Bravo MK, Saatnya Melangkah ke Arah Substansial
Kemarin, 21 Agustus 2014, MK memberi satu keputusan mengejutkan, tidak seperti prediksi beberapa kalangan, yang bagi saya sebenarnya bukanlah satu peristiwa “surprised‘. Setelah bergantian membaca materi keputusan dengan tebal setara 4000 halaman, ketua MK Hamdan Zoelva akhirnya menutup dengan keputusan bahwa seluruh materi gugatan Prabowo-Hatta ditolak. Tok….tok…tok. Selesai sudah!
Berakhir sudah semua sengketa, perselisihan, debat kusir dan tentu saja keraguan banyak pihak apakah MK akan netral? Mengingat di dalam kepemimpinan MK terdapat dua mantan tokoh parpol (PBB dan PAN), yang kebetulan kedua partai tsb adalah partai koalisi kubu Prabowo-Hatta. Sekaligus keraguan sebagian orang terhadap netralitas Prof. Yusril sebagaimana janjinya terhadap para kompasianers di kompasiana ini.
Saya meyakini Prof. Yusril adalah sosok yang akan memegang teguh janjinya, sama halnya dengan ketua MK Pak Hamdan Zoelva atau pun mantan Menkumham Bapak Patrialis Akbar. Mengapa? Terlalu mahal nilai yang harus mereka gadaikan ketimbang integritas dan reputasi yang sudah dibangun dengan susah payah. Seseorang layak dipandang tokoh ketika sanggup membedakan apa yang patut diperjuangkan dan apa yang tidak bernilai agar diabaikan.
Sebagai tokoh pakar hukum tata negara, bung Yusril langsung memberikan pernyataan pers, paling tidak saya lihat dalam http://ift.tt/1pYugsO . Tapi ada satu hal yang memprihatinkan dan miris, tatkala semua menyambut gegap gempita keputusan MK, pernyataan pers kubu pemohon yang diwakili Tantowi Yahya, sekalipun menyatakan menghargai dan menerima keputusan MK tapi menyatakan keputusan MK sebagai keputusan akhir yang ternyata tidak memberikan kebenaran secara substantif.
Saya geleng-geleng kepala, terlalu sulitkah mengakui kebenaran ketimbang ambisi yang tak berujung. Bukankah sedari awal mempersoalkan KPU yang dianggap curang secara Terstruktur, Sistematis dan Masif, mengapa jadi berbalik menuduh MK tidak memberikan kebenaran yang substantif? Weleh weleh, cape deh.
Dalam tulisan sebelumnya, http://ift.tt/1s87DAA saya menyorot netralitas Prof. Yusril semata sebagaimana janjinya, meski sebagai saksi ahli kubu Prabowo-Hatta seperti materi yang disampaikan Prof. Yusril di http://ift.tt/1t30GBB. Mengapa tidak saksi ahli yang lain? Saya menganggap masalah yang dipersoalkan pemohon adalah sengketa Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU), tentu berkutat pada pembuktian apakah telah terjadi kecurangan pada pelaksanaan Pilpres 2014 di beberapa tempat. Dan salah satu pakar hukum justru mempertanyakan agar MK jangan hanya menjadi Mahkamah Kalkulator, tentu ini lebih beresiko menjebak MK pada kepentingan pemohon.
Sementara materi yang disampaikan Prof. Yusril layak dipertimbangkan agar ke depan MK melangkah ke arah substansial. Sayangnya, materi tsb memang menjadi ’seolah-olah’ bung Yusril tidak memegang teguh janjinya, ketika sebagian orang terjebak pada apakah Prof. Yusril membela kepentingan Dr. Margarito yang menghendaki MK jangan hanya menjadi Mahkamah Kalkulator ataukah dalam posisi mempertahankan materi hukum yang disampaikan beliau. Inilah yang saya maksudkan, kadang-kadang kita terjebak antara tujuan versus konsekuensi.
