Suara Warga

RITUALISASI MEDIA, MEDIATISASI RITUAL

Artikel terkait : RITUALISASI MEDIA, MEDIATISASI RITUAL


Fidel Hardjo



1407657539950840586 book cover





Apakah konflik sosial hanya sekadar peristiwa sosial saja? Tidak. Ronald L. Grimes, Ute Husken, Udo Simon, Eric Venbrux, dalam buku “Ritual, Media, and Conflict”(2011), meyakinkan bahwa konflik sosial tidak terjadi sebagai murni kecelakaaan sosial. Media mempunyai peran penting di balik konflik sosial. Bagaimana peran media di balik konflik.



Ritual Media



Grimes dkk. menyebut dua peran ganda media menciptakan konflik sosial yaitu melakukan proses “the mediatizing of ritual or by the ritualizing of media” (mediatisasi ritual atau ritualisasi media). Pertama, proses ritualisasi media. Dalam kegiatan ritual ada power, ikon, dan pengikut. Ritual selalu memagneti perhatian media. Proses itu disebut ritualisasi media.




Kedua, proses mediatisasi ritual adalah proses media mem-blow up ritual sebagai konten informasi ke publik. Prosesi ritual pada mulanya adalah prosesi religius. Sebuah prosesi yang sangat sensitif. Sebab, ritual itu sakral, ada kekuasaan(Tuhan), ada simbol, dan penganutnya.



Ketika ritual itu buka-bukaan di ruang publik maka begitu rentan konflik. Sebab pengikutnya “menyamakan atau memaksakan” cara mereka menyantuni dan menghormati “Tuhan”, ikon, dan ruang ritual mereka kepada publik. Inilah bagian penting media meritual konflik.



Begitu juga dengan konflik sosial yang ada. Apa saja jenis konflik sosial tidak terlepas dari perkara menjaga dan perebutan zona, penguasa, ikon, dan pengikutnya. Entah konflik sosial berkaitan dengan masalah ekonomi(Karl Marx), agama, politik, HAM, dan sebagainya selalu ada zona, penguasa(power), ikon, dan pengikutnya.



Ketika ritual agama, politik, ekonomi, HAM, dan seterusnya terjadi, pada saat yang sama, konflik mengatraksi media menjadi “wasit”. Wasit untuk meniup peluit siapa pemenangnya (mediatizing media). Saat bersamaan media tercebur dalam proses ritual(ritualizing media). Media tidak sekadar menyebar berita(ritual) kepada publik tapi selalu diisi dengan mengeritik atau memanasi group ritual lainnya(yang berseberangan).



Dampaknya adalah group yang merasa ritual(zona, penguasa, ikon, dan pengikutnya) dilecehkan akan bangkit melakukan ritual balasan. Lagi-lagi, di sini media menyetir konflik. Lebih celaka lagi. Ketika media dalam proses “mediatizing ritual” berpihak pada group tertentu, maka konflik sosial berubah wajahnya dari “titik api” menjadi “kobaran lautan api”.



Konflik Sosial



Masih segar dalam ingatan kita. Kasus “manipulasi” opini publik TVOne pasca pilpres baru-baru. TVOne memberitakan kemenangan Prabowo-Hatta berdasarkan hasil perhitungan empat lembaga quick count. Sementara media lain memberitakan kemenangan Jokowi-JK berdasarkan hasil perhitungan lembaga quick count juga. Warga tercengang-cengang. Bingung tiada duanya. Nyaris konflik horizontal masif tersulut. Mengapa semua ini terjadi?



Bukankah media seharusnya (ought to) dikelola untuk mencorong kebenaran dan memediasi kepentingan publik yang lebih luas “pro bono publico” (demi kemaslahatan publik). Apa yang kita dapat lain. Ternyata, ledakan konflik sosial tidak terlepas dari peran media. Lebih-lebih, ketika media itu menjadi ‘kerbau cocok hidung’ sang pemilik modal - pemilik media(teori ruling class Karl Marx - Engels,1987). Pemilik media memiliki kepentingan pribadi dan ingin menghegemoni opini(intelectuals force) publik. Media massa memiliki power dan pola ritual “memelihara konflik” atau membakar konflik di arena publik.



