Suara Warga

DPK, DPKTb, dan Suara saya bagaimana di Pilpres 2014

Artikel terkait : DPK, DPKTb, dan Suara saya bagaimana di Pilpres 2014

DPK, DPKTb dan Bagaimana suaraku di Pilpres 2014 ?

Oleh : Wahyudi Himawan (warga Bangsa yang hobi membaca)

Mencermati pilres 2104, tahapan-tahapan pilpres yang telah berjalan dengan baik sepanjang saya mengikuti pemilu dari Jaman Suharto sampai saat ini, walau pada pilpres saya tidak dapat menggunakan hak pilih karena saya ditolak hanya menggunakan KTP tidak memiliki C5, masih menyisakan bebrapa persoalan. Padahal saya adalah warga yg ingin menggunakan hak pilih dan memiliki undangan, namun saat pencoblosan saya tidak bisa pulang karena sesuatu hal. Tapi sudahlah hilang satu suara saya mudah-mudahan tidak merubah kemanangan calon yg menjadi pilihan dalam hati. Pasca penetapan pemenang tanggal 22 Juli 2014, pihak yang kalah jumlah perolehan suaranya merasa di curangi, KPU tidak netral, pihak itu kemudian meggugat ke MK, isi gugatan dari amatan saya adalah permasalahan DPKTb.

Baik,…. saya selalu mengikuti proses pilpres 2014 dari masa kampanye, pemilihan, penghitungan dari TPS, tingkat desa, kecamatan, KPU keb/Kota, KPU Provinsi, Hingga Rekaputulasi KPU Nasional, sidang-sidang di MK, sampai pada 15 Agustus saat pendengaran pendapat para ahli baik melalui di TV, dan komentar-kompetar dari komentator yang katanya ahli di 2 TV (metro dan TV One).

Saya akan coba mulai dari DPT, DPK, dan DPKTb. Jika yang menjadi dasar untuk menentukan hak pilih adalah KTP, maka kita harus menjadikan data kependudukan dari Departemen dalam negeri sebagai rujukan. Persoalanya kemudian, dari puluhan juta penduduk yang sudah 17 tahun (baik itu siswa atau bukan) dan memiliki hak pilih namun belum memiliki KTP, dengan bukti apa mereka dapat menyalurkan hak pilihnya?. Bagaimana juga dengan yang baru lulus SMA/sederajat yang akan melanjutkan ke jenjang lebih tinggi dan belum memiliki KTP dan belum terdaftar di DPT?, mereka memiliki hak pilih, jika tidak di fasilitasi maka akan muncul pelanggaran hak konstitusional warga negara.

Namun itulah yg selalu dipersoalkan oleh kubu yg menuntut, apakah mereka tidak memiliki anak yang mau kuliah/sedang kuliah seperti saya, saat pencoblosan saya tidak ada di kampung, karena sedang di kampus/di kos dekat kampus. Saya sudah dateng ke TPS, waktu itu di TPS daerah Prameswara Bukit Besar Palembang, dijawab oleh petugas…besok langsung saja pak pakai KTP diatas jam 12, setelah saya datang jam 12.15, apa jawaban petugas, pak kalo hanya KTP saja tidak bisa. Terus ….suara saya bagaimana….padahal saya ingin sekali menyalurkan suara saya, dan baru sekali ini saya tidak dapat menggunakan hak pilih setelah saya memiliki hak pilih.

Para ahli,….berfikirlah jernih, banyak faktor masyarakat yang memiliki hak pilih tidak dapat menggunakan hak pilihnya, karena persyaratan administrasi yg berbelit dan lain-lain, para ahli lebih tahu.

Pertanyaanya kemudian adalah, bagaiman suara saya, atau suara para mahasiswa s1, s2, s3, yang tersebar di seluruh indonesia yang tidak dapat menggunakan hak pilihnya. Bagaimana dengan para siswa yang sudah memiliki hak pilih namun tetap juga tidak bisa menggunakan haknya?.

Dari uraian itu, menurut saya jelas DPK dan DPKtb, adalah hal yang sangat penting untuk mewadahi para pemilih yang saya sebutkan diatas.

Salam 3 jari






Sumber : http://ift.tt/1yEkXiq

Artikel Kompasiana Lainnya :

Copyright © 2015 Kompasiana | Design by Bamz