Rumah Transisi dan Rebutan Kursi
Terhadap rumah transisi, Presiden Terpilih Jokowi menyebut bahwa orang yang ditunjuk sebagai pelaksana tidak otomatis jadi menteri. Anies Baswedan misalnya, sebagai tokoh utama dibalik kesuksesan Jokowi dikabarkan tidak dijamin jadi Menteri. Hal ini sempat menjadi polemik di beberapa media online.
Pada kesempatan yang lain Jokowi menyebutkan pula bahwa menteri di kabinetnya harus mencabut posisi di Parpol. Hal ini demi terwujudnya kabinet yang profesional. Tak pelak Partai Kebangkitan Bangsa langsung bereaksi. Marwan Jafar selaku ketua Fraksi PKB di DPR RI mengatakan rangkap jabatan menteri dan parpol tidak menyalahi aturan.
Beberapa media menayangkan kontroversi opini tersebut. Publik mulai menilai bahwa rumah transisi tak lepas dari rebutan kursi. Bahkan, nama-nama yang dikabarkan akan masuk ke kabinet Jokowi santer beredar di media massa. Opini pro kontra terus bermunculan
Sementara itu, Mahkamah Konstitusi masih menggelar sidang Persilihan Hasil Pemilihan Umum terkait gugatan pasangan Prabowo-Hatta. Gelar sidang menjadi berita live dan menjadi bahasan topik hangat di berbagai media nasional. Pun demikian, kegiatan di rumah transisi tetap menjadi berita penting.
Benar atau tidak rumah transisi yang di ketuai Rini Sumarno membahas pembagian kursi, tentu tak mudah dipastikan. Yang pasti, dalam politik pedoman umumnya adalah siapa dapat apa. Apa yang direaksikan oleh pengurus PKB bisa menandakan hal itu.
Kontroversi atau pro-konta yang mewarnai kemenangan Jokowi dalam Piplres kali ini tampaknya memberi gambaran buruk bahwa sistem perpolitikan di Indonesia masih bergaya feodal. Belum ada modernisasi yang berarti. Tetap muncul sikap tak sabar dan harap-harap cemas mendapatkan jabatan.
Posisi menteri, staf ahli, staf khusus, orang dekat istana, Tim penasehat, dewan pertimbangan dan posisi strategis presiden lain terus diburu. Hadirnya kekuasaan baru selalu membawa gerbong baru. Apalagi sebagian parpol pendukung pasangan Jokowi sebelumnya berlatar oposisi.
Yang perlu menjadi sorotan adalah komiten dilontarkan Jokowi sebagaimana terlontar saat debat Capres bahwa ia akan membentuk kabinet profesional. Konsepnya, the right man in the right place. Sebenarnya bukan ide baru, tetapi lontaran ketika itu cukup memikat publik. Namun, tampaknya Jokowi harus beradu antara pikiran dan kenyataan.
Apa yang dikomentarkan oleh pengurus PKB seperti yang diatas menjadi tanda bahwa mewujudkan kabinet profesional bukan hal mudah. Bahkan bisa jadi ide utopis. Bukan rahasia umum jabatan strategis sekelas menteri dihuni fungsionaris parpol bahkan ada yang menjabat sebagai Ketua Umum.
Pada jaman Orde Baru, karena jumlah parpol tak lebih dari tiga, maka hal tersebut tak nampak kontral. Namun sejak konsep multipartai diberlakukan pada pemilu 1999, jabatan menteri sering berkonotasi dengan parpol tertentu. Lagi-lagi hal ini memberi gambaran bahwa kemenangan seorang presiden selalu menyertakan bagi-bagi kursi berdasar latar belakang parpol.
Berdasar hal itu, Jokowi akan menghadapi masa terberat. Mampukan ia meyakinkan kepada pendukung yang berlatar dari parpol terkait konsep pembentukan kabinet profesional. Sebab, lingkaran kekuasan di negeri ini tetap dalam cengkraman parpol.
Jokowi adalah presiden pertama yang dipilih dengan posisi bukan sebagai Ketua Umum Parpol, atau setidaknya pengurus teras parpol. Secara pribadi mungkin mudah baginya, tetapi secara organisatoris, pernyataan ibu Megawati yang menyebutkan Jokowi sebagai petugas parpol tetap menjadi ancaman sulitnya membentuk kabinet yang terbebas dari kesan bagi-bagi kursi.
Entahlah. Jika akhirnya pemerintahan Jokowi tak lebih dari bagi-bagi jabatan kursi fungsionaris parpol, maka sejarah akan terus berulang. Negeri yang kian dirundung banyak masalah ini akan melambat kemajuannya. Tahun 2015 sebagai tahun awal pemerintahan Jokowi (jika ditetapkan sah sebagai presiden) adalah tahun bersamaan diberlakukannya Masyarakat Ekonomi Asean.