Selama ajang pilpres 2014, baik sebelum, saat, seudah pilpres, kita bisa melihat bagaimana konflik sosial terjadi karena media komunikasi televisi “berperang matia-matian” menyebar luas ritual masing-masing group ke publik. Kedua televisi ini mempertahankan zona, power, ikon, dan pengikutnya. TVOne memiliki ritualnya tersendiri. Lengkap dengan ada penguasanya. Penguasanya adalah Prabowo-Hatta. Ikonnya adalah bendera partai pendukung dan segala bentuk visi-misinya. Tempat kampanye adalah zona ritual. TVOne adalah media yang memeditisasi ritual itu ke publik.



Begitupun apa yang terjadi pada group Jokowi-JK. Jokowi-JK adalah representasi penguasa ritual itu. Ikonnya adalah bendera partai pendukung dan janji politik. Pengikutnya adalah massa. Metro TV adalah media yang mediatisasi ritual. Konflik bergerak dari titik ini.



Konflik (sudah) ada. Ada sejak ritual (partai) itu ada. Konflik itu diperparah ketika media menjadi corong konflik itu ke ranah publik. Tentu paling brutal lagi, jika pemilik media ada dalam group ritual itu, maka lengkap sudah konflik sosial itu. Sebab, pemilik media tanpa menyuruh wartawannya, akan sudah pasti ke mana media mendukung.

Kita sama-sama tahu pemilik TV siapa. TVOne mendukung siapa. Dominasi beritanya apa dan siapa. Begitupun apa yang terjadi dengan Metro TV. Pemilik media juga sangat berpengaruh ke mana Metro TV melakukan proses “mediatizing ritual”. Perang mediatizing ritual kedua televisi ini, “menabuh genderang konflik” di jantung kehidupan khalayak.

Puncak konflik sosial itu adalah saat pengumuman hasil quick count versi lembaga survei masing-masing kubuh. Publik menjadi bingung. Amarah dan emosi publik sempat terbangun. Sebab publik merasa dibohongi dan televisi tidak jujur memberitakan apa yang menjadi hak publik yaitu kebenaran informasi. Untung saja, publik tidak sampai membangun “perang” antara kedua kubuh pendukung jagoan mereka. Karena kasus ini, publik pun punya caranya tersendiri untuk tidak percaya lagi televisi yang berbohong. Kita tunggu saja aksi bisu publik.

Konflik sosial dan media ibarat pedang bermata dua. Konflik tidak muncul begitu saja jika tanpa intervensi media. Kasus TVOne mungkin salah satuh contoh bagaimana media dan konflik sosial itu bak pedang bermata dua. Terlalu banyak konflik sosial, yang sebenarnya tak keburu ledak jika saja media membangun ruang kedamaian daripada urus profit melulu.

Konflik Gaza juga tidak hanya sekadar masalah kubuh Israel dan Hamas. Media yang meliputi dan menyebarluaskan konflik ini juga menjadi sumber konflik di atas konflik. Media meritual konflik. Dan, konflik meritual media. Masih banyak konflik sosial yang bisa dianalisis titik asal konfliknya. Genap sudah konflik itu. Tidak akan berkesudahan.



Kita berharap ada media yang independen. Tetapi harapan itu tidak lebih sebagai “utopia” sebab selagi media ada di planet manusia maka kita harus terima pelaku media juga sama seperti kita. Cari untung, mau disanjung, dan memilih taat pada sang bos atau “siap diusir” .



Semoga media tidak membuat dunia ini lebih kejam. Sebab, media punya power untuk “memelihara” konflik sekaligus bisa meledak konflik. Selama ini ada resolusi konflik antara pihak bermasalah baik pada level lokal-nasional, maupun global tetapi satu hal yang terabaikan yaitu media massa selalu tidak diperhitungkan sebagai penyebab konflik. Sudah saatnya, media jangan hanya tahu bikin masalah lalu cuci tangan! Ayo, ngaku!




Sumber : http://ift.tt/1nED1mu

Artikel Kompasiana Lainnya :

Copyright © 2015 Kompasiana | Design by Bamz