Suara Warga

Perbandingan Politik Hukum dengan Hukum dan Politik

Artikel terkait : Perbandingan Politik Hukum dengan Hukum dan Politik



Oleh : Yusuf L. Henuk*)



TULISAN ini merupakan bagian tak terpisahkan dari mata kuliah : “Perbandingan Hukum” yang pernah penulis ikuti ketika masih terdaftar sebagai mahasiswa Magister (S2) Ilmu Hukum di Program Pascasarjana – Universitas Nusa Cendana (Undana) dan mengikuti kuliah ini yang diasuh oleh Dr. Saryono Yohanes, SH, MH (Staf Pengajar di Fakultas Hukum – Undana) dan berhasil lulus dengan nilai baik. Ketika mengikuti mata kuliah wajib ini sang dosen pengasuh memberikan tugas kepada kami semua peserta mata kuliah ini guna bisa: (1) memahami politik hukum dan hukum dan politik, (2) mengetahui persamaan dan perbedaan serta hubungan keduanya berdasarkan pustaka penunjang. Setelah menyerahkan tugas ke beliau, penulis berupaya untuk menerbitkan tulisan ini sesuai judul yang ada di Media Komunikasi Sivitas Akademika Undana (Henuk, 2011).



I. Pemahaman istilah Politik Hukum dan Hukum dan Politik



Sudah menjadi patokan umum dalam memahami istilah apa pun selalu dicari pemahamannya dari asal usul kata (etimologi). Oleh karena itu, tulisan ini diawali dengan memahami terlebih dahulu asal usul kata kedua istilah tersebut masing-masing.



1. Politik Hukum



Penggunaan istilah politik hukum dikenal dalam bahasa Belanda dari istilah Rechtpolitiek, sedangkan dalam bahasa Inggris dikenal beberapa istilah terkait politik hukum, yaitu: Politics of Law (politik hukum), Legal Policy (kebijakan hukum), Politic of Legislation (politik perundang-undangan), Politic of Legal Product (politik yang tercermin dalam berbagai produk hukum) dan Law Development (politik pembangunan hukum).



Berdasarkan asal katanya, politik hukum merupakan gabungan dari dua kata, yaitu politik dan hukum. Akibatnya, perlu dipahami juga kedua kata ini secara terpisah. Secara umum, kata politik dapat dipahami dari dua pengertian, yaitu: (a) politics – politik sebagai ilmu (science) adalah suatu rangkaian asas, prinsip, cara/alat yang digunakan untuk mencapai suatu tujuan tertentu; dan (b) policy – politik sebagai seni (arts) adalah penggunaan pertimbangan tertentu yang diangggap lebih menjamin terlaksananya kegiatan usaha, cita-cita atau keinginan/keadaan yang dikehendaki. Policy secara gramatikal – leksikal adalah “a guide for action” (petunjuk untuk melakukan aksi/kegiatan).



Sedangkan, pengertian hukum secara umum adalah aturan tentang tingkah laku bagi manusia dalam hidup bermasyarakat, baik tertulis maupun tidak tertulis. Pemahaman kedua bentuk hukum ini dapat dijelaskan sebagai berikut: (a) hukum tertulis adalah sekumpulan peraturan yang tersusun dalam suatu sistem yang berisikan petunjuk tentang apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan, perintah dan larangan bagi masyarakat, disertai sanksi pemaksa yang tegas; dan (b) hukum tidak tertulis adalah kebiasaan yang hidup dalam masyarakat, dipertahankan dan dipatuhi serta mengikat masyarakat, memiliki sanksi sosial dan moral.



Berdasarkan pemahaman terhadap asal usul kata dari politik dan hukum tersebut di atas, maka politik hukum dapat dipahami sebagai suatu rangkaian asas, prinsip, cara/alat yang digunakan untuk mencapai tujuan hukum; atau perbandingan tertentu yang dianggap lebih menjamin terlaksananya kegiatan, cita-cita atau tujuan hukum. Pada prinsipnya, pemahaman terhadap pengertian politik hukum berbeda-beda dari setiap orang, khususnya perbedaan pemahaman pakar hukum terhadap politik hukum disajikan pada Tabel 1 (Henuk, 2011). Perbedaan politik hukum dan studi politik hukum adalah yang pertama lebih bersifat formal pada kebijakan resmi, sedangkan yang kedua mencakup kebijakan resmi dan hal-hal lain yang terkait dengannya.