Bukan tidak mungkin negara Indonesia menurun daya saing bahkan merosot karena pejabatnya bukan lahir dari mereka yang punya kompetensi di bidangnya. Konsep the right man in the right place hanya jadi slogan kosong demi pendulangan suara saat kampanye.
Sumber : http://ift.tt/1vFwths
Pada kesempatan yang lain Jokowi menyebutkan pula bahwa menteri di kabinetnya harus mencabut posisi di Parpol. Hal ini demi terwujudnya kabinet yang profesional. Tak pelak Partai Kebangkitan Bangsa langsung bereaksi. Marwan Jafar selaku ketua Fraksi PKB di DPR RI mengatakan rangkap jabatan menteri dan parpol tidak menyalahi aturan.
Beberapa media menayangkan kontroversi opini tersebut. Publik mulai menilai bahwa rumah transisi tak lepas dari rebutan kursi. Bahkan, nama-nama yang dikabarkan akan masuk ke kabinet Jokowi santer beredar di media massa. Opini pro kontra terus bermunculan
Sementara itu, Mahkamah Konstitusi masih menggelar sidang Persilihan Hasil Pemilihan Umum terkait gugatan pasangan Prabowo-Hatta. Gelar sidang menjadi berita live dan menjadi bahasan topik hangat di berbagai media nasional. Pun demikian, kegiatan di rumah transisi tetap menjadi berita penting.
Benar atau tidak rumah transisi yang di ketuai Rini Sumarno membahas pembagian kursi, tentu tak mudah dipastikan. Yang pasti, dalam politik pedoman umumnya adalah siapa dapat apa. Apa yang direaksikan oleh pengurus PKB bisa menandakan hal itu.
Kontroversi atau pro-konta yang mewarnai kemenangan Jokowi dalam Piplres kali ini tampaknya memberi gambaran buruk bahwa sistem perpolitikan di Indonesia masih bergaya feodal. Belum ada modernisasi yang berarti. Tetap muncul sikap tak sabar dan harap-harap cemas mendapatkan jabatan.
Posisi menteri, staf ahli, staf khusus, orang dekat istana, Tim penasehat, dewan pertimbangan dan posisi strategis presiden lain terus diburu. Hadirnya kekuasaan baru selalu membawa gerbong baru. Apalagi sebagian parpol pendukung pasangan Jokowi sebelumnya berlatar oposisi.
Yang perlu menjadi sorotan adalah komiten dilontarkan Jokowi sebagaimana terlontar saat debat Capres bahwa ia akan membentuk kabinet profesional. Konsepnya, the right man in the right place. Sebenarnya bukan ide baru, tetapi lontaran ketika itu cukup memikat publik. Namun, tampaknya Jokowi harus beradu antara pikiran dan kenyataan.
Apa yang dikomentarkan oleh pengurus PKB seperti yang diatas menjadi tanda bahwa mewujudkan kabinet profesional bukan hal mudah. Bahkan bisa jadi ide utopis. Bukan rahasia umum jabatan strategis sekelas menteri dihuni fungsionaris parpol bahkan ada yang menjabat sebagai Ketua Umum.
Pada jaman Orde Baru, karena jumlah parpol tak lebih dari tiga, maka hal tersebut tak nampak kontral. Namun sejak konsep multipartai diberlakukan pada pemilu 1999, jabatan menteri sering berkonotasi dengan parpol tertentu. Lagi-lagi hal ini memberi gambaran bahwa kemenangan seorang presiden selalu menyertakan bagi-bagi kursi berdasar latar belakang parpol.
Berdasar hal itu, Jokowi akan menghadapi masa terberat. Mampukan ia meyakinkan kepada pendukung yang berlatar dari parpol terkait konsep pembentukan kabinet profesional. Sebab, lingkaran kekuasan di negeri ini tetap dalam cengkraman parpol.
Jokowi adalah presiden pertama yang dipilih dengan posisi bukan sebagai Ketua Umum Parpol, atau setidaknya pengurus teras parpol. Secara pribadi mungkin mudah baginya, tetapi secara organisatoris, pernyataan ibu Megawati yang menyebutkan Jokowi sebagai petugas parpol tetap menjadi ancaman sulitnya membentuk kabinet yang terbebas dari kesan bagi-bagi kursi.
Entahlah. Jika akhirnya pemerintahan Jokowi tak lebih dari bagi-bagi jabatan kursi fungsionaris parpol, maka sejarah akan terus berulang. Negeri yang kian dirundung banyak masalah ini akan melambat kemajuannya. Tahun 2015 sebagai tahun awal pemerintahan Jokowi (jika ditetapkan sah sebagai presiden) adalah tahun bersamaan diberlakukannya Masyarakat Ekonomi Asean.
Bukan tidak mungkin negara Indonesia menurun daya saing bahkan merosot karena pejabatnya bukan lahir dari mereka yang punya kompetensi di bidangnya. Konsep the right man in the right place hanya jadi slogan kosong demi pendulangan suara saat kampanye.
Sumber : http://ift.tt/1vFwths