Merangkai Kembali Jati Diri Yang Hilang
Sadis dan tragis melihat kondisi tanah air kita belakangan ini. Nampaknya predikat adat ketimuran yang cenderung halus perilakunya sudah pudar diganti bangsa yang bengal, bangsa yang lupa rasa solidaritas. Anehnya terhadap bangsa sendiri kita rapuh dan mudah untuk melakukan anarkisme, vandalisme, ataupun kriminalisme antar golongan. Berbeda ketika nama bangsa ini di singgung sedikit oleh bangsa lain. Disini kita benar-benar merasakan kuatnya rasa perasudaraan, patriotis dan sedikitpun tidak ada muka-muka bringas antar sesama.
Setidaknya, tindakan kekerasan yang diawali perasaaan sensitif, degradansi moral dan buta untuk melihat suatu keadaan dengan mediasi adalah gambaran munculnya kekerasan massa di Indonesia. Patologi sosial seperti ini mencerminkan multi kompleks permasalahan yang melanda pelaku aksi kekerasan tersebut. Kondisi ekonomi lemah, pendidikan atau tingkat literasi minim, dan pemahaman agama ala kadarnya, serta hukum dan perilaku politik secara parsial ini mengakumulasi nafsu untuk action secara ekstrim. Paham sentimental yang cenderung eksklusif dan rigid tidak mampu untuk disesuaikan dengan akal sehat untuk menyelesaikan permasalahan. Akibatnya, paham sentimental yang kaku mendorong untuk bersikap secara otonomi, sehingga keadaan ini melatarbelakangi lahirnya aksi bentrok ini.
Teori mirror thesis menjelaskan hukum adalah cerminan dari suatu masyarakat. Masyarakatnya buruk, amoral, hukumnya pun juga buruk. Masyarakatnya damai, selaras, hukumnya pun juga demikian. Artinya kepribadian suatu masyarakat atau bangsa mencerminkan kekuatan hukum itu sendiri sejauh mana fungsinya untuk mengatur dan berjalan efektif. Meninjau hal ini tidak dilihat sebagai permasalahan yang secara instan dan insidental dapat terjadi. Melainkan secara terus-menerus evaluasi dan menutupi celah-celah potensial yang mampu melahirkan kekerasan massa. Proses evaluasi dari berbagai sudut ini diawali dengan stabilitas hukum yang benar-benar sesuai dengan orientasi keadilan dan perasaan/nurani masyarakat. Proses ini merupakan suatu elaborasi dari semua komponen bangsa menuju pencarian identitas moral, sehingga benar-benar mengaplikasikan nilai dan norma kebersamaan dan asas kekeluargaan (mutualisme and brotherhood atau ukhuwah).
Secara kedudukan dan fungsi, hukum sebagai manifestasi ideologi bangsa Indonesia mempunyai kekuatan untuk mencegah dan membuat efek jera para pelaku kekerasan massa. Hukum mampu sebagai empowering people. Namun gambaran yang terjadi akhir-akhir ini sebagai konsekuensi lemahnya taring hukum untuk tetap eksis dalam dimensi memberikan perlindungan dan rasa aman dengan konsep ikhwal kultural yang harmoni di masyarakat. Alternatif lain yaitu melalui nilai-nilai agama untuk ditempatkan pada kedudukan yang penting sebagai langkah prefentif lahirnya aksi-aksi represif. Pesan moral tentang hakikat persaudaraan dalam agama harus dituangkan ke dalam interaksi sosial. Konsep moral dalam suatu agama dapat diafiliasikan dengan solusi dalam sutau permasalahan.
Sekarang negara hukum Indonesia dengan sebutan bangsa yang agamis perlu menata kembali sejauh mana cita-cita konstitusi dan falsafah kehidupan dalam beragama sungguh-sungguh bergerak mensejahterakan bangsanya dan melakukan rekonsiliasi. Penataan kembali terhadap celah-celah patologi sosial ini dimulai dengan awak politik, sehingga keberadaannya sesuai dengan kehendak rakyat. Rakyat benar-benar sadar akan predikat bangsa yang santun ketika moral politiknya juga demikian. Yang terpenting moral para politik harus mampu diwujudkan dengan pembangunan semua aspek secara materiil dan non materiil (kepribadian bangsa).
oleh: Rahmat Sudrajat
Sumber : http://ift.tt/1qvxfp1