Meraba Pertarungan di Mahkamah Konstitusi
Jika pernah menyaksikan arena sabung ayam, di sana tak hanya kekuatan taji yang akan teruji. Melainkan, ketangguhan fisik ayam, hingga kegesitan yang mampu ditampilkan oleh masing-masing ayam yang diadu. Taji yang kuat tanpa tenaga mendukung, cenderung lebih mudah dibuat terkapar oleh ayam lawan.
Ya, di masa kecil saya sendiri, acap memiliki kesempatan melihat bagaimana ayam diadu. Sebelum diadu, masing-masing pemilik ayam itu sudah melakukan berbagai persiapan. Dari meruncingkan taji ayam miliknya dengan menggunakan beling, hingga memberikan ramuan tertentu agar ayamnya lebih bertenaga.
Tidak ada peraturan serius dalam pertandingan itu. Jika penantang dan yang ditantang sepakat, maka ayam dengan tubuh lebih kecil bisa diadu dengan ayam lebih besar. Seperti juga ayam bertaji lebih runcing, bisa bertanding dengan ayam bertaji seadanya.
Pemilik ayam dengan taji lebih panjang dan lebih runcing, biasanya lebih terlihat percaya diri. Entah karena mengikuti tuannya, ayam bertaji lebih runcing tadi, cenderung terbawa seakan juga lebih percaya diri. Itu terlihat dari geraknya sebelum lawan tiba, hingga kokoknya yang seakan pasti mampu melumpuhkan ayam lawan dalam sekali terjang.
Tapi, arena untuk sabung ayam itulah yang menjadi penentu.
Tak jarang saya menyaksikan, ayam berbadan cenderung gemuk dan berotot tergeletak menggelepar. Padahal ayam itu sudah didukung lagi dengan taji yang diruncingkan dengan beling. Itu terjadi, tak lebih karena ayam rivalnya, meski berbadan kecil, namun memiliki keunggulan di sisi stamina dan kegesitan. Kecil, namun mampu melakukan lompatan yang mampu menjangkau hingga kepala dan mata lawan.
Jika taji sudah menghantam kepala atau mata, tak ada celah untuk ayam sebesar apa pun untuk bisa berbuat banyak. Dengan dua-tiga pukulan dari ayam berbadan lebih kecil, maka ayam besat tadi benar-benar dilumpuhkan.
Ya, itulah yang melintas di pikiran saya saat menyaksikan sidang sengketa Pilpres 2014 sejak pertengahan pekan lalu.
Sebab ada kemiripan di sini. Walaupun di ruang sidang yang diadu bukanlah otot. Melainkan, di sinilah mereka menguji taji dalam bentuk lain; bukti, kekuatan bukti, dan sejauh mana bukti-bukti bisa dipercaya.
Para kuasa hukum menguji taji dalam bentuk pikiran dan argumen. Sementara hakim di sini berperan untuk melihat, meraba, merasa, menganalisis kekuatan dan kebenaran dari semua yang mereka sampaikan. Jika ada hal yang membedakan lainnya dibanding sabung ayam, bahwa di sinilah terdapat peran hakim. Jadi bukan pada kekuatan fisik siapa bisa melindas siapa, atau ketajaman taji siapa bisa melumat lawannya.
Maka diminta bukti demi bukti untuk disodorkan kepada para hakim di mahkamah tersebut. Mereka mengujinya dan mereka akan menelaah semua yang diberikan itu. Sehingga, sejak jauh-jauh hari, dengan bijak para hakim mengatakan kepada pihak penggugat, “Silakan lengkapi dulu data-data yang ada.”
Sejauh ini, saya pribadi masih percaya, di tengah fakta bahwa rakyat terpecah untuk berpihak ke salah satu dari dua pihak yang bersengketa, hakim masih bisa berdiri di tengah kedua pihak itu. Walaupun, di tengah perkara ini, ujung senapan serangan gugatan kubu penggugat tertuju ke banyak pihak, tak terkecuali kepada penyelenggara Pilpres 2014 (baca: KPU).
