Surat Tak Terbaca Untuk Pak Jokowi
Surat ini jelas kecil bagi Bapak.
Di tengah apresiasi publik dunia, saya hanyalah remaja pengagum yang suaranya tertutupi arus puja-puji raksasa.
Saya tak berharap ketinggian agar pesan ini dibaca, tapi paling tidak, Bapak sudah, sedang dan akan tetap punya seorang pendukung yang telah menitip masa depan bangsanya di tangan kerempeng milik Bapak.
Saya masih ingat kapan kita pertama kali berjumpa, memang tak langsung, karena ada sekat kaca yang membatasi raga.
Waktu itu Bapak sedang diserang habis-habisan di salah satu TV swasta. Isu SARA katanya.
Saya duduk berjam-jam di depan layar teve ketika Bapak dicecar seorang pedangdut yang mengaku raja. Orang tua Bapak difitnah, disebut punya agama yang berbeda.
Ah, di saat orang lain mungkin balas lempar amuk untuk membela diri, Bapak malah mengaku idolai penghujat Bapak waktu itu. Saya merinding, ketika pukulan telak itu Bapak balas dengan tawa tulus memaafkan, bahkan Pak Joko sampai berdendang tenang untuk dia yang sudah mencipta dusta.
Bapak menguat di tengah badai cibir, di antara tumpuk-tumpuk fakta yang nyatanya dipelintir.
Bapak pun memenangi petarungan orang nomor satu di Jakarta, memimpin dan berkarya di sana walau tak terlalu lama. Tapi singkatnya masa yang Bapak lewatkan di ibukota tetap meninggalkan harap dan pinta: kapan bangsa ini punya pemimpin yang lahir dan tumbuh dari bawah?
Asal Bapak tahu saja, berlembar-lembar tugas kuliah saya dedikasikan untuk Bapak. Nama “Jokowi” menghiasi ragam mata kuliah, mulai dari Menulis Feature di hari selasa sampai praktek pidato pelajaran Retorika, Pak Joko selalu mampu jadi tema utama.
Tak hanya lewat tulisan, saya juga unjuk suara di tengah diskusi rekan sekuliah. Saat mereka berbicara tentang calon layak pemimpin bangsa, saya tak pernah gentar sebut nama Bapak dengan bangga.
Puncaknya, saya bahkan sempat dijuluki “Jokowi” di salah satu mata kuliah karena simpati saya yang tampak jelas terhadap Bapak, ditambah kemeja kotak-kotak merah yang saya sering kenakan di banyak kesempatan.
Ah, mungkin bagi orang lain itu satu kekonyolan, glorifikasi berlebih, fanatisme tanpa arti.. tapi bagi saya, inilah bukti bahwa kaki ini sudah berdiri untuk sebuah pilihan. Bukan berdiam diri, melupa dan tak perduli.
Jujur saja Pak, kekaguman ini bersumber dari keyakinan langka yang jarang saya punya—ketika ilmu yang saya dedikasikan “memaksa” saya jadi pribadi peragu.
Setiap hari saya mempelajari teori konspirasi media, tentang setting dan agenda, dan ragam polesan pewarta. Saya diajarkan untuk skeptis pada seluruh berita, untuk tak mudah seiya pada setiap wacana, untuk yakin bahwa fakta di sana hanyalah sekadar konstruksi semata.
Tapi saya percaya ketulusan Bapak adalah anomali yang jadi pembeda, saat teori tak lagi mampu menjabarkan akurat rangkaian realita.
Saya percaya, ketulusan Bapak bukan lahir dari citra instan di layar kaca, tapi tumbuh dan berkembang sejak lama, sejak totalitas Bapak untuk rakyat yang Bapak bela terbukti dalam karya nyata—bukan cuma gelegar omong kosong retorika.
Saya tak menuntut Bapak berdiri gagah di atas podium, tak ingin Bapak pandai menghentak janji dengan suara yang tinggi.
Cukuplah jadi Joko Widodo yang selama ini saya kenal dan hormati..
..pria yang mampu menarik perhatian dunia, dengan jadi sederhana.
