Suara Warga

Publik Belum Menang

Artikel terkait : Publik Belum Menang



Jakarta, 15 Agustus 2014 , Public Virtue Institute (PVI) meyakini bahwa telah terjadi peningkatan perhatian dan pembicaraan terhadap isu-isu publik yang terkait calon-calon presiden selama proses pilpres. Isu-isu publik yang paling banyak dibicarakan, yaitu (i) korupsi dan peran KPK, (ii) kebinekaan dan toleransi, (iii) hak dan kesejahteraan buruh, (iv) melawan lupa kejahatan HAM masa lalu, khususnya penculikan aktivis, dan (v) Orde baru dan Soeharto. Isu-isu ini diperoleh berdasarkan frekuensi pembicaraan menurut topsy.

Peningkatan pembicaraan dan perhatian terhadap isu-isu publik ini berperan dalam membentuk postur aspirasi netizen. Isu publik yang menentukan postur aspirasi netizen adalah harapan netizen dan posisi para capres terhadap agenda-agenda demokrasi. Bersifat menentukan karena (1) posisi kedua pasangan capres terhadap agenda demokrasi tersebut berbeda tajam; dan (2) Isu-isu tersebut konstan dibicarakan; (3) harapan netizen terkait agenda demokrasi telah memperoleh dukungan yang meluas dan tuntutannya telah semakin kongkrit, sehingga mendorong netizen memilih salah satu pasangan.

Politisasi ini, selain berwujud angka pada suara masing-masing capres, yang lebih penting: mengandung aspirasi dan pesan. Ketika KPU mengatakan bahwa pilpres kali ini jauh lebih berkualitas, walau prosentase partisipasi lebih kecil 2% dari pilpres 2009 tetapi dengan jumlah suara sah yang jauh meningkat, kami memandang dalam aspek pesan serta aspirasi tersebutlah kualitas itu tercermin.

Karena pesan dan aspirasi tersebutlah sebenarnya publik belum memenangkan pertarungan. Satu tahap menentukan, yakni pemilihan presiden 2014, sudah dimenangkan oleh aspirasi dan pesan yang menghendaki lebih banyak demokrasi. Kubu Jokowi segera mengkampanyekan “salam tiga jari” sebagai perdamaian dari perseteruan politik pada pilpres. Namun, berlandaskan postur aspirasi netizen, pertarungan tersebut sebenarnya belum dapat didamaikan dan akan terus berlangsung.

Pertarungan itu sudah terjadi dan akan berlanjut di tiga arena:

a. Demokrasi (keterbukaan, kebinekaan dan toleransi) harus terus difasilitasi ATAU lebih kuat dikontrol;

b. Soeharto-Orba sebagai inspirasi dan pahlawan ATAU sebagai bagian masalah;

c. Perdamaian terhadap kejahatan HAM masa lalu ATAU kedilan bagi kejahatan HAM masa lalu.

Mengapa di tiga arena tersebut pertarungan akan sangat menentukan?

Pencapresan Prabowo adalah perwujudan belum tercapainya agenda demokrasi, dan popularitasnya menunjukkan masih luasnya nalar publik yang mendukung nilai-nilai dan figur-figur lama warisan Soeharto-Orde Baru. Sementara pencapresan Jokowi adalah wujud terobosan dalam demokrasi Indonesia era reformasi, dan peningkatan popularitasnya menunjukkan harapan publik terhadap cara berpolitik yang berbeda sekaligus kemungkinan terobosan penyelesaian kasus-kasus HAM masa lalu.

Kepentingan netizen terhadap demokrasi yang lebih luas tidak serta merta meyakinkan mereka untuk berpihak, mendukung dan memilih Jokowi, apalagi bagi yang kritis terhadap figur-figur di belakang Jokowi seperti Wiranto, Hendropriyono, Sutiyoso, Mucdi PR, bahkan Yusuf Kalla. Namun popularitas, dukungan, dan potensi kemenangan Prabowo telah membuat mereka lebih solid berupaya menjegal Prabowo terlebih dahulu, dan menjadikan agenda HAM secara umum sebagai pekerjaan rumah mendesak. Dan kemenangan Jokowi adalah perwujudan dari harapan yang lebih besar terhadap cara berdemokrasi dan penegakan HAM. Politisasi netizen yang meningkat pesat dalam isu-isu demokrasi dan Hak Azasi Manusia adalah modal penting untuk mendorong pemerintahan baru yang bekerja menuntaskan PR tersebut.

Inilah faktor-faktor utama pendorong kemunculan relawan-relawan pendukung Jokowi, terutama dari kalangan aktivis pro demokrasi, yang lebih dinamis dan aktif pada pilpres kali ini. Relawan-relawan ini tersebar membawa berbagai aspirasi dengan beragam metode penyampaian, dari yang terorganisir hingga spontan. Khusus terkait aspirasi demokrasi dan HAM, peran relawan ini akan diuji lebih keras dalam menghadang kekuatan elit politik yang akan menghambat terwujudnya PR demokrasi tersebut.Terpilihnya Hendropriyono dalam Tim Transisi Jokowi, segera disambut oleh petisi penolakan di change.org serta berbagai pernyataan politik oleh relawan Jokowi yang peduli HAM.

Beberapa contoh proses partisipasi netizen dalam proses pilpres memperlihatkan wujud noise (kicauan/pembicaraan) yang berubah menjadi voice (aspirasi). Postur aspirasi netizen menunjukkan bahwa voice netizen terkait demokrasi dan HAM memiliki potensi besar menjadi policy. Namun, di saat yang sama, agenda ini membutuhkan tekanan publik yang sangat besar mengingat level kasus dan derajat keterlibatan para elit politik untuk menahan laju penuntasan agenda HAM ini akan sangat tinggi. Disini kita saksikan bahwa nalar publik terhadap penuntasan kasus-kasus HAM pada khususnya, melampaui nalar partisan, sekaligus membuka ruang lebih besar bagi para relawan untuk bergerak.




Sumber : http://ift.tt/1pfEjcx

Artikel Kompasiana Lainnya :

Copyright © 2015 Kompasiana | Design by Bamz