Suara Warga

2014 Tahun Kematian Partai Gerindra

Artikel terkait : 2014 Tahun Kematian Partai Gerindra

Partai Gerindra (selanjutnya Gerindra) melakukan blunder fatal dengan membiarkan kader bintangnya, Ahok mengundurkan diri. Ini adalah hal yang biasa bagi saya karena Ahok sudah pernah menyatakan tak keberatan jika harus mundur dari partai selagi partai yang diikutinya tak sesuai nuraninya. Ungkapan ini disampaikan Ahok ketika masih menjadi anggota DPR RI dari Partai Golkar. Secara emosional, Ahok pun tak memiliki ikatan batin dengan Gerindra. Ahok adalah kader Gerindra yang “dibeli” dari partai lain. Sebelum di Gerindra, Ahok adalah politisi Golkar. Ahok sendiri memulai debut sebagai politisi melalui Partai Perhimpunan Indonesia Baru (Partai PIB) yang dibentuk oleh ekonom asal Kudus, Dr. Sjahrir. So, tak ada masalah berarti jika Ahok harus mundur dari Gerindra. Beda kasusnya jika hal ini menimpa Jokowi. Jokowi memulai debut sebagai politisi melalu PDIP. Jadi bagi Jokowi, PDIP memiliki ikatan batin kuat. Sementara bagi Ahok, Gerindra hanya “tukang ojeg” saja. Ahok lebih dekat dengan Prabowo alih-alih Gerindra, meski sebenarnya tak terlalu dekat.



Persoalan ini memang dipicu oleg blunder Gerindra yang melakukan manuver tak bermanfaat, mempermasalahkan pilkada langsung dan mengusulkan menghapuskannya. Banyak yang mengatakan ini adalah kemunduran demokrasi. Tapi kurang tepat juga. Penolakan sebagian besar masyarakat terhadap usulan pilkada tidak langsung memang banyak didasari dari kinerja DPRD yang belum teruji secara klinis. Masyarakat masih menilai bahwa DPRD adalah Dewan Perampok Rakyat Daerah. Logikanya, dalam negara dengan sistem presidensil, mengapa pemilihan eksekutif dipegang oleh legislatif? Kalau memang ditunjuk, lebih baik ditunjuk oleh presiden saja yang notabene eksekutif puncak di negara ini.



Gerindra mungkin sudah lupa bahwa Ahok adalah bintang yang memiliki harga jual tinggi terhadap masyarakat. Semakin banyaknya masyarakat yang tak mempermasalahkan unsur SARA ketika pemilu membuat nama Ahok diharapkan maju sebagai presiden dalam pemilu 2019 kelak atau minimal wakil presiden. Selain Ahok, ada Ridwan Kamil, kader Gerindra lain yang cukup menyedot perhatian masyarakat. Ketika seorang kader partai menjadi kepala daerah di daerah besar, media akan banyak meliputnya ketika kinerjanya sangat baik atau sangat buruk.



Setelah pemilu 2014 usai, Gerindra tak bisa lagi bergantung pada Prabowo Subianto. Prabowo sudah habis, 2014 adalah ajang terakhirnya sebagai kontestan pemilu. Gerindra sebaiknya memanfaatkan posisi berada di luar pemerintahan pusat dengan mempersiapkan kader mereka menghadapi pilkada. Hal ini telah dilakukan oleh PDIP selama 10 tahun terakhir. Ketika pilkada diperkenalkan, berbarengan dengan posisi PDIP yang sedang berada di luar pemerintahan pusat. PDIP sendiri yang fokus melakukan manuver menguasai lokal sembari tetap berkompetisi dalam level nasional pun mendapat hasil memuaskan kala mereka menang pemilu legislatif dan pemilu presiden tahun ini. PDIP banyak memenangkan pilkada dalam posisi utama atau wakil. Mereka pun tak sungkan bergandengan dengan partai yang di pusat justru berada di seberang mereka. Misalnya bergandengan dengan Partai Golkar untuk pilkada propinsi Banten. Padahal untuk level pusat sendiri, PDIP berada di luar pemerintahan dan Golkar berada di dalam pemerintahan.