Kepercayaan saya adalah bahwa para hakim kali ini adalah mereka yang memang telah lebih teruji, setelah MK pernah mengalami masalah akibat salah satu oknum hakim, Akil Mochtar, menodai institusi itu lewat sederet sepak terjangnya.
Apalagi jika menyimak profil hakim-hakim yang saat ini dipercaya menduduki jabatan berat dan sulit itu, mereka terkenal sebagai orang-orang yang memiliki integritas. Belum pernah memiliki cacat yang membuat citra mereka sebagai hakim di institusi sekelas MK layak untuk disangsikan.
Di tengah-tengah hakim itu, semua pihak yang berkaitan dan datang untuk berharap keadilan, saling menguji taji.
Memang, masyarakat yang menyimak jalannya pertarungan hukum itu, juga akan melihat pihak mana yang hanya mengandalkan tajamnya taji, dan mana saja yang lebih mementingkan kekuatan. Muncul dari bagaimana mereka membicarakan temuan-temuan yang disebut sebagai bukti. Apa saja alat bukti yang bisa disuguhkan pun, sebagian telah disuguhkan, dan bisa dilihat secara transparan oleh publik.
Namun lagi-lagi, masih ada saja pihak yang dengan entengnya mengatakan, bahwa taji yang mereka miliki akan lebih meyakinkan untuk memenangkan sidang sengketa itu.
Satu bentuk sesumbar yang mampu membakar kepercayaan diri dan keyakinan pun secara silih berganti disampaikan. Dilakukan tidak saja di dalam persidangan, tapi juga di luar sidang ketika berhadapan dengan media.
Tak heran jika kemudian ada pengikut mereka yang mengajukan gugatan itu terbawa dalam suatu lamunan yang sangat indah. Seperti halnya lamunan, ketika kemudian harus melihat kenyataan yang sebenarnya, maka sisi emosi akan lebih tersentuh. Berang, jengkel, marah, kesal, dan berbagai perasaan serupa bisa merasuki mereka. Kenapa lamunan itu harus buyar?
Tentu saja, sejatinya yang dibutuhkan bukanlah keindahan dalam lamunan seperti itu. Manis atau pahit, hal-hal yang nyata, jauh lebih pantas dihargai.
Saya kira, menjadi hal penting, bagi pihak mana saja untuk memberikan pemahaman seperti itu kepada pengikut mereka. Apalagi, ketika kita dapati fakta, begitu banyak massa dengan mudah bisa digerakkan bahkan ketika sidang masih sedang berjalan.
Sebab, terutama pihak yang sudah mengklaim bahwa kecurangan hanya dilakukan oleh pihak lawan mereka di Pilpres, kekecewaan tak hanya mereka telan sendiri, melainkan mulai ada upaya menularkan kekecewaan itu sejak keputusan siapa pemenang Pilpres diputuskan oleh pihak KPU.
Kekecewaan itu adalah sesuatu yang sudah berada di ranah perasaan atau emosi. Jangan lupa juga, saat sisi perasaan atau emosi, terbiarkan tanpa diimbangi dengan berbagai hal yang lebih menguatkan akal, maka emosi itu yang akan lebih menuntun mereka untuk melakukan apa.
Dalam situasi seperti itu, emosi yang tak terbendung bisa menjadi api yang mampu membakar dan menghanguskan apa saja. Tidak ada yang berharap kemungkinan ini terjadi, sekalipun memang jejak sejarah negeri ini tak sedikit memberikan bukti, seolah negeri ini hanyalah “tanah tumpah darah”.
Unjuk taji dan stamina, cukuplah di ruang sidang itu hingga nanti pihak institusi yang memegang wewenang mengeluarkan keputusannya. Sebab di sini, taji dan stamina itu hanya berupa pikiran dan bukti yang menguatkan. Andai pertarungan itu tak terhenti di ruang sidang tersebut, bukan tak mungkin di luar sana akan terjadi “sabung ayam”, oleh massa yang tak mengerti, kenapa jagoannya yang ia percaya berbadan lebih besar dan bertaji lebih panjang dan runcing, patah dan kalah. - (Twitter: @zoelfick)
Sumber : http://ift.tt/1uLxqk2