainnya pasti ketangkep. Dan satu lagi, kebijakan ‘populis’ itu definisinya apa? Kalau merangkup semua rakyat, bukankah itu memang tujuan demokrasi sebenarnya? Defisit ABPD/APBN malah disebabkan oleh beberapa Anggota DPRD yang ‘memerah’ BUMN, Kepala Daerah, dan hasil ‘bagi2 untung’ melalui kepala Daerah. Dana kampanye besar itu juga benar, tapi KMP tidak berhak ngomong begitu, wong mereka aja minta pemilu ulang kok, biayanya jelas lebih besar. :v
Pendukung Jokowi : Pilkada oleh DPRD tidak demokratis seperti Wahhabi dan mencabut hak pilih rakyat.
Orang netral : Sila ke-4 Pancasila justru menganjurkan agar demokrasi rakyat dipimpin oleh permusyawaratan dan perwakilan. Rakyat masih punya hak pilih untuk anggota DPR/DPRD dan presiden. Banyak negara yang rakyatnya tidak memilih langsung malah maju seperti China dan Singapura. Banyak pemimpin besar Indonesia yang lahir dari pemilihan tidak langsung seperti Soekarno (dipilih BPUPKI), Soeharto (dipilih MPR), Ali Sadikin (mantan Gubernur Jakarta), HZB Palaguna (mantan Gubernur Sulsel), Mardiyanto (mantan Gubernur Jateng) dan lain-lain, mereka semua punya keberhasilan. Banyak kepala daerah di Indonesia periode 1999-2004 yang dipilih DPRD malah berhasil dan bersih dari korupsi. Kalau pemilu dianggap segalanya berarti harus ada pemilu juga untuk memilih anggota lembaga negara seperti KPK, MK, BPK, kementerian, dan lain-lain. Agar Indonesia bisa menjadi negara dengan pemilu terbanyak.
Troll : Sila ke 4 Pancasila berbunyi Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. Saya tidak tahu bagaimana anda menginterprestasi sila ke – 4, tapi pemilihan Kepala Daerah selama ini adalah voting dan voice of majority consent, yang jelas juga, tergantung interpretasi, melanggar sila ke -4, atau anda mau mengkompromi Pancasila? Sillahkan, itu hak anda. China merupakan negara yang politiknya korup, meskipun maju, keadaannya seperti Golkar pada era Soeharto. Pemimpin seperti Soeharto, Soekarno, juga memiliki kekurangan. Anda tidak fair dalam menilai orang. Soekarno pun adalah pemimpin yang cukup buruk dalam manajemen negara, terbukti krisis berkali-kali dan sampai dijatuhkan. Soeharto pun juga begitu, pemerintahannya berujung pada Krismon, ketidakrukunan Pribumi dengan Chinese, Islam dengan nonmuslim, seperti Kristen, dan mengambil stance pro-USA pada awalnya, dan pro-Jihadis di akhir pemerintahannya. Kedua ‘batch’ pemerintahan Soeharto adalah tipikal dictator opresif. Jaman Soekarno dan Soeharto juga kekuasaannya ‘mutlak’ di tangan Presiden, bukan seimbang seperti sekarang. Dan 1999-2004 tidak dapat dibilang ‘bebas korupsi’ pula, karena gaya kepemimpinan pada era tersebut masih tertutup. Anda juga harus memberikan data, berapa yang korupsi pada era itu atau ‘berapa yang ketahuan’, karena lembaga antikorupsi belum ada sejak Megawati yang membentuk KPK, dan ICW juga belum banyak kerjanya saat era itu. Bagaimana anda bisa menyimpulkan ‘Sedikit Korupsi’? Soal Amerika dan China, bukankah KMP ‘anti-asing dan aseng’ dan ‘anti komunis’? Kenapa mereka menerima saja memiliki prinsip yang sama dengan USA, Singapura, dan China yang mereka ‘tidak senangi’?
