Suara Warga

Cukup Sudah. Harta Rakyat Satu Ini Tak Boleh Dirampas

Artikel terkait : Cukup Sudah. Harta Rakyat Satu Ini Tak Boleh Dirampas





14105067761640078034

Para Kepala Daerah tolak pilkada tak langsung | Sumber : harian Kompas



Akhir-akhir ini polemik perihal Rancangan Undang-undang (RUU) Pemilihan Kepala Daerah terus bergeliat dan mendapati banyak sorotan. Bagaimana tidak, RUU yang direncanakan akan disahkan pada sidang paripurna DPR, 25 September 2014 ini memuat mekanisme pemilihan Kepala Daerah yang semula dari pemilihan langsung menjadi pemilihan tidak langsung, yakni melalui DPRD. Secara hitung-hitungan angka persetujuan anggota dewan, tampaknya RUU ini akan mulus disahkan mengingat peta kekuatan parlemen saat ini memang dikuasai sepenuhnya oleh fraksi yang menghendaki pemilihan Kepala Daerah dilakukan melalui DPRD. Yaa…fraksi-fraksi yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih tampaknya akan mulus berjalan menuju pengesahan UU tersebut sebagaimana mulusnya langkah mereka dalam mengesahkan UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3). Namun sejatinya tampak menarik jika melihat gerak cepat langkah anggota dewan yang kurang dari sebulan lagi akan tergantikan oleh anggota dewan baru ini. Ibarat kata, mereka (read : anggota dewan pro RUU) membelok di tikungan jalan. Mudah saja, pada awal Januari 2014 mayoritas fraksi menolak pemilihan Kepala Daerah melalui DPRD. Bahkan hingga Mei 2014 (sebelum Pilpres), PAN dan PKS konsisten menolak mekanisme pemilihan Kepala Daerah melalui DPRD. Namun sekarang? Yaa…dalam waktu singkat, sikap keduanya berubah arah. Dari yang semula menilai pemilhan Kepala Daerah secara langsung lebih sedikit “mudharat”nya berbalik 180 derajat. Pertanyaannya apa sebenarnya motif yang melandasi sikap kedua partai ini berikut partai-partai Koalisi Merah Putih? Benarkah semua didasari demi kepentingan rakyat? Apakah alas an mereka betul karena ingin menghemat anggaran? Ataukah justru malah sebaliknya? Yaa…ini patut untuk dipertanyakan. Mata publik tentu menyoroti dalam sikap Koalisi Merah Putih pasca “kekurang-beruntungnya” mereka pada Pilpres 9 Juli lalu, di mana harus diakui, pasangan Prabowo-Hatta kalah.

Rakyat Indonesia belum genap 10 tahun melakukan partisipasinya dalam menentukan calon pemimpin daerahnya. Inilah sebuah demokrasi yang berkedaulatan rakyat. Demokrasi yang menempatkan kekuasaan tertinggi di tangan rakyat. Lalu, akankah hak rakyat untuk memilih pemimpinnya akan “dirampas” begitu saja oleh mereka yang dulunya dipilih untuk duduk di kursi dewan? Saat ini, mereka yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih gencar menyuarakan alasan sikap mereka karena dilatarbelakangi efisiensi anggaran dan kembali ke dasar negara, Pancasila sila ke-4. Alasan lainnya karena pemilukada secara langsung rentan money politic dan konflik social.

Okelah…tapi yang perlu kita ingat, jangan mendustai sejarah. Tak ada asap kalaulah tak ada api. Beralihnya mekanisme pemilihan Kepala Daerah dari yang dulu tak langsung menjadi langsung seperti sekarang ini adalah buah dari reformasi. Yaa…tentulah kita ingat, era-era di mana Kepala Daerah dipilih oleh DPRD penuh dengan nuansa transakasional, money politic, dan KKN. Tak ada sebuah tanggungjawab moral yang mengikat seorang Kepala Daerah. Tak ubah pula seoarang Kepala Daerah sebagai…(maaf)… “sapi perah”. Yaaa…bagaimana tidak, seorang Kepala Daerah dipilih oleh DPRD dengan suara minimum 50+1 persen suara anggota dewan. Implikasinya apa? Seorang Kepala Daerah akan kehilangan nyali saat berhadapan dengan anggota dewan. Keputusan-keputusannya tentu akan banyak bermuatan kepentingan anggota dewan dari fraksi parpol yang memilihnya dulu. Jangn harap, si pemimpin daerah bernyali besar berbeda pendapat dengan DPRD, yang hanya adalah ketakutan. Yaaa…mudah saja, DPRD yang mengangkat, maka DPRD dengan mudah pula menggertak akan memberhentikan. Lalu…di manakah tanggungjawab kepada rakyat? Mudah saja. Dahulu mereka dipiholeh DPRD tanpa membuat janji kepada rakyat. Dahulu mereka dipilih tanpa visi-misi yang disampaikan pada rakyat. Mau menagih janji terhadap mereka nantinya? Jangan harap.

