Suara Warga

Beranikah SBY Setujui RUU Pilkada Baru?

Artikel terkait : Beranikah SBY Setujui RUU Pilkada Baru?

Dalam satu minggu terakhir, Panitia Kerja (Pokja) DPR cukup serius membahas RUU Pemilihan Umum Kepala Daerah (Piklada) yang mengganti cara pemilihan Gubernur dan Walikota/Bupati dari pemilihan umum secara langsung oleh rakyat menjadi pemilihan oleh DPRD. Rencananya RUU ini akan dibawa ke rapat komisi untuk selanjutnya dibahas di Rapat Paripurna DPR di minggu kedua atau ketiga bulan September. Berdasarkan UUD 1945 hasil amandemen, Presiden memiliki wewenang untuk menolak Undang-Undang. Dalam waktu 30 hari, setelah RUU diajukan DPR, maka Presiden akan menentukan sikapnya apakah menerima (menandatangani RUU menjadi UU) atau menolak. Momentum ini sangat berdekatan sebelum lengsernya kekuasaan SBY tanggal 20 Oktober 2014.

Fraksi DPR yang berada dibawah Koalisi Merah Putih (Gerindra, Golkar, PAN, dan PKS) dan Partai Demokrat mendukung RUU Pilkada baru. PKS yang sebelum pilpres menolak, sekarang balik badan mendukung. Sementara Fraksi DPR dalam koalisi Jokowi-JK baru PDIP dan Hanura yang tegas menolak RUU Pilkada baru yang membuat demokrasi Indonesia kembali ke masa Orde Baru. Presiden Terpilih Joko Widodo (Jokowi) tidak setuju dengan RUU Pilkada yang baru ini. Sejumlah politisi PDIP pun angkat bicara, jika RUU ini disahkan maka figur pro-rakyat seperti Jokowi, Risma, dan Emil (Ridwan Kamil) tidak akan pernah dapat terpilih menjadi kepala daerah. Pemilihan kepala daerah akan menjadi politik transaksional dalam fraksi DPRD. Bakan Wakil Gubernur DKI Jakarta (Basuki Tjahja Purnama atau Ahok) yang notabene adalah kader Gerinda juga menolak RUU ini. Sementara PKB masih mempertimbangkan sikapnya.

Masyarakat dapat menilai bahwa sikap fraksi koalisi merah putih dan Partai Demokrat yang menerapkan politik texbook, yaitu bekerja dengan pencitraan seolah-olah untuk kepentingan rakyat tapi sebenarnya untuk memperkaya diri sendiri dan golongan. Bahkan beberapa kalangan gusar dengan manuver politik DPR yang sebentar lagi akan menyelesaikan tugasnya ini. Mereka lebih mementingkan kekuasaan bagi partai dan kelompoknya daripada kekuasaan untuk kesejahteraan rakyat. Setelah kalah di pilpres kemarin, mereka menggunakan segala cara untuk mendapatkan kekuasaan, kekuasaan, dan kekuasaan yang bekerja untuk kepentingan golongan.

Jika RUU ini diajukan setelah Jokowi menjadi Presiden, maka masyarakat yakin bahwa Jokowi akan menolak RUU Pilkada yang jelas-jelas tidak pro-rakyat. Namun RUU ini akan diajukan DPR sebelum SBY mengakhiri masa jabatannya tanggal 20 Oktober mendatang. Rakyat akan mencatat bagaimana sikap SBY di akhir masa jabatannya. Beranikah SBY menolak RUU ini ?




Sumber : http://ift.tt/1vYtYWH

Artikel Kompasiana Lainnya :

Copyright © 2015 Kompasiana | Design by Bamz