Suara Warga

BUKAN DEMOKRASI TERPIMPIN

Artikel terkait : BUKAN DEMOKRASI TERPIMPIN

Baru-baru ini saya tau, ternyata masih ada juga kekuasaan yang hingga detik ini belum juga diregulasi kepemimpinannya. Ini melebihi kisah Demokrasi Terpimpin yang menjadikan presiden sebagai kepala negara seumur hidup, dan lebih jauh dari Demokrasi Pancasila yang kelewatan masa hingga menunggak 32 tahun lamanya. Dan kali ini bukan jabatan kekuasaan presiden yang kita bicarakan, melainkan jabatan seorang ketua Rukun Tetangga (RT) disalah satu desa di Kota Blitar, yang begitu ekstrem masa kepemimpinannya melampaui rezim-rezim yang pernah berkuasa di negeri ini. Malah jauh melampaui, ketika kedua rezim tersebut sudah harus rehat dalam lembaran sejarah.

Mbah Rejo, begitulah kiranya sapaan akrab beliau. Seorang ketua RT 08 sudah menjabat selama puluhan tahun ketika Orde Lama masih meradang menguasai, hingga detik ini, belum juga menunjukan bakal diregulasi kepemimpinannya. Tak ada yang istimewa dalam masa kepemimpinan Mbah Rejo menjadi ketua RT selama itu. Sebuah desa yang masih asri dengan hamparan sawah berhektar-hektar luasnya, kiranya tak memikirkan dalam-dalam tentang jabatan ketua RT yang seyogyanya harus diregulasi secara berkala. Tak ada yang salah memang dari kultur penduduk setempat yang masih dekat dengan adat dan tradisi mengikat, jika di daerah perkotaan jabatan RT hanya menaungi paling luas 3 sampai 5 deret gang di perumahan perkotaan, namun itu belum apa-apa dibandingkan dengan letak kekuasaan Mbah Rejo yang ukurannya bukan lagi deretan tapi hampir seluas kekuasaan lurah di daerah perkotaan, bahkan lebih.

Tak habis pikir, sebagaian besar warga tak mempermasalahkan mengenai regulasi kepemimpinan di RT 08. Mbah Rejo diangkat sebagai ketua RT di usia yang begitu belia. Hingga sekarang tak kurang dari 6 cicit telah mengukuhkannya sebagai kakek-kakek, tetap saja belum ada posisi yang menggantikan. Jabatan bagi Mbah Rejo, tak lebih dari sebuah kepercayaan dan tanggung jawab. Sekedar jabatan ketua RT yang tak terlalu terikat seperangkat aturan mengikat yang rawan manipulasi kecurangan, Mbah Rejo termasuk salah seorang yang bisa dipotret trackrecordnya dalam memimpin populasi penduduk RT 08. Kultur warga desa tak bisa dipungkiri memberi sedikit banyak pengaruh, rasa memiliki dan kedekatan yang tak usah dibilang sedekat apa jaraknya untuk orang-orang pedesaan. Manusia-manusia yang mendiami suatu wilayah tersebut tak terlalu memikirkan betapa jauhnya jarak ketika seorang pemimpin sudah serasa seperti bapak atau keluarga sendiri. Dengan kebijakan-kebijakan yang bentuknya serupa hal-hal baik atau sesuatu yang mengenakkan alias memudahkan, tak lagi harus diteriakkan atau ditulis diselebaran-selebaran surat kabar, Mbah Rejo bagaikan kepala rumah tangga yang berisikan warga RT 08 sebagai anggota keluarganya.