Sekarang berbicara tentang anggaran pemilukada, yang selalu dijadikan alasan si Koalisi Merah Putih. Saat dikatakan biaya akan lebih hemat kalau pemilukada dilakukan secara tak langsung. Pertanyaannya, taruhlah oke..tapi pertanyaannya, apakah langkah mengubah UU Pemilihan Kepala Daerah merupakan cara satu-satunya untuk mengatasi hal demikian? Orang bijak berkata, politikus itu hanya memikirkan tujuan jangka pendek, tapi seorang negarawan akan lebih mementingkan tujuan jangka panjang. Seorang anggota dewan yang pandai dan mampu menggunakan akal pikirannya, pastilah akan mencari solusi alternatif daripada mencari jalan pintas untuk menghemat anggaran. Kenapa para dewan yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih tak memilih solusi pemilukada serentak untuk menghemat anggaran? Kenapa para anggota dewan yang berpredikat sarjana-sarjana itu tak berpikir luas dan jauh ke arah jangka panjang demi menjunjung masa depan demokrasi di negeri ini? Tak sempat terpikirkankah bahwa suatu ketika negeri ini akan mampu seperti negara-negara maju lainnya di mana kelak e-voting dipergunakan? Apakah negeri ini dianggap terus bodoh dan bodoh ataukah justru rakyat saat ini akan dibodohi oleh dewan-dewan Koalisi Merah Putih?. Menarik untuk disimak. Sesungguhnya apa motif Koalisi Merah Putih ini. Suara-suara lantang para Kepala daerah sudah disuarakan. Ada Ridwan Kamil (Walikota Bandung), Nurmahmudi Ismail (Walikota Depok), Gatot Pudjo Nugroho (Gubernur Sumatera Utara), Bima Arya (Walikota Bogor), hingga Wakil Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama di mana justru mereka diusung oleh partai-partai yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih.

Oh..para anggota dewan periode 2009-2014 dari Koalisi Merah Putih. Di antara engkau akan tergantikan pada 1 Oktober kelak. Engkau-engkau akan digantikan oleh anggota dewan yang baru. Namun di akhir-akhir masa keanggotaannmu, apakah engkau akan mewariskan pengkhianatan demokrasi atas nama rakyat? Kau mengatakan dasar pemikiranmu adalah berdasar kembali ke sila ke-4 Pancasila? Betulkah itu. Terus yang Pilpres 9 Juli lalu bagaimana? Itu bertentangan dengan Pancasila? Hanya orang yang bodoh dan berpikiran sempit kalu mempergunakan alasan itu. Oh..yaa..saya tahu. Untuk pilpres, saudara menggunakan dasar UUD 1945 hasil amandemen. Lucu sekali yaaa….di sisi lain Saudara mempersoalkan pilkada langsung, tapi di sisi lainnya anda menerima pilpres langsung. Ataukah…jangan-jangan setelah ini, Koalisi Merah Putih akan menggalang suara (entah dengan cara bagaimana), agar terkumpul 2/3 suara kemudian mengamandemen UUD 1945, dan akhirnya mengubah Pilpres langsung menjadi tak langsung. Siapa tahuu…gerak politik si Koalisi Merah Putih perlahan mulai terbaca sedikit demi sedikit.. Yaa… pasca kalah pilpres, bukan pilihan rakyat yang diperjuangkan tapi justru hasil pilihan DPRD yang diperjuangkan. Hemmm…




Sumber : http://ift.tt/1BxaOaw

Artikel Kompasiana Lainnya :

Copyright © 2015 Kompasiana | Design by Bamz