Perkataan Prof. Yusril seperti janjinya dalam tulisannya sebagai berikut, “Saya tidak berkepentingan dengan siapapun yang menang pasca putusan MK. Sikap saya sejak awal, netral. Kepentingan saya adalah adanya stabilitas politik. Presiden baru memerintah dengan tenang dan tidak hadapi problema konstitusionalitas. Itulah kepentingan saya”.
Mengapa saya memandang materi bahasan Prof. Yusril penting?
Sudah kita ketahui bersama, MK sebagai lembaga peradilan terakhir dalam memutuskan sengketa pemilihan umum mulai dari pilkada, pileg sampai pilpres, selalu berkutat pada angka-angka untuk membuktikan apakah telah terjadi kecurangan, apalagi dalam Pilpres 2014 ini, yang menjadi pokok persoalan adalah tuduhan bahwa KPU telah melakukan kecurangan Terstruktur, Sistematis dan Masif. Maka MK dihadapkan pada dilema membuktikan apakah benar demikian, dan dalam waktu yang relatif singkat pasti tidak semudah membalikkan telapak tangan bukan?
Jika MK hanya berkutat pada sekadar membuktikan apakah pemilu perlu diulang maka rawan sekali terjadi jual beli kepentingan seperti apa yang melanda mantan ketua MK sebelumnya, Akil Mochtar. MK jangan hanya menjadi sekadar mahkamah kalkulator adalah satu istilah yang tepat, saatnya MK mulai berbenah diri dan melangkah ke arah yang lebih substansial itu satu pemikiran yang diberikan Prof. Yusril pakar hukum Tata Negara, yang sumbangsih pemikirannya terus memperkaya aturan hukum dan tata negara di Indonesia agar semakin baik.
Mengakhiri tulisan saya, tentu saya berharap agar dengan berakhirnya keputusan MK dapat diterima semua pihak dengan legowo. Itulah langkah menuju kedewasaan bersikap, seperti mengutip kata Pak Jokowi yang akan dilantik bersama Pak JK pada 20 Oktober 2014 nanti, dalam jumpa pers pasca putusan MK, beliau tidak memandang rivalitas dengan Pak Prabowo maupun Pak Hatta, sebaliknya dengan rendah hati menyambut dan berkata tidak ada rekonsiliasi, apa perlunya rekonsiliasi karena mereka adalah sahabat kami. Semoga menginspirasi kita semua dalam menyikapi setiap perbedaan.
Sumber : http://ift.tt/1s87DAC
Berakhir sudah semua sengketa, perselisihan, debat kusir dan tentu saja keraguan banyak pihak apakah MK akan netral? Mengingat di dalam kepemimpinan MK terdapat dua mantan tokoh parpol (PBB dan PAN), yang kebetulan kedua partai tsb adalah partai koalisi kubu Prabowo-Hatta. Sekaligus keraguan sebagian orang terhadap netralitas Prof. Yusril sebagaimana janjinya terhadap para kompasianers di kompasiana ini.
Saya meyakini Prof. Yusril adalah sosok yang akan memegang teguh janjinya, sama halnya dengan ketua MK Pak Hamdan Zoelva atau pun mantan Menkumham Bapak Patrialis Akbar. Mengapa? Terlalu mahal nilai yang harus mereka gadaikan ketimbang integritas dan reputasi yang sudah dibangun dengan susah payah. Seseorang layak dipandang tokoh ketika sanggup membedakan apa yang patut diperjuangkan dan apa yang tidak bernilai agar diabaikan.
Sebagai tokoh pakar hukum tata negara, bung Yusril langsung memberikan pernyataan pers, paling tidak saya lihat dalam http://ift.tt/1pYugsO . Tapi ada satu hal yang memprihatinkan dan miris, tatkala semua menyambut gegap gempita keputusan MK, pernyataan pers kubu pemohon yang diwakili Tantowi Yahya, sekalipun menyatakan menghargai dan menerima keputusan MK tapi menyatakan keputusan MK sebagai keputusan akhir yang ternyata tidak memberikan kebenaran secara substantif.