Menurut sejarahnya, Politik Hukum digunakan untuk pertama kali dalam SK Dirjen Dikti No. 165/Dikti/Kep/1994 tertanggal 24 Juni 1994, sebagai mata kuliah wajib yang harus ditempuh oleh mahasiswa Program Magister Hukum Program Pascasarjana. Pada tanggal 4 Agustus 1998, Dirjen Dikti mengeluarkan SK No. 278/Dikti/Kep/1998 yang menetapkan mata kuliah Politik Hukum sebagai salah satu mata ujian negara wajib.





2. Hukum dan Politik


Hukum dan politik dapat diibaratkan sebagai dua sisi mata uang yang dibalik-balik pun akan memiliki nilai sama meski dalam perwajahan yang berbeda antara kedua sisinya. Secara teoritis hubungan hukum dengan politik/kekuasaan harusnya bersifat fungsional, artinya hubungan ini dilihat dari fungsi-fungsi tertentu yang dijalankan di antara keduanya. Pada umumnya, terdapat fungsi timbal-balik (simbiotik) antara hukum dan politik/kekuasaan, yaitu politik/kekuasaan memiliki fungsi terhadap hukum, sebaliknya hukum juga memiliki fungsi terhadap politik/kekuasaan. Henuk (2011) telah menjabarkan lebih lanjut keduanya sebagai berikut:



A. Fungsi politik/kekuasaan terhadap hukum:



(1) Kekuasaan sebagai sarana membentuk hukum (law making), khususnya pembentukan peraturan perundang-undangan, baik di pusat maupun di daerah. Sudah tidak tidak dibantah bahwa hukum merupakan produk politik di parlemen, sehingga materi muatan hukum merupakan kepentingan-kepentingan politik yang ada.



(2) Kekuasaan sebagai alat menegakkan hukum. Penegakan hukum merupakan suatu proses mewujudkan “keinginan hukum” (‘pikiran badan legislator yang dirumuskan dalam peraturan perundangan’) menjadi kenyataan. Perlu dingat bahwa “hukum tanpa kekuasaan akan lumpuh, dan sebaliknya kekuasaan tanpa hukum akan terjadi tirani/anarki”.



(3) Kekuasaan sebagai media mengeksekusi putusan hukum. Contohnya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, tidak akan memiliki arti bagi pengorganisasian kehidupan masyarakat tanpa adanya pelaksanaan (execution) secara konsekuen dan konsisten, sehingga jelas dipahami bahwa hukum membutuhkan kekuasaan untuk menegakkannya.



B. Fungsi terhadap politil/kekuasaan:



(1) Hukum sebagai media penglegalisasian kekuasaan dalam menetapkan keabsahan (validity) kekuasaan dari aspek yuridisnya. Artinya meskipun sebuah kekuasaan telah mendapat legalisasi secara yuridis formal, akan tetapi jika masyarakat berpandangan bahwa kekuasaan tersebut bersifat sewenang-wenang dan tidak sesuai dengan rasa keadilan, maka kekuasaan yang demikian tetap tidak akan mendapatkan legitimasi/pengakuan dari masyarakat.



(2) Hukum sebagai pengatur dan pembatas kekuasaan yang bertujuan untuk menghindari terjadinya penumpukan atau sentralisasi kekuasaan pada suatu lembaga dan tidak mendorong terjadinya otoritarianisme dalam penyelenggaraan negara (abuse of power).



(3) Hukum sebagai peminta pertanggung-jawaban kekuasaan, agar penggunaan kekuasaan sesuai dengan mekanisme dan tujuan pemberian kekuasaan tersebut. Penyalahgunaan kekuasaan yang berkaitan: (a) hukum administrasi dapat digugat melalui proses Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN), (b) kerugian kepentingan masyarakat dapat digugat melalui peradilan umum (perdata), dan (c) tindak pidana dapat dituntut secara pidana.



II. Persamaan dan Perbedaan serta Hubungan Politik Hukum dan Hukum dan Politik



Dalam upaya memahami persamaan dan perbedaan serta hubungan antara politik hukum dan hukum dan politik, maka disamping telah dipahami pengertian politik hukum (Tabel 1) dan fungsi-fungsi timbal-balik antara hukum dan politik sesuai yang telah dijabarkan diatas, perlu juga dipahami manfaat mempelajari studi Politik Hukum dan fungsi dari Hukum dan Politik dalam menggerakkan sistem kemasyarakan secara keseluruhan. Pada umumnya, kemanfaatan dari studi Politik Hukum adalah memberikan kekayaan pemahaman atas dinamika hubungan antara hukum dan politik secara kritis dan komprehensif, baik meliputi aspek latar-belakang, motif-motif politik, suasana pergulatan berbagai kepentingan yang bertarung, dibalik lahirnya hukum. Dengan perkataan lain, dengan mempelajari politik hukum, maka dapat dipahami suasana kebatinan (geistlichen hintergrund) saat produk hukum dibuat, sehingga tentu dapat diketahui dan dipahami secara pasti jiwa, roh atau kehendak dari lahirnya suatu hukum. Khusus Indonesia, sesuai dengan pesan dari pendiri bangsa (founding fathers) bahwa UUD ’45 tidak dapat dipahami hanya dari membaca bunyi teksnya saja tetapi harus mampu dipahami juga latar belakang kejiwaan sewaktu UUD ’45 tersebut dibuat.



