Suara Warga

Taring yang Tanggal

Artikel terkait : Taring yang Tanggal

Sedikit banyak hal-hal yang saya ketahui setelah menempuh kumparan jenjang pendidikan terakhir dalam kurun waktu 4 bulan ini. Beberapa hal mulai saya pahami, tapi hampir kebanyakan malah masih belum mengerti. Yang paling membingungkan adalah sampai detik ini saya masih saja mencari apa itu fungsi sebenarnya dari almamater yang saya kenakan ini, dan merujuk pada sebuah definisi awal apa yang mendasari motif saya pribadi, tentang demoralisasi yang nyata & kontras di depan pelupuk mata saat terlibat secara tidak langsung dalam sebuah sistem yang bermetaforakan agama.

Untuk saat ini, memang masih baru. Tapi tidak untuk berdiam diri. Apa yang ada didepan sudah mulai nampak bercaknya sedikit timbul meskipun masih halus samar-samar. Fungsi dari seonggok mahasiswa cuma sebagai hakim yang memutuskan. Apakah mereka yang menjadi pemegang tongkat bayonet masih layak berdiri memimpin atau mereka sudah sepantasnya dibidik dangan kaliber laras panjang diatas mimbar dihadapan para jemaat. Rezim sepenuhnya berada dalam kendali oleh Rakyat setelah 1966 orde lama tumbang dan 1998 orba digulingkan. Apakah saat ini masih seperti itu ?

Siapa pelakunya ? Siapa otaknya ? (sepertinya mahasiswa). Yang jelas bukan sekumpulan pemalas diladang marijuana milik mertuanya, dan yang pasti mereka adalah sekumpulan pemuda, pemuda dengan atau tanpa embel-embel kepentingan politik atau golongan. Mereka tahu dalam rentang waktu sekian tahun, pasti akan lebih berat. Begitulah kiranya, para pemuda mengkalkulasikan, kemungkinan rezim yang mereka anggap buruk hancur begitu pula kebatilan juga sirna. Ternyata tidak, karena kebatilan sebuah orde tak lantas sirna dengan penguasanya. Seperti itu situasi yang sejarah pernah mencatat dengan tinta-tinta hitam bercetak tebal. Upaya menunjukan tapal kebenaran & kejujuran tak semulus yang dikira membalikan telapak tangan yang penuh luka sobek di ujung jari dan memar pada pergelangan.

Tak cukupkah semua rasa sakit, kehancuran cita-cita, dan hilangnya kepercayaan menjadi tonggak penopang semangat revolusioner ala Soekarno, tak cukupkah menjadi tombak suksesor kehidupan bernegara dengan segala mitos-mitos kemerdekaan yang telah kita amieni 68 tahun yang lalu.

Tak cukupkah media elektronik maupun media massa memapangkan parodi pejabat institusi yang mengalimkan diri atas skandal-skandal bejat. Segelintir rakyat pribumi masih terlentang ditrotoar jalan protokol kota, dengan tangan menengadah kemudian berucap (aku masih lapar, Tuan?), petani & pedagang mulai gusar bukan kepalang, mau diapakan lagi sayuran & buah-buahnya busuk mereka. Apakah pemuda era modernisasi masih melihat ini ? atau pemuda bisa melihat ini ? dibalik indahnya tatanan pemerintahan demokrasi politik jual-beli.

Untuk itu kita dihadirkan dalam tatanan sistem pendidikan bertipologokan negara. Karena kita adalah proyeksi paling kecil dari jajaran pulau-pulau berteritori yang disebut negara. Seperti apa jadinya proyeksi terkecil ini, kita yang berhak merencanakan, mengatur dan merebahkan segala bentuk sketsa rancangan politik kenegaraan yang masih dalam tahap berkecambah. Ini yang harus kita perhatikan, bahwa kita telah disiapkan sebagaimana mestinya penerapan politik kenegaraan yang sesungguhnya akan berlangsung.

Disinilah letak seorang pemuda dengan ritme menantang akan menjadi pemegang tongkat estafet selanjutnya yang berlumuran lendir-lendir kelamin Ibu Pertiwi sudah lama terbujur kaku 58 tahun, 10 tahun sebelum merdeka. Cukupkah hanya merealisasikan dengan sekeranjang cibiran, apatisme meradang dikalangan aktivis mahasiswa (yang katanya) penggerak perubahan mobilitas pemerintahan, sayang….. gigi taring mereka sudah tak mampu menggigit kerasnya daging anjing-anjing tua, bergerak dibawah suar dengan bendera merah, kuning, hijau simbolis tanda tak mampu. Mahasiswa berprestasi cuma bisa menjadi tukang dengan doktrin kehidupan mewujudkan kelangsungan hidup layak dengan cita-cita fanatisme mereka.

Kalau memang Wiji Thukul menyerukan para pemuda mahasiswa untuk bergegas melalui puisi “Peringatan ” dengan sebuah kalimat;

Hanya ada satu kata: Lawan !

Lantas dengan apa diri ini mampu….. Bila rakyat tidak berani mengelu h,

karena…….. Kebenaran pasti terancam

Lantas apa yang akan kita perbuat…….Apabila usul ditolak tanpa ditimbang ,

apakah pemuda kita harus……. Dituduh subversif dan mengganggu keamanan

Rasa rasanya benar, kalau orang yang pernah hidup dalam kemelut batin yang hancur semasa pengasingan hidupnya begitu geram dengan kita, sebagai anak-anaknya yang lalim teriak lalim. Harus menelan bogem mentah kebohongan dan kebodohan karena kemunafikan yang lebih dipilih daripada rasa malu karena diasingkan. Begitukah kita malu karena kita patut malu, karena kita tak memiliki imajinasi berfikir yang baru untuk menopang kutukan negara ini.





Dengang beberapa kecuali, generasi kemerdekaan ini adalah generasi yang tidak siap untuk mengambil alih tanggung jawab kemasyarakatan. Guru-guru yang tidak cukup terdidik, sarjana-sarjana pengetahuannya sepotong-potong atau polisi yang tidak tahu tugasnya sebagai penegak hukum.

Pada akhirnya mereka akan berpaling lagi pada segelinir yang punya kemampuan dalam bidangnya dan pola masyarakat yang separuh terdidik dengan “trial and error” masih akan berlangsung terus. Di sinilah terletak kontradiksi generasi kemerdekaan. Antara cita-cita untuk mengisi kemerdekaan dari rasa impotent dalam pelaksaanya. Dan generasi inilah yang akan mewariskan Indonesia dalam waktu yang tidak lama lagi
.(Soe Hok Gie ‘Catatan Seorang Demonstran’ 30 juli 1968)




Sumber : http://ift.tt/1rUMDzB

Artikel Kompasiana Lainnya :

Copyright © 2015 Kompasiana | Design by Bamz