Sumber : http://ift.tt/1BcU09A
Di tengah apresiasi publik dunia, saya hanyalah remaja pengagum yang suaranya tertutupi arus puja-puji raksasa.
Saya tak berharap ketinggian agar pesan ini dibaca, tapi paling tidak, Bapak sudah, sedang dan akan tetap punya seorang pendukung yang telah menitip masa depan bangsanya di tangan kerempeng milik Bapak.
Saya masih ingat kapan kita pertama kali berjumpa, memang tak langsung, karena ada sekat kaca yang membatasi raga.
Waktu itu Bapak sedang diserang habis-habisan di salah satu TV swasta. Isu SARA katanya.
Saya duduk berjam-jam di depan layar teve ketika Bapak dicecar seorang pedangdut yang mengaku raja. Orang tua Bapak difitnah, disebut punya agama yang berbeda.
Ah, di saat orang lain mungkin balas lempar amuk untuk membela diri, Bapak malah mengaku idolai penghujat Bapak waktu itu. Saya merinding, ketika pukulan telak itu Bapak balas dengan tawa tulus memaafkan, bahkan Pak Joko sampai berdendang tenang untuk dia yang sudah mencipta dusta.
Bapak menguat di tengah badai cibir, di antara tumpuk-tumpuk fakta yang nyatanya dipelintir.
Bapak pun memenangi petarungan orang nomor satu di Jakarta, memimpin dan berkarya di sana walau tak terlalu lama. Tapi singkatnya masa yang Bapak lewatkan di ibukota tetap meninggalkan harap dan pinta: kapan bangsa ini punya pemimpin yang lahir dan tumbuh dari bawah?
Asal Bapak tahu saja, berlembar-lembar tugas kuliah saya dedikasikan untuk Bapak. Nama “Jokowi” menghiasi ragam mata kuliah, mulai dari Menulis Feature di hari selasa sampai praktek pidato pelajaran Retorika, Pak Joko selalu mampu jadi tema utama.
Tak hanya lewat tulisan, saya juga unjuk suara di tengah diskusi rekan sekuliah. Saat mereka berbicara tentang calon layak pemimpin bangsa, saya tak pernah gentar sebut nama Bapak dengan bangga.
Puncaknya, saya bahkan sempat dijuluki “Jokowi” di salah satu mata kuliah karena simpati saya yang tampak jelas terhadap Bapak, ditambah kemeja kotak-kotak merah yang saya sering kenakan di banyak kesempatan.
Ah, mungkin bagi orang lain itu satu kekonyolan, glorifikasi berlebih, fanatisme tanpa arti.. tapi bagi saya, inilah bukti bahwa kaki ini sudah berdiri untuk sebuah pilihan. Bukan berdiam diri, melupa dan tak perduli.
Jujur saja Pak, kekaguman ini bersumber dari keyakinan langka yang jarang saya punya—ketika ilmu yang saya dedikasikan “memaksa” saya jadi pribadi peragu.
Setiap hari saya mempelajari teori konspirasi media, tentang setting dan agenda, dan ragam polesan pewarta. Saya diajarkan untuk skeptis pada seluruh berita, untuk tak mudah seiya pada setiap wacana, untuk yakin bahwa fakta di sana hanyalah sekadar konstruksi semata.
Tapi saya percaya ketulusan Bapak adalah anomali yang jadi pembeda, saat teori tak lagi mampu menjabarkan akurat rangkaian realita.
Saya percaya, ketulusan Bapak bukan lahir dari citra instan di layar kaca, tapi tumbuh dan berkembang sejak lama, sejak totalitas Bapak untuk rakyat yang Bapak bela terbukti dalam karya nyata—bukan cuma gelegar omong kosong retorika.
Saya tak menuntut Bapak berdiri gagah di atas podium, tak ingin Bapak pandai menghentak janji dengan suara yang tinggi.
Cukuplah jadi Joko Widodo yang selama ini saya kenal dan hormati..
..pria yang mampu menarik perhatian dunia, dengan jadi sederhana.
Sumber : http://ift.tt/1BcU09A