Sedangkan, hukum dan politik merupakan suatu subsistem dalam kemasyarakatan. Berdasarkan fungsi timbal-balik antara hukum dan politik/kekuasaan, yaitu politik/kekuasaan memiliki fungsi terhadap hukum, sebaliknya hukum juga memiliki fungsi terhadap politik/kekuasaan sesuai yang telah dijabarkan diatas, maka dapat dipahami bahwa hukum berfungsi melakukan pengontrol masyarakat (social control), penyelesaian pertikaian (dispute settlement) dan perekayasa sosial (social engineering) atau inovasi (innovation), sedangkan fungsi politik meliputi pemeliharaan sistem dan adaptasi (socialization and recruitment), konversi aturan (rule making, rule application, rule adjudication, interest-articulation and aggregation) dan fungsi kapabilitas (regulative extractive, distributive and responsive).



Walaupun hukum dan politik memiliki fungsi dan dasar pembenar yang berbeda, akan tetapi ditinjau dari segi tujuannya, keduanya saling melengkapi dan mendukung terwujudnya tujuan negara yaitu keadilan sosial. Hukum dan politik harus memberikan kontribusi sesuai dengan fungsi masing-masing untuk menggerakkan sistem kemasyarakatan secara keseluruhan terutama dalam komitmen mendukung terlaksananya pembangunan suatu bangsa. Khusus Indonesia, pemerintah yang bertanggung-jawab berarti pemerintah yang mampu mewujudkan fungsi ekonomi publik yang sesungguhnya, yaitu fungsi alokasi, distribusi dan stabilisasi sumber daya yang dimiliki oleh negara. Efektifitas proses penggunaan kekuasan yang tunduk pada hukum pada akhirnya akan menjadi penilaian keberhasilan kerja bagi aparat dan instansi pemerintah.



III. Penutup


Politik hukum dapat dipahami sebagai kebijakan hukum (legal policy) yang akan dan telah dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah; mencakup pula pengertian tentang bagaimana politik mempengaruhi hukum dengan cara melihat konfigurasi kekuatan yang ada dibelakang pembuatan hukum dan penegakan hukum itu, sehingga hukum tidak hanya dipandang sebagai pasal-pasal yang bersifat imperatif atau keharusan-keharusan yang bersifat das sollen, tetapi harus dipandang sebagai subsistem yang dalam kenyataan (das sein) bukan tidak mungkin sangat ditentukan oleh politik, baik dalam perumusan materi dan pasal-pasalnya maupun dalam implementasi dan penegakannya.


Sedangkan, tiga jawaban yang dapat menjelaskan hubungan kausalitas antara hukum dan politik atau pertanyaan tentang apakah hukum yang mempengaruhi politik ataukah politik yang mempengaruhi hukum: (a) hukum determinan atas politik dalam arti bahwa kegiatan-kegiatan politik diatur oleh dan harus tunduk pada aturan-aturan hukum, (b) politik deteminan atas hukum, karena hukum merupakan hasil atau kristalisasi dari kehendak-kehendak politik yang saling berinteraksi dan bahkan saling bersaingan; dan (c) politik dan hukum sebagai subsistem kemasyarakatan berada pada posisi yang derajat determinasinya seimbang antara satu dengan yang lain, karena meskipun hukum merupakan produk keputusan politik, tetapi begitu hukum ada, maka semua kegiatan politik harus tunduk pada aturan-aturan hukum.



Sumber asli :


Henuk, Y.L. 2011. Perbandingan Politik Hukum dengan Hukum dan Politik. Media Undana, No. 155/Oktober: 5 & 9.


*) Guru Besar Fakultas Peternakan – Universitas Nusa Cendana (Undana); Mantan Mahasiswa Magister (S2) Ilmu Hukum di Program Pascasarjana – Undana; Pendiri/Pemimpin Redaksi “YLH NEWS ONLINE” (http://ylhnews.com ).






Sumber : http://ift.tt/VUwuNJ

Artikel Kompasiana Lainnya :

Copyright © 2015 Kompasiana | Design by Bamz