Anda juga menyalahkan posisi kami yang menanggap ‘pemilu adalah segalanya’, salah sama sekali, karena saya masih mendukung pemilihan Lurah secara ditunjuk. Dan saya yakin, relawan Jokowi pun sama. Kami menudukung pemilu tak langsung karena prinsip otonomi daerah sendiri, dan karena ruang lingkup Provinsi yang luas dan dibutuhkan demokrasi di mana rakyat berperan secara langsung memilih pemimpinnya, bukan DPRD, karena konteks yang saya jelaskan, dimana DPRD tidak selalu ‘sejalan’ dengan rakyat? Karena anda gunakan Amerika sebagai contoh, sah bukan kalau saya menanggap prinsip Demokrasi Amerika ‘dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat’ jadi argument saya? Masalah di sini adalah memberikan rakyat berekspresi LEBIH LUAS dalam batas kewajaran. Misalnya anda punya anak, anda berikan anak itu hadiah yang lebih bagus, tapi masih dalam range kocek anda. Itu prinsip saya. Kalau lurah atau camat dipilih memang saya tidak setuju, karena ruang lingkup mereka terlalu kecil. Dan dipilih oleh Kepala Daerah yang lebih tinggi masih ‘wajar’. Anda pun salah dengan mengatakan lembaga Yudisial harus dipilih oleh rakyat, karena dalam konteksnya, lembaga Yudisial harus independen, artinya tidak ada Partai Politik yang mengusungnya, dan cara mengusung ketua atau anggotanya pun jauh berbeda dari eksekutif dan legislatif.
Pendukung Jokowi : Pilkada oleh rakyat sudah hasilkan pemimpin hebat seperti Jokowi, Risma dll.
Orang netral : Tetapi pilkada oleh rakyat sudah hasilkan 330 orang kepala daerah koruptor, lebih dari 3.000 orang anggota DPRD koruptor karena proyek kepala daerah populis, semua APBD defisit dan bangkrut dan konflik kerusuhan di berbagai daerah terutama Sumatera, Kalimantan dan Indonesia Timur. Apakah memang sedemikian mahalnya untuk menghasilkan segelintir pemimpin hebat harus mengorbankan lebih banyak lagi? Pemimpin hebat karena pilkada langsung pun masih relatif. Artinya dia hebat menurut pendukungnya sendiri tapi dinilai gagal oleh kelompok lain. Berarti yang menang di pilkada langsung oleh rakyat belum tentu pemimpin hebat tapi pemimpin populis.
Troll : Soal 330 itu, saya sudah bahas perlu data yang lebih detail lagi. Anda mengatakan DPRD koruptor, tapi anda mendukung DPRD memilih pemimpin itu juga tidak logis. Apalagi populis sebenarnya adalah dasar yang baik bagi pemimpin. Saya juga membutuhkan data 3000 pemimpin DPRD itu. Konflik kerusuhan ada dan dipupuk oleh pemimpin yang anda bilang hebat di pertanyaan sebelumnya, yaitu Soeharto yang memupuk mental fundamentalist yang memperparah konflik Maluku (yang menjadi sore point di Timur hingga sekarang), begitu juga Jabar yang dominasi PKS jadi daerah paling intoleran menurut LSM social. sementara Sumatera didominasi oleh justru partai Koalisi Merah Putih di situ. Sementara Jateng yang damai didominasi PDI-P, dan begitu juga provinsi Bali dan NTT. Konflik ada bukan dasar penilaian bagi kepala daerah, karena di Jakarta pun, juga masih terjadi beberapa konflik. Kalau anda mau appeal ke kerelativitas penilaian orang, orang2 fundamentalis pun menilai Ali Sadikin itu buruk karena melegalkan red light district yang menjadi sore point koalisi merah putih yang agamis seperti PKS dan PPP. Sementara Koalisi partai Jokowi yang dinilai liberal malah anteng dengan lokalisasi Red Light District. Bisa saja saya bilang yang diangkat tak langsung buruk dan yang langsung semuanya baik, Dengan kerelativitas itupun, level kata2 anda hanya opini dan tidak layak dipertanggung jawabkan dalam RUU, karena RUU membutuhkan bukti solid. Dan pemimpin yang hebat dan dipilih secara langsung pun tidak ‘segelintir’. Karena anda tidak memberikan data, maka kata ‘segelintir’ itu pun juga dasarnya opini dan tidak dapat dipertanggung jawabkan. Saya pun bisa membalikkan pernyataan anda, apa anda lebih mementingkan uang negara dan ‘segelintir’ pemimpin baik lewat DPRD dibandingkan nurani rakyat? Ingat…PKS dan Gerindra ini partai yang paling suka ‘bacot’ rakyat rakyat rakyat. Kalau konsekuen, harusnya anda menilai banyak yang ‘baik’ dalam kempemimpinannya, karena anda pun saat menilai orang baik atau buruk itu juga opini pribadi.
