Mestinya Presiden Itu Prabowo
Dominasi parlemen sebagai salah satu ciri “kemenangan” pemerintahan. Karena susah seorang Presiden yang sekedar mengandalkan “suara” rakyat tanpa parlemen, apalagi berada dalam koreksi kasus per kasus, adalah sangat janggal bila harus memimpin Bangsa. Layaknya Jokowi yang menjadi pemenang pilpres, perlu dipertanyakan, sejauh mana kebenarannya, bahwa seorang Jokowi di dukung oleh rakyat. Sedangkan rakyat yang memilih Jokowi di dominasi partai koalisi untuk Prabowo.
Apalagi partai partai besar mendukung “Prabowo”. secara matematis, tidaklah bisa kalah. selama pilpres berjalan diatas metode jurdil [yang sudah mulai punah dari KPU]. Di samping peran dan kekuatan uang yang menjadi panglima jenderal, penentu terakhir sebagai jalan kebijakan Jurdil pilpres, tak bisa dihindarkan dari arena pertarungan tersebut. Rakyat sebagai pemain utama yang memasukkan ke gawang kepresidenan, bukan tim sepak bola yang harus belajar terampil dilapangan. tetapi rakyat adalah tim yang tidak mengerti alur permainan, karena rasa memenangkan pilihan itu tak menjadi Idola mereka. Sebaliknya mereka yang menjadi lawan bisa berobah menjadi kawan seiring mengalahkan capres pilihannya.
Contohnya dari “untuk memenangkan jokowi” dana yang di sumbangkan kalangan Aseng saja sangat fantasti yang menjadi sumber minoritas berperan penuh dalam “memanangkan Jokowi” sehingga seorang sahabat pernah menuturkan, bahwa donatur Jokowi dari kaum Aseng ini perkepala mencapai 5 juta rupiah, terlebih uang 5 juta di mata mereka senilai jajan anak anaknya perhari, sangat kecil. Kalau misalnya saja satu orang toke di Mangga dua punya 1000 orang pekerja, itu saja sudah bisa dikalikan berapa pendukung jokowi dan misalnya seluruh para pemilik perusahan rata rata harus mendukung Jokowi, sudah pasti menang, selain kekuatan uang yang menjadi jembatan tolnya, juga pekerja tak bisa dilepaskan dari kepentingan “asal dapat”.
Masalahnya tidak berlebihan suara parlemen itu adalah persidennya presiden, yang bisa membuka babak baru dari sengketa pilpres. sebab salah kaprah Jika partai yang indikatif minoritas menang pilpres, sama saja artinya dengan menabur angin menuai badai, tak akan pernah bisa pemerintahan berjalan lancan. Toh kalaupun kemudian berpikir rakyat sehingga harus mobilisasi rakyat untuk mengalahkan parlemen, justru bisa menimbulkan kontra produktif kerakyatan, dan hal itu sangat membahayakan.
Kalau Jokowi memaksakan diri menjadi Presiden atas nama rakyat, apakah parlemen yang dikuasai Prabowo bisa memberikan dukungan. Pertarungan politik masih belum berahir, apakah Jokowi bisa bertahan lama jadi Presiden, atau nasibnya akan sama dengan Gus Dur, sejarah yang akan membuktikan.
Sumber : http://ift.tt/1ugYOpz
Apalagi partai partai besar mendukung “Prabowo”. secara matematis, tidaklah bisa kalah. selama pilpres berjalan diatas metode jurdil [yang sudah mulai punah dari KPU]. Di samping peran dan kekuatan uang yang menjadi panglima jenderal, penentu terakhir sebagai jalan kebijakan Jurdil pilpres, tak bisa dihindarkan dari arena pertarungan tersebut. Rakyat sebagai pemain utama yang memasukkan ke gawang kepresidenan, bukan tim sepak bola yang harus belajar terampil dilapangan. tetapi rakyat adalah tim yang tidak mengerti alur permainan, karena rasa memenangkan pilihan itu tak menjadi Idola mereka. Sebaliknya mereka yang menjadi lawan bisa berobah menjadi kawan seiring mengalahkan capres pilihannya.
Contohnya dari “untuk memenangkan jokowi” dana yang di sumbangkan kalangan Aseng saja sangat fantasti yang menjadi sumber minoritas berperan penuh dalam “memanangkan Jokowi” sehingga seorang sahabat pernah menuturkan, bahwa donatur Jokowi dari kaum Aseng ini perkepala mencapai 5 juta rupiah, terlebih uang 5 juta di mata mereka senilai jajan anak anaknya perhari, sangat kecil. Kalau misalnya saja satu orang toke di Mangga dua punya 1000 orang pekerja, itu saja sudah bisa dikalikan berapa pendukung jokowi dan misalnya seluruh para pemilik perusahan rata rata harus mendukung Jokowi, sudah pasti menang, selain kekuatan uang yang menjadi jembatan tolnya, juga pekerja tak bisa dilepaskan dari kepentingan “asal dapat”.
Masalahnya tidak berlebihan suara parlemen itu adalah persidennya presiden, yang bisa membuka babak baru dari sengketa pilpres. sebab salah kaprah Jika partai yang indikatif minoritas menang pilpres, sama saja artinya dengan menabur angin menuai badai, tak akan pernah bisa pemerintahan berjalan lancan. Toh kalaupun kemudian berpikir rakyat sehingga harus mobilisasi rakyat untuk mengalahkan parlemen, justru bisa menimbulkan kontra produktif kerakyatan, dan hal itu sangat membahayakan.
Kalau Jokowi memaksakan diri menjadi Presiden atas nama rakyat, apakah parlemen yang dikuasai Prabowo bisa memberikan dukungan. Pertarungan politik masih belum berahir, apakah Jokowi bisa bertahan lama jadi Presiden, atau nasibnya akan sama dengan Gus Dur, sejarah yang akan membuktikan.
Sumber : http://ift.tt/1ugYOpz