Bisa-bisanya bertahan puluhan tahun lamanya, tak lebih dari rasa nyaman memiliki seorang pemimpin seperti Mbah Rejo yang tau persis karateristik warganya, tau penyakit-penyakitnya, dan tau obat-obat yang cocok untuk mengobatinya, hingga kebijakan tepat sasaran dan memuaskan adanya. Terlepas dari kebijakan yang memuaskan dan dianggap oleh para warga, tak usah diadakan regulasi kepemimpinannya, tak lebih dari trauma yang telah mengakar. Orde Baru tiba-tiba runtuh dengan cara pengerahan masa adalah imbas dari sang pemimpin yang tak mampu bersikap sebagai bapak dari anggota keluarganya. Sampai-sampai ada salah satu anggota keluarganya yang merengek minta jatah uang belajaan atau minta ingusnya di seka, tak tau harus diapakan. Rakyat tak lagi punya pilihan ketika memilih calon seorang bapak, antara mengupayakan dengan ‘memilih’ atau pasrah dengan ‘membiarkan’. Ketika jatah untuk melangsungkan regulasi kepemimpinan cuma diberikan tiap 5 tahun sekali. Sekali dapat kesempatan tak mau dibuang cuma-cuma. Meskipun, toh ujungnya bapak-bapak yang dipilih mendadak lupa dan pikun mendadak, kalau sudah berkeluarga dan punya anak. Perihal Orde Baru yang bengkak sekian tahun lamanya, tak lebih dari sekedar kesalahan teknis hati nurani yang dilapisi rompi anti peluru dan pisau belati.

Mbah Rejo bukan eksponen Demokrasi Terpimpin atau Demokrasi Pancasila, atau eksponen-eksponen komunisme khas paska merdeka. Mbah Rejo cuma sekedar mengayomi, meski tanpa mendengar kerumunan massa menggunakan hak manusiawinya untuk bersuara atas kebebasan berpendapatnya, Mbah Rejo sudah tau apa yang harus dilakukannya, dan warga-warga yang lain tak pernah kapok hingga bertahun-tahun lamanya memasrahkan nasibnya. Karena Mbah Rejo seorang kepala keluarga yang tak punya banyak kamar bersekat di dalam rumah yang ia pimpinnya. Semua anggota keluarga dibiarkan tidur dan berkumpul bercengkrama disebuah ruang tamu merangkap kamar keluarga yang sempit namun mesra, disatu tempat. Nyatanya tak seperti seharusnya, Orde Baru sekat dimana-mana, ruang tertutup menjadi tempat paling asyik berkumpul dan merancang aturan-aturan kelanjutan aksi mengamankan kekuasaan demi kemaslahatan perseorangan atas kelompok-kelompok pribadi. Mengakibatkan aturan-aturan yang dianggap buruk tak bisa dihilangkan, karena telah berakar, dan menjalar berkelanjutan menggelayuti orde-orde lain setelahnya.

Mbah Rejo tetap menjadi alternatif jawaban atas stereotip kepemimpinan yang terikat dengan instansi formal penuh dengan tata cara dan aturan. Malah menjadi rebutan. Warga RT 08 sudah tak pusing lagi, halusinasi akan kepemimpinan yang lebih baik sudah menjelma di diri Mbah Rejo yang tak lagi prima fisiknya, tapi tetap menjadi pilihan. Dan berbalik membuat iri kita-kita yang bukan warga RT 08.

Sampai kapan Mbah Rejo bakal memimpin RT 08 yang beruntung itu. Sampai mati atau sebelum mati, akan diserahkan ke salah seorang yang lagi dianggap tepat oleh kebanyakan. Pemimpin selayaknya menjelma seorang kepala keluarga, seorang bapak yang tau kondisi anak-anak yang telah dilahirkannya atau kondiisi tempat tinggal dimana keluarga tersebut menetap dan beranak pinak. Bukan seperti Mas Toyib yang jarang pulang. Sesekali menghampiri, dihamili, lantas tinggal pergi.

Negara ini butuh seorang Mbah Rejo, bukan Mas Toyib. Terserah rakyat, suruh rakyat bersuara untuk pilih yang mana. Rumah sempit tanpa sekat. Atau rumah megah dengan tembok kaca anti peluru penuh sekat.




Sumber : http://ift.tt/WzNz05

Artikel Kompasiana Lainnya :

Copyright © 2015 Kompasiana | Design by Bamz