Pendukung Jokowi : Pilkada oleh DPRD sangat buruk karena anggota DPRD banyak yang terlibat skandal korupsi seksual narkoba dll ditambah anggota DPRD yang suka tidur saat rapat dan ijazah palsu.
Orang netral : Pilkada oleh rakyat juga bisa buruk karena rakyat Indonesia juga ada yang penjahat pemabuk pembunuh dll ditambah pendidikan mayoritas rakyat Indonesia (98%) adalah SD SMP SMA hanya 2% rakyat Indonesia yang mengenyam pendidikan universitas. Berbeda dengan anggota DPRD yang mayoritas pendidikannya universitas. Hanya sebagian kecil anggota DPRD berpendidikan rendah.
Troll : Dengan logika yang sama menurut pernyataan anda di atas, pileg DPRD juga dapat dihapuskan. Karena rakyat bakal cenderung memilih DPRD yang buruk? Pembunuh, Pemabuk dan yang lain kalau masih bebas cenderung apatis, mana ada orang yang punya otak, dia membunuh dan masuk ke TPS tanpa rasa berdosa? Kalau yang di Lapas, itu juga tergantung dia memilih siapa dan bagaimana perkembangan mentalnya. Saya juga dengar di Lapas Korupsi dimana pendidikan orang mayoritas Universitas, Prabowo dan KMP menang di Lapas Anggota Korupsi itu. Sementara pendidikan seseorang, tidak membuat orang ‘buta politik’, karena lulusan SD paling tidak sudah bisa baca, dan bisa tahu karakteristik pemimpin2 yang ada. Buruh yang lulusan rendah pun banyak yang memilih Prabowo pada pemilu sebelumnya, dan juga Jokowi. Apa ‘melek politik’ syaratnya adalah lulusan Universitas? Setahu saya banyak anggota DPR ‘geblek’ seperti Fadli Zon, Ruhut Sitompul, Fachri Hamzah yang semuanya menyandang gelar yang tinggi, tapi tidak cukup observan menilai gerakan politik. Malah etika semua orang ini perlu dipertanyakan. Makanya rakyat yang polos dan masih ‘nuranik’ hidupnya perlu mengontrol Kepala Daerah mereka, karena tidak bisa dipercaya orang2 di atas ‘memilih orang yang tepat’. Jadi DPRD ya tak becus memilih kepala daerah, itu kesimpulannya.
Pendukung Jokowi : Pilkada oleh DPRD adalah isu SARA Wahhabi menghadang pemimpin non Islam.
Orang netral : Mayoritas pilkada langsung oleh rakyat selama ini dimenangkan oleh pemimpin Islam. Karena parpol tidak mau mengajukan pemimpin non Islam yang peluang menangnya kecil. Hanya Kalbar, Kalteng, Sulut, Bali, NTT, Maluku, Papua yang pilkada langsung banyak dimenangkan oleh pemimpin non Islam. Bahkan pilkada di Sumut malah dimenangkan pemimpin Islam padahal Sumut banyak orang non Islam. Pilkada langsung oleh rakyat juga selalu dimenangkan pemimpin dari suku mayoritas dan menciptakan gejala sukuisme. Karena pemimpin mendapat dukungan dari sukunya sendiri dan menyuburkan ormas suku di berbagai daerah terutama Sumatera, Kalimantan dan Indonesia Timur. Masyarakat Indonesia terpecah belah menjadi suku dan agama tertentu karena pilkada langsung. Dengan pilkada oleh DPRD bisa diharapkan kaum minoritas dapat dimajukan biasanya sebagai wakil.