Dalam pemilu 2019 kelak, usia Ahok baru 52 tahun sedangkan Prabowo sudah mendekati kepala tujuh. Jika Prabowo masih menjadi calon presiden yang diajukan oleh Gerindra, kemungkinan besar Prabowo akan kalah. Bahkan dengan kemungkinan 5 tahun pemerintahan Jokowi-JK mendapat rating buruk sekalipun. Jika Jokowi mendapat rating baik, ia akan bisa melanjutkan kiprahnya sebagai RI 1, seperti SBY. Jika Jokowi mendapat rating buruk, kemungkinan besar masyarakat akan mencari nama lain di luar Prabowo atau Jokowi. Ahok adalah salah satu nama yang menjadi alternatif.



Gerindra sendiri, mau tidak mau harus mengakui bahwa selama ini mereka bergantung pada Prabowo. Mereka masih menjadi partai yang kekuatannya berada pada satu sosok tertentu. Ibarat PDIP beberapa tahun lalu ketika masih bergantung dengan Megawati, PKB dengan Gus Dur, dan juga Demokrat yang masih bergantung pada SBY. Partai-partai semacam ini rentan jatuh ketika tokoh sentralnya tak lagi bisa menebar pesona. PDIP menyadari hal ini. Mereka pun meroketkan kader-kader mudanya menjadi kepala daerah melalui pilkada langsung. Sebut saja Ganjar Pranowo, Tri Rismaharini, Abdullah Azwar Anas, dan yang paling fenomenal adalah Jokowi. Sayang PKB dirundung masalah ketika mereka “memecat” Gus Dur. Demokrat pun gagal karena kader utama mereka banyak terjerat kasus korupsi.



Ketika 2009, Gerindra menjadi partai debutan dengan hasil yang lumayan. 2014 mereka masuk 3 besar, di bawah 2 partai tua. Posisi mereka bahkan lebih baik daripada Demokrat. Tapi harap diingat, suara Gerindra banyak disumbangkan oleh perjuangan Prabowo sendiri alih-alih pesona partai. Pun dengan dalih bahwa tak ada kader mereka yang korupsi. Dalih ini hanya sebagai “bonus” saja.



Sementara masyarakat sudah melihat bahwa dalam pemilu kali ini Prabowo mengalami kekalahan telak. Perjuangan Prabowo untuk masuk ke Istana sejak 2004 gagal total dengan blunder-nya membawa Jokowi ke Jakarta. Lebih baik Prabowo duduk di kursi saja sambil ngopi, menikmati sisa-sisa hidupnya dengan status duda kaya raya. Untuk Gerindra sendiri lebih baik diserahkan kepada Ahok saja sebagai penguasanya. Dengan demikian, Gerindra mengurangi ketergantungan terhadap Prabowo meski masih memiliki ketergantungan lain kepada Ahok jika skenario ini berjalan. Ahok memiliki pemikiran yang bagus untuk membangun partai. Ia bisa membuat Partai PIB sebagai partai baru mendapatkan suara. Ini tak main-main. Dengan mengurangi ketergantungan pada tokoh sentral, Gerindra bisa mengikuti jejak Golkar yang sudah terorganisasi rapi meski belakangan kembali kacau.



Gerindra sudah kalah di pemilu 2014 ini. Ketua umum mereka, profesor telo, Suhardi, juga sudah meninggal dunia. Tokoh sentral mereka, Prabowo, sudah habis jika dipaksa terjun 5 tahun mendatang. Manuver gila mereka saat ini akan membuat masyarakat antipati. Jangan lupa, sikap mereka yang seperti ini bisa saja membuat langkah Ahok diikuti kader bintang mereka yang lain, Ridwan Kamil. Dengan segala blunder yang Gerindra lakukan, dapat dipastikan dalam pemilu 2019 nanti mereka akan mengalami kekalahan telak. Tahun 2014 bukanlah tahun kematian Suhardi saja, ketua umum mereka, tetapi tahun kematian Partai Gerindra sendiri.



B.Rb.Pa.151135.100914.17:26




Sumber : http://ift.tt/1qh9NBd

Artikel Kompasiana Lainnya :

Copyright © 2015 Kompasiana | Design by Bamz