Suara Warga

Wahai Jama’ah Kompasioner, Kemukakan Pendapatmu !

Artikel terkait : Wahai Jama’ah Kompasioner, Kemukakan Pendapatmu !

Dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi (MK), khususnya berkaitan dengan perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU), termasuk Pilpres di dalamnya, ada 4 pihak yang memiliki hak berbeda. Hak dalam mengungkap suatu fakta. Pertama, saksi. Saksi punya hak dalam batasan mengungkapkan fakta yang dilihat, didengar dan dialami sendiri.Dalam hukum pidana, biasa disebut saksi fakta. Saksi tidak punya hak untuk menilai, menganalisa, dan menyimpulkan fakta. Makanya ketika kita menyimak jalannya persidangan saat ini, beberapa kali hakim memotong keterangan saksi yang menjurus pada penilaian fakta. Misalnya dengan mengatakan “menurut saya ..” Dari pengalaman saya, beberapa kali hal ini terjadi. Terutama ketika menghadirkan saksi dari kalangan anggota DPRD atau pejabat pemerintah. Kebiasaan mereka yang sering menilai suatu fakta, terbawa dalam persidangan di MK. Sebagai saksi fakta, kualitas saksi berkenaan dengan keterangan yang diberikan. Saksi yang mengungkap fakta yang berasal dari orang lain (katanya, saya dapat laporan, dsb), bobot atau kualitas keterangan yang diberikan hampir tak bernilai dalam hal pembuktian. Oleh hakim, keterangan tersebut tidak dimasukan dalam keterangan saksi tapi bukti petunjuk.

Pihak kedua, adalah pengacara atau kuasa hukum. Pendapat kuasa hukum dalam sidang MK tidak dalam bentuk verbal saat jalannya persidangan. Pendapat itu dalam bentuk tertulis, yang disebut dokumen Kesimpulan. Pada batasan ini, kuasa hukum punya hak untuk menyimpulkan fakta-fakta persidangan (termasuk alat bukti lain).

Pihak ketiga, ahli. Dalam hukum acara persidangan di MK, disebut Ahli. Meskipun media massa banyak menuliskannya dengan sebutan Saksi Ahli. Ahli punya hak untuk memberi keterangan berupa pendapatnya. Dengan menganalisis dalil dalil yang dimohonkan. Tak terbatas menganalisis, tetapi juga menilai dalil dalil tersebut. Disinilah ruang para pihak (Pemohon, Termohon dan Pihak Terkait) untuk memberikan penilaian dan analisisnya. Jika saksi berbasis pada pengalaman, ahli berbasis pada pengetahuan. Namun dalam sidang MK kemarin, ada pertanyaan dari kuasa hukum ke Ahli yang meminta keterangan ahli berkaitan dengan fakta. Menurut saya, pertanyaan itu salah sasaran. Seorang ahli hanya diminta pendapatnya berdasarkan ke ahlian yang dimiliki bukan menceritakan fakta yang terjadi.

Pihak keempat, hakim MK. Dengan kewenangan yang dimiliki, hakim akan menilai, berpendapat, dan memutuskan. Dalam Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH), masing-masing hakim (sembilan hakim) akan mengemukakan pendapatnya. Tak jarang, pendapat masing-masing berbeda satu sama lain. Pendapat mayoritas hakim dalam RPH itulah yang kemudian menjadi putusan. Kendati demikian, pendapat hakim yang berbeda dari pendapat mayoritas tetap akan dimasukan dalam Putusan. Pendapat hakim yang berbeda ini disebut dissenting opinion.

Diluar empat pihak tersebut, saya menyebutnya penonton. Tak terkecuali, principal, akademisi, kompasioner, tim sukses, ibu rumah tangga, sampai Presiden sekalipun. Pendapat yang dikemukakan atas dalil atau jalannya persidangan di MK, tidak memiliki nilai hukum apapun. Termasuk pendapat saya, yang menulis opini di Kompasiana ini. Ini suatu yang sah, dalam alam demokrasi, dimana semua orang punya hak mengemukakan pendapatnya masing-masing. Tak ada yang lebih tinggi atau lebih rendah diantaranya.

Pendapat siapapun di luar persidangan tidak akan punya pengaruh pada putusan hakim MK. Apalagi ada semacam etik di kalangan hakim, tidak diperkenankan membaca pemberitaan di media massa termasuk di koran selama menangani perkara terkait. Jika demikian, pendapat seorang profesor ahli hukum tatanegara, atau mantan hakim MK yang kerap hadir di televisi bobot hukumnya sama saja dengan pendapat obrolan tukang ojek di pangkalan. Sebagai warga negara, semua orang punya hak mengemukakan pendapat.

Namun, ada beberapa tulisan dan komentar di Kompasiana ini yang menyatakan “tidak usah berpendapat aneh-aneh, kita tunggu saja putusan MK”. Ajakan ini menurut saya, justru mengebiri hak semua orang berpendapat. Karena pada dasarnya hak mengemukakan pendapat adalah hak konstitusional warga.

Pendapat yang pro atau kontra. Bernada mendukung atau mengejek. Menggunakan teori yang rumit-rumit sampai dengan bahasa alay. Itu sah-sah saja. Dalam mengemukakan pendapat, tidak ada kebenaran mutlak. Tidak berarti para pengamat (saya menyebutnya penonton) yang kerap muncul di televisi punya nilai kebenaran yang lebih tinggi daripada pendapat seorang kompasioner yang baru belajar menulis. Toh, semua orang akan menilai dari sudut pandang masing-masing.

Tentu saja dalam mengemukakan pendapat ada batasan dan kode etik yang tidak boleh dilanggar. Batasan itu sudah ada dalam UU diantaranya (UU ITE, KUHP, dll). Termasuk batasan yang diberlakukan oleh admin Kompasiana.

Saya menyarankan, alangkan eloknya jika mengemukakan pendapat tidak menyerang pribadi. Karena jika sudah melewati batas, akan menjurus kepada masalah hukum. Seranglah pendapat atau ide pihak yang dianggap bersebrangan. Ber-polemik-lah. Justru polemik yang seru akan menyehatkan dan mendewasakan sistem demokrasi kita. Ada proses pendidikan politik yang terisrat di dalamnya. Tak perlu risau, dengan pilihan diksi atau kata yang digunakan. Karena karakter orang berbeda-beda.

Kemukakanlah pendapat saudara melalui tulisan atau komentar di Kompasiana ini. Tanpa kita sadar bahwa sebelum berpendapat atau berkomentar, kita membaca. Bukankah membaca akan menambah pengetahuan. Akan halnya informasi yang dibaca kita tolak atau terima, itu soal lain.

Karena pendapat Kompasioner tak lebih tinggi atau lebih rendah dari pendapat penonton yang menyatakan dirinya sebagai akademisi atau politis ulung di televisi. Toh, kedudukannya sama sebagai penonton. Dan bukan pihak-pihak (empat pihak yang saya kemukakan di atas )yang berpendapat di hadapan persidangan MK.

Salam Kompasiana




Sumber : http://ift.tt/1m170FC

Artikel Kompasiana Lainnya :

Copyright © 2015 Kompasiana | Design by Bamz