Saya geleng-geleng kepala, terlalu sulitkah mengakui kebenaran ketimbang ambisi yang tak berujung. Bukankah sedari awal mempersoalkan KPU yang dianggap curang secara Terstruktur, Sistematis dan Masif, mengapa jadi berbalik menuduh MK tidak memberikan kebenaran yang substantif? Weleh weleh, cape deh.
Dalam tulisan sebelumnya, http://ift.tt/1s87DAA saya menyorot netralitas Prof. Yusril semata sebagaimana janjinya, meski sebagai saksi ahli kubu Prabowo-Hatta seperti materi yang disampaikan Prof. Yusril di http://ift.tt/1t30GBB. Mengapa tidak saksi ahli yang lain? Saya menganggap masalah yang dipersoalkan pemohon adalah sengketa Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU), tentu berkutat pada pembuktian apakah telah terjadi kecurangan pada pelaksanaan Pilpres 2014 di beberapa tempat. Dan salah satu pakar hukum justru mempertanyakan agar MK jangan hanya menjadi Mahkamah Kalkulator, tentu ini lebih beresiko menjebak MK pada kepentingan pemohon.
Sementara materi yang disampaikan Prof. Yusril layak dipertimbangkan agar ke depan MK melangkah ke arah substansial. Sayangnya, materi tsb memang menjadi ’seolah-olah’ bung Yusril tidak memegang teguh janjinya, ketika sebagian orang terjebak pada apakah Prof. Yusril membela kepentingan Dr. Margarito yang menghendaki MK jangan hanya menjadi Mahkamah Kalkulator ataukah dalam posisi mempertahankan materi hukum yang disampaikan beliau. Inilah yang saya maksudkan, kadang-kadang kita terjebak antara tujuan versus konsekuensi.
Perkataan Prof. Yusril seperti janjinya dalam tulisannya sebagai berikut, “Saya tidak berkepentingan dengan siapapun yang menang pasca putusan MK. Sikap saya sejak awal, netral. Kepentingan saya adalah adanya stabilitas politik. Presiden baru memerintah dengan tenang dan tidak hadapi problema konstitusionalitas. Itulah kepentingan saya”.
Mengapa saya memandang materi bahasan Prof. Yusril penting?
Sudah kita ketahui bersama, MK sebagai lembaga peradilan terakhir dalam memutuskan sengketa pemilihan umum mulai dari pilkada, pileg sampai pilpres, selalu berkutat pada angka-angka untuk membuktikan apakah telah terjadi kecurangan, apalagi dalam Pilpres 2014 ini, yang menjadi pokok persoalan adalah tuduhan bahwa KPU telah melakukan kecurangan Terstruktur, Sistematis dan Masif. Maka MK dihadapkan pada dilema membuktikan apakah benar demikian, dan dalam waktu yang relatif singkat pasti tidak semudah membalikkan telapak tangan bukan?
Jika MK hanya berkutat pada sekadar membuktikan apakah pemilu perlu diulang maka rawan sekali terjadi jual beli kepentingan seperti apa yang melanda mantan ketua MK sebelumnya, Akil Mochtar. MK jangan hanya menjadi sekadar mahkamah kalkulator adalah satu istilah yang tepat, saatnya MK mulai berbenah diri dan melangkah ke arah yang lebih substansial itu satu pemikiran yang diberikan Prof. Yusril pakar hukum Tata Negara, yang sumbangsih pemikirannya terus memperkaya aturan hukum dan tata negara di Indonesia agar semakin baik.
Mengakhiri tulisan saya, tentu saya berharap agar dengan berakhirnya keputusan MK dapat diterima semua pihak dengan legowo. Itulah langkah menuju kedewasaan bersikap, seperti mengutip kata Pak Jokowi yang akan dilantik bersama Pak JK pada 20 Oktober 2014 nanti, dalam jumpa pers pasca putusan MK, beliau tidak memandang rivalitas dengan Pak Prabowo maupun Pak Hatta, sebaliknya dengan rendah hati menyambut dan berkata tidak ada rekonsiliasi, apa perlunya rekonsiliasi karena mereka adalah sahabat kami. Semoga menginspirasi kita semua dalam menyikapi setiap perbedaan.
Sumber : http://ift.tt/1s87DAC