Troll : Kenyataannya, ada orang non muslim menang di daerah mayoritas muslim dan muslim menang di daerah mayoritas nonmuslim. Soal memecahkan belah Indonesia, itu sebenarnya menurut kenyataan tidak benar, karena seperti yang anda bilang, yang mayoritas pun tetap jadi pemimpin di wilayahnya, bagaimana bisa Indonesia terpecah belah karena alasan tersebut? Dalam Pancasila, konteksnya siapapun boleh jadi pemimpin, apapun SARAnya, dan tampaknya tidak ada konflik berlanjut di daerah yang anda berikan, itu bukti bahwa memang rakyat paling tidak sudah cukup pintar untuk memisahkan Agama dengan Pemerintahan. Dan soal ormas, ormas-ormas social seperti itu cenderung hanya sedikit dan tidak mempengaruhi pemilu secara signifikan. Dan saat pilkada DPRD, Gubernur Manado ada yang non Kristen, padahal 60% di situ warganya menganut Kristen (Protestan dan Katolik). Ormas yang intoleran justru mendukung pilkada tak langsung seperti FPI, karena takut wakil kepala daerahnya pun ada yang non muslim. Justru yang menyebabkan perpecahan adalah ormas2 seperti ini. Dan mereka bias ke KMP. Jadi bagaimana?
Pendukung Jokowi : Kesimpulannya pilkada oleh DPRD layak diajukan?
Orang netral : Kemungkinan besar pilkada tetap langsung oleh rakyat. Karena Koalisi Merah Putih berbalik akibat tekanan para pendukung Jokowi yang kurang cerdas. Toh akhirnya Koalisi Merah Putih yang diuntungkan dengan pilkada langsung karena mayoritas pilkada langsung dimenangkan oleh mereka. Pilkada langsung memberatkan APBD APBN dan menciptakan konflik kerusuhan di daerah yang ditanggung oleh pemerintahan Jokowi sendiri. Parpol Koalisi Merah Putih yang jumlah kursi DPRD kecil seperti Gerindra dan PKS lebih untung diadakan pilkada langsung oleh rakyat
Troll : Lha, kalau begitu, kenapa kader2 KMP malah menolak pilkada langsung? Bukankah harusnya mereka mendukung pemilu langsung? Apa ada kader yang menolak partainya untuk menang? Kalau dia buat partai untuk kalah yo wis, bubarkan aja, jadikan lembaga pengamat politik saja, karena ngapain buat Parpol kalau tak kampanye dan tidak punya jiwa mau jadi pemimpin? Pilkada Langsung memang memberatkan APBD dan APBN, tapi yang diperjuangkan di sini adalah idealisme, bukan masalah untung-rugi. Bukankah KMP juga bilang bukan masalah dana, tapi masalah keadilan? Kalau anda memang seorang pragmatis yang memikirkan untung rugi, apa lebih baik kita jadi China atau North Korea saja, dan tidak perlu ada pemilu? Karena toh, memilih lewat DPRD dan langsung tak ada bedanya juga, hasilnya juga sama bukan? Jadi apa solusinya? Ya tetap saja pada pendirian masing-masing. Karena setiap hal ada plus minusnya. Saya secara pribadi lebih ingin memilih, karena justru pilkada langsung malah jadi ‘ajaran politik’ gratis bagi warganya, buat warga lebih melek politik dan tahu mana lawan mana kawan dalam pemerintahan. Kalau lewat DPRD, logisnya, bisa saja itu nggak sreg sama pilihan mereka. Bukankah pemilu itu berdasarkan nurani? Memang ada batas kewajaran pada praktisnya, tapi jika memang mungkin, biarlah rakyat menggunakan nurani mereka lebih banyak dalam memilih, bukan?
Sumber : http://ift.tt/1ub9eXk